Sabtu, 06 Juli 2013

Mengembangkan Strategi Pertahanan TNI


Hijrah dan Long March Divisi Siliwangi

Usaha untuk menyelesaikan persengketaan antara Republik Indonesia dan Belanda melalui diplomasi atas desakan Inggris telah dilakukan sejak akhir 1945. Perundingan pertama antara Inggris – Indonesia - Belanda diadakan di Jakarta dan dilanjutkan di Kota Hoge Zweluwe negeri Belanda pada tanggal 14 April 1946.Perundingan-perundingan ini gagal tidak menghasilkan suatu keputusan apapun.

Lord Louise Mountbatten didepan Hotel Wilhelmina, Jalan Braga Bandung


Hotel Wilhemina dijaladikan Markas Brigade V


Perundingan-perