Rabu, 27 September 2023

 

PEMILIHAN UMUM TAHUN 1955

 

DASAR HUKUM

UU Nomor 7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan anggota DPR sebagaimana diubah dengan UU Nomor 18/1953.

PP Nomor 9/1954 tentang Menyelenggarakan undang-undang Pemilu.

PP Nomor 47/1954 tentang Cara Pencalonan Keanggotaan DPR/Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan Pernyataan Non Aktif/Pemberhantian berdasarkan penerimaan keanggotaan pencalonan keanggotaan tersebut, maupun larangan mengadakan Kampanye Pemilu terhadap Anggota Angkatan Perang.

 

SISTEM PEMILU

Sistem Pemilu tahun 1955 adalah kombinasi antara sistem distrik dan sistem perwakilan berimbang dengan ciri-ciri sebagai berikut. 

Sistem Distrik, pertama wilayah negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang didasari pada jumlah penduduk, kedua jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan sama dengan jumlah distrik, ketiga tiap distrik pemilihan , memilih seorang anggota badan perwakilan rakyat , keempat pemilih, memilih orang atau calon yang diajukan organisasi peserta Pemilu, Kelima penetapan terpilih berdasarkan suara terbanyak. 

Sistem Perwakilan Berimbang, pertama wilayah negara ditetapkan sebagai satu daerah pemilihan, namun dalam pelaksanannya dapat dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang bersifat administratif, kedua jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkanberdasarkan imbangan jumlah penduduk, misalnya tiap 4000.000 penduduk mempunyai seorang wakil, ketiga tiap daerah pemilihan memilih lebih dari sorang wakil, keempat pemilih, memilih Organisasi Peserta Pemilu (OPP), namun demikian OPP mengajukan calon-calonnya yang disusun dalam satu daftar, kelima penetapan jumlah kursi yang akan diperoleh tiap organisasi peserta Pemilu seimbang dengan besarnya dukungan pemilih, yaitu jumlah suar yang diperoleh, keenam Calon terpilih diambilkan dari nama-nama yang terdapat dalam daftar calon, berdasarkan nomor urut calon, jika menganut sistim daftar mengikat dan perolehan suara masing-masing calon, jika dianut sistim daftar bebas. Sistem Kombinasi, merupakan penggabungan antara sistim distrik dan sistim perwakilan berimbang, misalnya jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk, kemudian sebagian besar dari anggota ditetapkan sebagai wakil distrik melalui pemilihan dengan sistim distrik dan sebagian kecil ditetapkan mewakili OPP, yang perhitungannya menggunakan OPP yang tidak memperolah wakil pada pemilihan dengan sistim distrik.

 

BADAN PENYELENGGARA PEMILU

Untuk menyelenggarakan Pemilu dibentuk badan badan penyelenggara pemilihan, dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu :

Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) : mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 orang dan sebanyak-banyaknya 9 orang, dengan masa kerja 4 tahun.

Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persiapan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Susunan keanggotaan sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 7 orang anggota, dengan masa kerja 4 tahun.

Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) : dibentuk pada tiap Kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu Panitia Pemilihan mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstitusnte dan anggota DPR.

Panitia Pemungutan Suara (PPS) : dibentuk di setiap Kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota Konstitusnte dan anggota DPR serta menyelenggarakan pemungutan suara. Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan Camat karena jabatannya menjadi ketua PPS merangkap anggota. Wakil Ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh Panitia Pemilihan Kabupaten atas nama Menteri Dalam Negeri.

 

PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM 1955

Ini merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan Pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.

Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.

 

Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :

Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu.

Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain, para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.

 

Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

 

Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.

 

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.

 

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

 

Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu, sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.

 

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR

No.

Partai / Nama Daftar

Suara

%

Kursi

1.

Partai Nasional Indonesia (PNI)

8.434.653

22,32

57

2.

Masyumi

7.903.886

20,92

57

3.

Nahdlatul Ulama (NU)

6.955.141

18,41

45

4.

Partai Komunis Indonesia (PKI)

6.179.914

16,36

39

5.

Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

1.091.160

2,89

8

6.

Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

1.003.326

2,66

8

7.

Partai Katolik

770.740

2,04

6

8.

Partai Sosialis Indonesia (PSI)

753.191

1,99

5

9.

Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

541.306

1,43

4

10.

Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)

483.014

1,28

4

11.

Partai Rakyat Nasional (PRN)

242.125

0,64

2

12.

Partai Buruh

224.167

0,59

2

13.

Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)

219.985

0,58

2

14.

Partai Rakyat Indonesia (PRI)

206.161

0,55

2

15.

Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)

200.419

0,53

2

16.

Murba

199.588

0,53

2

17.

Baperki

178.887

0,47

1

18.

Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro

178.481

0,47

1

19.

Grinda

154.792

0,41

1

20.

Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)

149.287

0,40

1

21.

Persatuan Daya (PD)

146.054

0,39

1

22.

PIR Hazairin

114.644

0,30

1

23.

Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)

85.131

0,22

1

24.

AKUI

81.454

0,21

1

25.

Persatuan Rakyat Desa (PRD)

77.919

0,21

1

26.

Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)

72.523

0,19

1

27.

Angkatan Comunis Muda (Acoma)

64.514

0,17

1

28.

R. Soedjono Prawirisoedarso

53.306

0,14

1

29.

Lain-lain

1.022.433

2,71

-

Jumlah

37.785.299

100,00

257

 

 

https://kab-minahasaselatan.kpu.go.id/null

Senin, 24 Maret 2014

Pejuang Yang Rendah Hati


Ditulis ulang dari Koran Harian PIKIRAN RAKYAT edisi hari Senin tanggal 24 Maret 2014 halaman 7

 Nama Jalan di Kota Cimahi : Daeng Muhammad Ardiwinata



PEJUANG YANG RENDAH HATI

Koran Harian PIKIRAN RAKYAT
edisi 24 Maret 2014 hal. 7


Daeng Muhammad Ardiwinata diabadikan sebagai nama jalan di Cihanjuang, akses utama menuju kompleks kantor Pemkot Cimahi dan penghubung ke Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat.

Termasuk konsep jalan lingkar utara Cimahi, membuat perekonomian tumbuh di Cihanjuang. Nama Daeng identik dengan Bugis Makassar. Sebetulnya, Daeng lahir dan besar ditanah Sunda. Daeng merupakan anak bungsu dari Daeng Kanduruan Ardiwinata yang sempat bermukim di Malangbong Garut dan menikah dengan orang Sunda. Daeng Kanduruan Ardiwinata seorang Nasionalis, agamis dan sastrawan Sunda pendiri Paguyuban Pasundan, yang pada tahun 1914 mendapat penghargaan “Ridder in de Orde Van Orange Nassau”, yaitu penghargaan tertinggi atas prestasinya dibidang sastra dari Pemerintah Belanda.

Cucu pertama Daeng dari anak pertama Deden Mochmad Sadrach, Dicky Rachmadie mengatakan, kakeknya sangat jarang bertutur soal perjuangannya. “Prinsip Beliau, berjuang demi kemerdekaan sudah menjadi tanggungjawab sebagai warga Negara Indonesia”, katanya.

Karena jarang bercerita, kisah perjuangan Daeng Muhammad Ardiwinata ini malah didapat Dicky dari rekan seperjuangan dan para mantan anak buah kakeknya. Termasuk dari buku “Prahara Cimahi, Pelaku dan Peristiwa karya Mayor Purnawirawan S.M Arief (1989) yang dituangkan dalam blog khusus tentang Daeng Muhammad Ardiwinata dan Perjuangannya di laman http://dickyrachmadie.blogspot.com. “setelah dapat cerita, tentu saya konfirmasi. Namun, kakek tidak menerangkannya, hanya tersenyum dan mengangguk,” tuturnya.

Disebutkan, setelah Batalyon IV PETA di Cimahi dibubarkan karena Jepang menyerah, mantan Shodancho Daeng lantas mengumpulkan bekas anak buahnya dan bergabung kedalam BKR. Sesuai dengan perkembangannya BKR Cimahi berubah menjadi Tentra Keamanan Rakyat (TKR).

TKR Kompi Daeng semula masuk jajaran Batalyon IV Momon Resimen 9 Gandawijaya. Selanjutnya, Batalyon IV Momon menjadi Detasemen 9 Momon. Kompi I/ daeng berkedudukan di Cibabat-Cibeureum samapai dengan Fokerweg (sekarang Jalan garuda) Bandung.

Kompi Daeng diikuti banyak “anak kolong” sebutan anak-anak serdadu Belanda KNIL sebelum Perang Dunia II meletus, julukan anak kolong kemudian menjadi populer untuk sebutan pasukan pejuang dari Cimahi.

Kompi Daeng aktif dalam pertempuran, pencegatan tentara sekutu, bersama Hizbullah menyerang pabrik senjata ACW cabang pabrik PINDAD di Cibabat Cimahi yang dikuasai Jepang, sampai pertempuran di alun-alun Cimahi merebut truk yang diisi tentara sekutu, dalam satu pertempuran, Daeng kehilangan seorang dokter Resimen, Dokter Dustira.

Dari Kompi, pasukan daeng dibentuk menjadi Batalyon 25, tetapi lebih dikenal dengan “Batalyon Daeng”. Saat suasana makin genting Batalyon daeng ditarik ke Resimen 8 dan ditempatkan di Panjalu dan Pangalengan. Saat Clash I pada 1947 Daeng ditempatkan di Bungbulang Garut dan Bandung Selatan. Pada pertempuran di Nangkaruka daerah Bungbulang dia dapat menumpas tentara Belanda yang memiki peralatan modern.


Koran Harian PIKIRAN RAKYAT
edisi 24 Maret 2014 Hal.7


Saat gencatan senjata dengan Belanda, pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Dalam perjalan pulang ke Jawa Barat, daeng bersama Komandan Kodam Siliwangi Letkol Daan Yahya ditawan Belanda. Mereka dibuang ke pulau Nusakambangan bersama Komandan CPM Cimahi FE Thanos.
Setelah mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda, pada akhir 1949, dibentuk Komando Resimen 063/Sunan Gunungdjati. Daeng yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel Infantri dipercaya sebagai Komandan pertama dengan wilayah kerja meliputi Garut, Subang, Ciamis dan Kabupaten Bandung.

Setelah kemerdekaan dipertahankan, Daeng merasa perjuangan melawan penjajah telah tuntas. Saat itu, Daeng ditawari promosi ke Makassar tetapi dia menolak. Karier militernya pun menggantung dengan pangkat terakhir Kolonel.

Pada 1954, Daeng digandeng Kolonel AH Nasution dan Kolonel Gatot Subroto mendirikan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Daeng diangkat sebagai Ketua IPKI Jawa Barat.

Pada Pemilu 1955, Daeng terpilih sebagai anggota DPR-RI. Lima tahun kemudian, dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Pada 1967-1970, Daeng kemudian menjadi Direktur PPN Dwikora IV Perkebunan Teh di Subang, sekaligus memantau pergerakan PKI yang menjadikan Subang sebagai basis pergerakannya.

Selepas jabatan itu, Daeng mundur dari pemerintahan dan militer. Daeng menikah dengan Siti Rukayah dikaruniai 5 anak dan 11 cucu.

Tentara dan berdarah Makassar membentuk karakter daeng menjadi pribadi yang tegas. “Disiplin, tak mentelorir kelalaian, serta tak banyak cerita. Namun, dia sangat dekat dengan orang kurang mampu karena rendah hati dan memiki jiwa sosial yang yang tinggi,”tuturnya.


Koran Harian PIKIRAN RAKYAT
edisi 24 Maret 2014 Hal.7



Karier militer yang dijalani dinilainya sebagai pengabdian. Daeng pun tak ngambil gaji dan pensiun dari militer. Dia hanya mengambil gaji saat menjadi anggota DPR. Pada 1996, Daeng mendapat piagam dan mendali penghargaan Angkatan 45 saat peringatan Hari Kemerdekaan ke 50 dari Gubernur Jabar HR Nuriana.

Daeng mengabadikan sisa hidupnya bersama Yayasan Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang didirikannya. Daeng meninggal pada 15 April 2000 ketika berusi 77 tahun. Dia menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, memilih untuk dikebumikan berdampingan dengan istrinya di pemakaman keluarga di Kampung Juntigirang Desa Banyusari Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung.

Makam Daeng dipilih menjadi titik pemancangan bambu runcing “Pejuang 45” saat peringatan Hari Pahlawan tahun 2000. Dengan diabadikan sebagai nama jalan, kata Dicky, merupakan pengakuan kepahlawanan Daeng. “Juga menjadi penghargaan atas jasa-jasanya berjuang di Cimahi, “tuturnya. (Ririn NF/”PR”


sumber :
Koran Harian PIKIRAN RAKYAT edisi 24 Maret 2014
oleh Ririn NF

Selasa, 22 Oktober 2013

Pertempuran Kompi Daeng di Cimahi dan Bandung Selatan


KOMPI DAENG

Terbentuknya Kompi Daeng tidak terlepas dari inisiatif mantan Shodancho Daeng Muhammad Ardiwinata (Letnan Komandan Pleton) salah seorang mantan Komandan Pleton Batalyon IV PETA (Dai Yon Dai Dan) di Cimahi. PETA singkatan dari Pembela Tanah Air. Terbentuknya PETA atas usul seorang putra Indonesia yang bernama Gatot Mangkupraja yang berpikiran jauh kedepan. Usul ini disampaikan kepada penguasa Jepang di Indonesia waktu itu, dengan turut membantu tentara Jepang dalam Perang Dunia II khususnya di Indonesia.


Propaganda Jepang


Dalam usulan Gatot Mangkupraja antara lain di jelaskan Batalyon PETA hanya terdiri dari putra-putra Indonesia, mulai pangkat prajurit (Gyuhei) sampai dengan pimpinan Batalyon (Komandan Batalyon-Dai Dancho) yang hanya ditugaskan di Indonesia (pulau Jawa dan Sumatera) saja untuk pengamanan daerah. Berbeda dengan Heiho (pembantu tentara Jepang) dan Kaigun Heiho (Pembantu tentara Jepang pada angkatan laut Jepang) yang dapat ditugaskan keseluruh Indonesia bahkan keluar Indonesia misalnya ke Burma dan Kepulauan Solomon. 


Tentara Belanda ditawan Tentara Jepang, 1942


Tentara Belanda tertangkap Tentara Jepang, 1942




Makna sesungguhnya usul Gatot Mangkupraja adalah supaya bangsa Indonesia pada kesempatan dijajah Jepang diberi kesempatan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan kemiliteran (sebagai kader) yang suatu ketika menjadi kader tentara Indonesia, tentara bangsa sendiri untuk bangsa Indonesia. Kemudian ternyata tujuan ini terbukti.


Diharapkan dari pendidikan keprajuritan yang modern bangsa Indonesia akan mendapat menambah ilmu dibidang keprajuritan sebagai pelengkap yang terlebih dahulu bangsa Indonesia telah memiliki watak dan semangat keprajuritan sejak jaman dulu kala.


Jepang akhirnya setuju terbentuklah PETA atau tentara Pembela Tanah Air dengan dikeluarkannya Osamu Seirei No. 44 (Pengumuman Nomor 44) oleh Letnan Jendral Kumichi Harada (Panglima tentara ke 16 Jepang di Indonesia) tanggal 3 Oktober 1943.


Dengan ini dapat ditarik kesimpulan pemanfaatan kepentingan perangnya Jepang, yang hakekatnya untuk kepentingan bangsa Indonesia (pemikiran Gatot Mangkupraja) dan terbukti mantan-mantan PETA dominan dapat menjadi pimpinan TNI, antara lain mantan Dai Dancho Sudirman yang menjadi Bapak TNI, seorang Panglima Besar). Jadi tersanggahlah pendapat bahwa : "orang-orang mantan PETA adalah "kolaborlator" dengan Jepang.


Pemuda Indonesia dilatih Jepang menjadi tentara yang profesional


Dalam sejarah pejuangan bangsa Indonesia selalu dapat ditemukan sifat-sifat watak dan semangat keprajuritan yang kemudian merupakan salah satu unsur pokok disamping jiwa kebangsaan dan jiwa kemerdekaan".


Bangsa Indonesia telah memiliki watak dan semangat keprajuritan sejak dahulu kala, hal ini telah dibuktikan oleh kebesaran-kebesaran kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Aceh, Pajang, Gowa dan masih banyak lagi lainnya. Kerajaan-kerajaan itu dapat berdiri tegak karena didukung oleh angkatan perang yang memiliki tradisi keprajuritan seperti yang banyak digambarkan didalam kesusastraan Indonesia khususnya didalam cerita-ceerita pewayangan dan hikayat yang hingga sangat ini sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia.


Demikianlah tradisi keprajuritan bangsa Indonesia secara idiil dan phisik telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dari kehidupan masyarakat yang tentu saja menentukan pula corak kepribadian keprajuritan Indonesia yang merupakan satu hal yang tak dapat diabaikan begitu saja oleh bangsa-bangsa lain.


Oleh karena itulah pada waktu Belanda menginjakan kaki dibumi Indonesia dan setelah kekuatan kolonialnya tertanam sepenuhnya, mereka berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara dan muslihat dengan politik kolonialnya untuk membinasakan keprajuritan bangsa Indonesia.


Jepang menyerah kepada sekutu tanpa syarat pada 14 Agustus 1945, kemudian tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan bangsa Indonesia.



Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945


Di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 1945 berdiri Badan Pembantu Keluarga Korban Perang (BPKKP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai bagian BPKKP diberlakukan berdirinya pada tanggal 30 Agustus 1945.


Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, batalyon-batalyon PETA dan Heiho juga Kaigun Heiho dilucuti dan dibubarkan, kecuali Polisi.


Beberapa hari setelah Batalyon IV PETA di Cimahi dibubarkan, mantan Shodanco Daeng Muhammad Ardiwinata mengumpulkan bekas anak buahnya sewaktu di PETA supaya bergabung ke dalam organisasi BKR yang dibentuk oleh BPKKP Kecamatan Cimahi dibawah pimpinan Erom seorang guru yang juga pengurus Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Kecamatan Cimahi.


Bersamaan dengan bergabunganya mantan Pleton PETA (Shodan) dibawah pimpinan mantan Schodanco Daeng Muhammad Ardiwinata, bergabung pula manata Heiho, Kaigun, Pelaut, KNIL dan pemuda-pemuda, pelajar dan dari berbagai golongan masuk kedalam BKR Cimahi. Sesuai perkembangannya BKR Cimahi menjadi TKR (Tentara Keamaman Rakyat).


TKR Kompi Daeng semula masuk jajaran Batalyon IV Momon Resimen 9 Gandawijaya selanjutnya Batalyon IV Momon menjadi Detasemen 9 Momon.


Waktu telah umum kesatuan-kesatuan tentara tidak dikenal tanda pengenalnya, misalnya seksi 1 Kompi II Batalyon V Resimen 9 yang dikenal masyarakat dan para anggotanya sendiri hanya nama pimpinannya saja. Seksi 1 Komandan seksinya Umar disebut dan dikenal dengan Seksi Umar dan selanjutnya bagi tingkat kesatuan apapun. Kompi II Komandan Kompinya bernama Daeng Muhammad Ardiwinata lalu dikenal dan disebut Kompi Daeng.

Setelah Kompi Daeng masuk jajaran Detasemen Momon, semula Detasemen ini berkekuatan :

  1. Staf Detasemen                 : Komandan Detasemen Momon.
  2. Kompi Daeng                   : Komandan Kompi Daeng
  3. Kompi Arifin                    : Komandan Arifin

(Kompi Arifin semula dari kesatuan Uyo yang pernah dibentuk pada tanggal 17 November 1945 dikantor Kawadanaan Cimahi selanjutnya bermarkas di Kandang Uncal. Kemudian Kesatuan Uyo disusun menjadi Kompi sebagai Komandan Kompi dijabat oleh Arifin. Sedangkan Uyo dipindahkan menjadi Komandan Batalyon di Purwakarta.


Sewaktu Staf Detasemen Momon bermarkas di Padalarang kekuatannya berkembang, terdiri dari Staf Detasemen dan 4 Kompi :
  1. Komandan Detasemen berikut Staf berkedudukan di Cipeundeuy Rajamandala.
  2. Kompi I/ Daeng berkedudukan di Cibabat-Cibeureum (Cimahi)sampai dengan Fokerweg (Jalan Garuda) Bandung.
  3. Kompi II/Arifin berkedudukan di daerah Cimahi sampai dengan Padalarang.
  4. Kompi III/Kosasih berkedudukan di Panglejar Cikalong Wetan
  5. Kompi IV/Toha berkedudukan di Cipatat

 Markas Resimen 9 Gandawijaya berkedudukan di Padalarang.

Sesuai dengan kondisi dan situasi waktu itu di Cimahi, dislokasi Kompi Daeng menyesuaikannya, untuk sementara berkedudukan sebagai berikut :
  1. Kelompok Komando Kompi di Jati Pasantren
  2. Seksi Saptari Kompi di Prapatan Cihanjuang
  3. Seksi Asam Afandi Kompi di Jati
  4. Seksi Rahmat Igo Kompi di gang Alpi Fokerweg (Jalan Garuda) Bandung kemudian pindah ke Cimahi).


Akhir tahun 1945 Komandan Kompi Daeng mengambil keputusan bahwa dislokasi Kompinya harus di tempat strategis dan kompak disatu komplek kemudian kedudukan sebagai berikut :
  1. Kelompok Komando Kompi di sebuah gedung Dinas Sosial Cibabat (Panti Asuhan Taruna Negara).
  2. Ketiga Seksinya dijalan Pesantren (sekarang) di Pesantran Cibabat.


MENDAPAT PULUHAN PUCUK SENJATA

Seperti pasukan-pasukan pejuang lainnya, Kompi Daeng melengkapi dirinya dengan denjata dan perlengkapan lainnya karena kelihaiannya dan semangat berkobar-kobar dengan jalan "O.S" alias Oesaha Sendiri.


Sejak semula terbentuknya kompi ini diantaranya dapat dikatakan terbanyak "anak kolong" murni, sebutan anak-anak serdadu Belanda KNIL sebelum Perang Dunia II meletus. Julukan "anak kolong" kemudian populer untuk sebutan atau ditujukan kepada pasukan-pasukan pejuang dari Cimahi. Julukan ini agak memadai untuk setiap pemuda Cimahi, walaupun bukan anak serdadu Belanda KNIL, karena Cimahi sebagai daerah konsentrasi tentara Belanda KNil dan KL sebelum Perang Dunia II, pemusatan tentara KNIL dan KL terbesar diseluruh Hindia Belanda tempo dulu.


Para Kompi "anak kolong" inilah yang telah membuktikan dirinya bahwa mereka sanggup dan telah terbukti dapat berhubungan dengan "oom-oom KNIL" yang ditawan tentara Jepang pada waktu tentara Hindia Belanda (Indonesia) menyerah kepada Jepang 8 Maret 1942, kemudian menjadi lagi KNIL ketika dibebaskan oleh tentara pendudukan Sekutu/ Inggris sewaktu Jepang menyerah ketika itu Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaanya.


Sebagai seorang anak kolong ini dengan segala kelihaiannya "ngarayu jeung ngolo" oom-oom KNIL, juga bila oom-oom KNIL nya lengah mereka mencuri senjata sehingga berbagai jenis senjata puluhan pucuk terkumpul. Sebagai resikonya banyak "anak kolong" yang ketahuan dan dihukum di Poncol atau di Kebon Waru (LOG) sebagai tempat tawanan para pejuang Indonesia yang mereka sebut dengan "extremisten". Bahkan banyak diantaranya "anak kolong" yang disiksa hingga cacat juga hilang tidak tentu rimbanya hingga sekarang.


Waktu itu kampemen Cimahi telah diduduki 1 resimen tentara sekutu/ Inggris dari Divisi India ke-23 (23rd India Division). Terdiri dari para pimpinannya bangsa Inggris, bawahannya bangsa Ghurka dan India (Hindu/ Budha) termasuk pula India muslim (India - Pakistan belum merdeka).


Minimal 2 batalyon infantri yang berpengalaman dan memenangkan perang, diperkuat kesatuan tank, bren carrier, batalyon artilery lapangan/ medan dan artilery serangan udara, Detasemen MO 8, Detasemen Genie tempur dan Detasemen Genie Konstruksi.


Resimen ini sebagian besar dari Divisi India ke 23 yang datang melalui jalan darat dari Jakarta melalui Bogor, Puncak, Cipatat, Padalarang lalu menghuni kampemen Cimahi. Mereka berkendaraan dalam 2 gelombang convooi dikawal pesawat pemburu, Mustang. Convooi mereka pernah diantaranya dicegat Kompi Daeng di Gunung Masigit. (Baca pencegatan tentara sekutu/ Inggris di Jembatan Rajamandala lama oleh Detasemen Abdul Hamid).


Dengan kekuatan puluhan pucuk senjata berbagai jenis yang sebagian hasil "ngolo" dan mencuri ini, Kompi Daeng terlibat pertempuran -pertempuran.


PERTEMPURAN DI CIBUNTU BANDUNG


Ketika Kompi Daeng berkedudukan di Cibabat sampai di Fokerweg (Jalan Garuda) menempatkan seksinya di Cibabat : Seksi Saptari, Seksi Rahmat Igo. Di Cibeureum : Seksi Asam Afandi terlibat pertempuran dengan tentara Sekutu/ Inggris ketika convoou mereka dari arah barat menuju Cimahi melalui jalan raya menuju lapangan udara militer Andir (Lanud Husen Sastranegara), separuh convooi belok ke utara masuk Fokerweg (jalan Garuda) terjadi tembak menembak.


Posisi pasukan pejuang berada di Warung Muncang (gedung Perdatam) Batalyon Hutagalung, Laskar Perjuangan, Kompi Batalyon Sumarsono, Kompi Batalyon Abdurahman. Di Situ Aksan Kompi dari Batalyon Hutagalung, Laskar Perjuangan, Kompi dari Batalyon Sumarsono, Kompi dari Batalyon Abdurahman.


Pencegatan yang tidak diduga dandilakukan dengan gencar mengakibatkan kerugian untuk mereka, beberapa orang tentara Inggris asal bangsa India menyerah dengan senjatanya dan kendaraan power kepada Batalyon Sumarsono dan Kompi Batalyon Abdurahman dari Resimen 8 Bandung. Komandan Kompi Daeng dengan Seksi Rahmat dapat merampas beberapa pucuk senjata hasil mencegat dekat SD Cibuntu.


Convooi tentara Sekutu/ Inggris lainnya dengan kecepatan penuh lansung menuju ke lapangan udara, akibat pencegatan yang berhasil ini beberapa menit kemudian tentara Sekutu/ Inggris "mengirimkan" peluru mortir ke posisi pasukan kita dengan gencar antara lain ke Fokerweg (Jalan Garuda), Situ Aksan dan Warung Muncang. Tidak diketahui kerugian kita.



MENYERANG PABRIK SENJATA ACW (Cabang Pabrik Senjata Jepang di Cibabat)


Akhir Desember 1945 setelah seluruh Saksi-Seksi Kompi Daeng berkumpul dalam suatu komplek, kelompok Komando Kompi disebuah gedung Dinas Sosial (Panti Asuhan Taruna Negara) Cibabat, ketiga Seksi di Pesantren (Jalan Pesantren) mengadakan serangan bersama Hizbullah ke ACW Cibabat. ACW ini cabang pabrik senjata yang pusatnya di Bandung (Pindad).


Sebenarnya serangan ini semula telah diatur sesuai perundingan antara Komandan Kompi Daeng dengan Komandan pabrik senjata cabang ACW yang akan menyerahkan senjata setelah terjadi pertempuran pura-pura (menembak keatas). Pelaksanaannya terjadi pertempuran sebenarnya karena pihak Jepang terlebih dahulu menembak, tidak menembak keatas tidak diketahui sebabnya. Diduga melepaskan dendam karena sebulan sebelum terjadi pertempuran ACW ini telah terjadi pertempuran di Tagog ketika itu 1 pick up Jepang lebih kurang 10 orang yang akan menuju ke arah barat tepat di Sukawargi beberapa meter sebelum mencapai jembatan Kali Cimahi, telah ditembaki oleh pasukan Polisi Negara Cimahi,anggota Banteng Cimahi, anggota kesatuan Uyo (sebelum menjadi Kompi Arifin) hingga mengakibatkan 3 orang tentara Jepang mati dan 3 senjatanya terampas dan serdadu Jepang ini berasal dari pabrik senjata ACW di Cibabat.


Dalam pertempuran ini seorang anggota Joko Sukirman tertembak dipunggung tembus ke pangkal lengan ketika bersama Komandan Kompi Daeng merayap setelah berada dibawah kubu karung yang diisi pasir akan "ngarawel" senapan mesin ringan yang larasnya "nyodor", tapi terlebih dahulu kelihatan oleh tentara Jepang yang kaget ada tangan yang akan mengambil senjatanya, lalu serdadu Jepang mengangkat dan menembakan senjatanya.


Ketika badan Joko Sukirman setengah terangkat Komandan Kompi Daeng tepat berada dibawahnya jadi terlindung badan Joko Sukirman, beliau tidak tertembak. Anggota lainnya segera memberikan tembakan bantuan sehingga tentara Jepang yang sedang menembak terjungkal jatuh kedalam kubu. Lalu Joko Sukirman dan Komandan Kompi Daeng merayap dengan susah payah kebelakan atau mundur mendekat teman anggota lainnya. Tidak lama kemudian tembakan berhenti dan Kompi Daeng mengundurkan diri menuju markasnya, begitu juga anggota Hizbullah.



PERTEMPURAN DI ALUN-ALUN CIMAHI


Awal bulan Februari 1946 regu Belayar dari Kompi Daeng yang sedang bertugas di alun-alun Cimahi bersama beberapa anggota Banteng Cimahi, anggota BARA, anggota Detasemen Abdul Hamid terlibat pertempuran. Waktu pasukan pejuang kita yang menduduki pos Kebon Kopi (Cimek), Kantor Kewadanaan dan di SD utara Mesjid Agung Cimahi, melintas belasan truk yang diisi tentara Sekutu/ Inggris dari arah timur, ketika truk terdepan tepat berada  didepan Toko Johor terjadi tembakan dari pihak pejuang, pada saat iring-iringan truk berhenti juga truk yang paling belakang berhenti berada didepan apotik Abadi sekarang berhenti. Para penumpangnya turun dan naik truk lainnya yang segera truk-truk ini memutar haluan lalu kembali kearah semula.


Para pejuang kita mendekati kedua truk ternyata bak truk terdepan penuh darah dan ada 2 pucuk karaben Kirop, diam-diam sepucuk diambil oleh anggota Banteng Cimahi sepucuk lagi diambil oleh anggota Regu Belayar dari Kompi Daeng.


Seorang anggota dari Banteng Cimahi mantan tentara Sekutu/ Inggris kebangsaan India menghidupkan mesin truk setelah mesinya hidup diserahkan kepada Endang anggota Regu Belayar kemudian dikemudikan dibawa ke Citeureup. Sedangkan truk yang satunya lagi dikerumuni anggota BARA dan anggota Detasemen Abdul Hamid yang ternyata isi truk itu berisi beberapa stel seragam lalu dibagi rata kepada empat pasukan pejuang yang ikut menghadang.


MELUCUTI API (Angkatan Pemuda Indonesia)

Masih terjadi pada bulan Februari 1946, sesuai perintah Kompi Daeng melucuti API di Tagog Apu merampas 5 pucuk senjata karaben kemudian API di bubarkan.



GUGURNYA DOKTER DUSTIRA


Kompi Daeng kemudian diperintahkan menuju Ngamprah, Gedunglima depan Statsiun Kereta Api Padalarang, disini pula kedudukan Markas Resimen 9.


Keesokan harinya Padalarang dan sekitarnya termasuk Gedung Lima mendapat gempuran meriam tentara Sekutu/ Inggris dari Cimahi selama kurang lebih satu jam. Kerugian kita seorang dokter Resimen gugur, dokter Dustira.


PERISTIWA PENCEGATAN DI GUNUNG MASIGIT

Setelah Kompi Daeng mendapatkan senjata sebagian hasil anggotanya "anak kolong" dan tambahan dari rampasan kelopok API juga hasil pertempuran di Cibuntu, bertugas mencegat convooi tentara Sekutu/ Inggris ditempat strategis Gunung Masigit. Kekuatan ternyata tidak seimbang, tentara Sekutu/ Inggris yang dicegat ini ternyata berkekuatan 1 Batalyon Infantri diperkuat puluhan Tank, Artileri yang ditempatkan di Cimahi.


Salah seorang anggota Kompi Daeng yang bernama Endang Suwita yang posisinya ketika itu masih dipinggir jalan belum sempat naik ke tempat steling seperti anggota Kompi lainnya diatas jalan tewas tertembak. Dengan disaksikan anggota lainnya yang menempati diatas jalan dan tidak mampu menolong atau mengangkat keatas karena ditekan dengan tembakan senapan mesin yang gencar dari musuh, mayat Endang Suwita digusur tentara Sekutu/ Inggris kemudian digilas tank baja.


Karena pertempuran sengit yang tidak seimbang Kompi Daeng mundur ketempat yang lebih tinggi lagi, selanjutnya setelah convooi berjalan lagi menuju Cimahi, mayat Endang Suwita dinyatakan hilang.



MEMBANTU POLISI UNTUK KEAMANAN DAN KETERTIBAN


Laporan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah Ngamprah diterima Wedana Sabri dilaporkan bahwa gerombolan pengacau keamanan Suma telah bertindak merugikan masyarakat yang sedang membantu menegakan dan mempertahankan kemerdekaan dari gangguan Belanda yang membonceng tentara Sekutu/ Inggris hingga membentuk tentaranya yang dikenal tentara Andjing NICA. Pihak gerombolan Suma di Nagmprah bukan membantu berjuang mengusir perongrong kemerdekaan RI malah merampok harta rakyat dan membunuh rakyat yang tidak mau menyerahkan hartanya.


Wedana Cimahi Sabri meminta bantuan dari Kompi Daeng untuk membantu Polisi Negara Cimahi dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban, karena Polisi Cimahi telah terbagi kekuatannya untuk menumpas gerombolan garong di tiga tempat yang luas wilayahnya, seperti : gerombolan Suma di daerah Ngamprah, gerombolan Bakri didaerah Pasirlangu dan sekitarnya dan gerombolan Suta disekitar Ciledug hingga utara Ngamprah.


Pasukan Kompi Daeng membantu pasukan Polisi yang dipimpin oleh S. Wardoyo menuju Ngamprah, basis gerombolan Suma.


DARI CIMAHI SEBELAH UTARA KE FRONT CIMAHI SELATAN


Akhir Maret 1946 situasi dan kondisi Cimahi sangat genting, lebih kurang sejak pertengahan Maret 1946 pejuang-pejuang di Cimahi sering mendapatkan gempuran mortir dan meriam tentara musuh, sedangkan pihak pejuang lebih sering lagi menyerang penghuni kampemen terutama pada malam hari. Karena kekuatan pasukan pejuang lebih besar berada disebelah utara kampemen daripada arah lain, dapat melakukan penyerangan hingga mendekati kubu musuh di pertigaan ujung jalan Gedung Empat sebelah timur  (Subdenpom) dan ujung Jalan Gedung Empat sebelah barat di Segitiga Pasar Antri.


Bersama pasukan lainnya Kompi Daeng terlibat dalam penyerangan ini, antara lain dengan Detasemen Abdul Majid.


Akhirnya pada jam 04.00 akhir Maret 1946 setelah semalam penuh kampemen Cimahi yang dihuni tentara Sekutu/ Inggris dan Tentara NICA diserang dan dikurung pasukan Pejuang Cimahi. Disekitar Gang Rangsom, Gang Lurah (Gang Kapten Isha), Gang Sobari, Gang Balong, Kebon Kalapa, Kebon Kembang, Kalidam, Baros, Nyontrol, Contong, Jalan Cibeber sekarang, deretan toko-toko di jalan Raya Tagog dibumi hanguskan, terdengarlah dentuman-dentuman mortir dan meriam musuh yang diarahkan ke semua arah Cimahi.


Setelah beberapa jam istirahat menembakannya, sementara itu dengan didahului tank-tank tentara NICA dibantu tentara Sekutu/ Inggris, tentara Jepang juga dipaksa ikut membantu gerakan tentara NICA. Terlihat pula segolongan P.A.T lengkat bersenjata yang anggotanya terdiri daru golongan yang ketika kampemen sering diserang pejuang, malah golongan ini masuk ke kamp, sekarang waktu tentara NICA menyerang pejuang kita mereka (P.A.T) ikut serta. Keluarlah dari sarangnya. Kekuatan persenjataan pasukan pejuang tidak seimbang dengan musuh yang dihadapi, tentara-tentara musuh yang berpengalaman dalam perang di Eropa. Pasukan pejuang kita mengundurkan diri sambil memberikan perlawanan kearah yang telah direncanakan semula. Begitu pula Kompi Daeng pada peristiwa ini tidak mengalami kerugian apapun baik anggota maupun senjata.


Kompi Daeng menuju Padalarang bergabung dengan Kompi lainnya dalam jajaran Detasemen Momon, karena markas Resimen 9 telah lebih dahulu mundur ke Cililin jadilah terputus hubungannya dengan Detasemen Momon.


Sesuai perintah yang diterima seluruh anggota Detasemen Momon dengan naik kereta api dari Padalarang menuju Soreang lewat Cikampek, Cirebon, Kroya, Cicalengka. Tidak mungkin memakai jalan Raya Cililin karena sepanjang jalan itu telah dikuasai musuh. Komandan Detasemen Momon terluka dan dirawat di RS Purwakarta.


Perjuangan dengan Kereta Api hanya sampai Cicalengka, kemudian meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki menuju Soreang lalu ke Cililin selanjutnya ditugaskan di front Bandung Selatan dan Cimahi Selatan sejak daerah Cilampeni Katapang sampai ke Cipatik sepanjang kali Citarum sisi selatan.


BATALYON DAENG


Terbentuknya Batalyon 25 dan menjabat sebagai Komandan Batalyon 25 yang dikenal sebagai Batalyon Daeng.


Lebih kurang bulan Mei 1946 Detasemen 9 Momon telah berkedudukan di Cililin. Resimen 9 melakukan Re-Ra pertama, antara lain Kapten Daeng Muhammad Ardiwinata dan Kapten Hasan Kosasih di mutasikan ke Batalyon V/ Kohar kemudian Kapten Daeng dimutasikan kembali ke Batalyon III/ Surjo.
Susunannya adalah sebagai berikut :
  1. Komandan Batalyon      : Surjo
  2. Kepala Staf                     : ?
  3. Komandan Kompi I         : Momon
  4. Komandan Kompi II        : Sutisna
  5. Komandan Kompi III       : R. Moh. Syafei
  6. Komandan Kompi IV      : Daeng Muhammad Ardiwinata

Komandan Batalyon menderita sakit setelah pertempuran di Cilampeni, jabatan Komandan Batalyon diserahkan kepada Komandan Kompi I Momon. Kemudian jabatan Batalyon diserah terimakan kepada Komandan Kompi IV Kapten Daeng Muhammad Ardiwinata karena Komandan Batalyon Kapten Momon berangkat ke Jogyakarta.


Batalyon III akhirnya mendapat tanda pengenal baru : Batalyon 25, setelah Resimen 8 dan Resimen 9 dilebur menjadi BRIGADE GUNTUR II SILIWANGI.


Setelah dengan liku perjuangannya Kompi Daeng yang dikenal sejak perjuangannya di Cimahi yang terbanyak anggotanya "anak kolong" anu tukang ngolo mamang-mamang na KNIL tukang maok bedil (tukang ngerayu oom-oom KNIL mencuri senapan) tidak lagi terdengar, raib hilang lenyap entah kemana.


Nanti dulu !


Leungit lain leungit saleungit-leungitna, tapi jadi "MAUNG SILIWANGI" nu tangguh. (Hilang bukan karena hilang begitu saja, tapi menjadi MACAN SILIWANGI" yang tangguh"). Muncul menjadi BATALYON DAENG, itu sebutan umumnya ketika itu karena tidak dikenal tanda pengenalnya. Sebutan untuk kesatuan atau pasukan ialah sebutan nama Komandannya.


Secara kebetulan sekali walaupun Kapten Daeng Muhammad Ardiwinata pernah di mutasikan ke Batalyon V/ Kohar akhirnya dimutasikan ke Batalyon III/ Surjo yang terbanyak berasal dari jajaran Detasemen 9/ Momon yang juga mantan Kompi Daeng yang anggotanya dulu ketika Prahara Cimahi bersama-sama mengalami "pait peuheurna" menegakan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bersama mengalami "ti mimiti ngan boga peureup jeung samangat kahayang merdeka wungkul hingga punya bedil yang lumayan". Sekarang bertemu lagi antara bapak dan anak-anaknya, Selamat bertemu lagi Pak. 


"Hayu urang babarengan jeung dulur-dulur Maung Siliwangi sejena, urang tanjeurkeun kamerdekaan, urang usir nu ngarongrong kamerdekaan Indonesia, ku jalan kumaha oge. Pan urang mah geus boga conto, tina ngan boga peureup ayeuna lumayan geus boga bedil. Hayu urang babarengan, dur panjak urang padungdung, lalakon lila keneh".


Begitulah kira-kira getar dalam hati para pejuang kita asal "anak kolong" yang bertemu lagi dengan bapaknya.


Selanjutnya Batalyon 25/ Daeng ditugaskan sebagai Batalyon Cadangan Brigade Guntur II Siliwangi.


Ketika Belanda melakukan apa yang mereka sebut dengan Politioneele Actie sedang pihak Indonesia menyebutnya dengan Perang Kemerdekaan I tanggal 21 Juli 1947 Batalyon Daeng diperintahkan memperkuat garis pertahanan di Cikalong, Kiangroke, Ciluncat, Babakan Cianjur dan Markas Batalyon di Cikuda.


Saat Belanda menyerang front Banjaran yang dipertanggungjawabkan kepada Batalyon 23/ Totong Sahri, tidak dapat menahan serangan musuh karena tidak seimbang persenjataanya. Tentara Belanda terus bergerak tidak melalui pertahanan Batalyon 25/ Daeng tetapi memotong dibelakang pertahanan terus maju dan menduduki COP Brigade Guntur II di Lamajang dan berhasil menawan Kepala Staf Brigade Kapten Daeng Kosasih dan Letnan Entang Rukmana.


Batalyon 25/ Daeng terkepung, sambil mengadakan perlawanan dan melakukan gerakan mundur, diperintahkan mundur ke selatan untuk beralih kepada perang gerilya menuju Pangalengan, Cileunca, Cukul, Cilaki, daerah Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut, Cisewu.


Kemudian ditugaskan digaris pertahanan Arjuna, Sumbadra dan Pakenjeng sebelah timur Bungbulang Kabupaten Garut.


Sesuai perintah Batalyon 25/ Daeng melepaskan daerah yang diduduki dan dipertahankan untuk menyusup ke belakang daerah musuh :
  1. Kompi I dengan beberapa anggota Staf Batalyon menyusup ke daerah Cikalong, Banjaran.
  2. Kompi II dan IV dengan beberapa anggota Staf menyusup ke daerah Maruyung, Ciparay Majalaya.
  3. Kompi III dan Kompi Cadangan ditempatkan di daerah Caringin-Bihbul Kecamatan Cisewu.
  4. COP (Commando Post) Batalyon berkedudukan di Cimanggu-Cisewu.


Sesuai perintah Pemerintah Republik Indonesia Batalyon 25/ Daeng ditarik untuk hijrah ke daerah Republik.




Kantung perjuangan di Ciwidey siap berangkat Hijrah









sumber :

Prahara Cimahi Pelaku dan Peristiwa (Mayor Purn. S.M Arief : 1989)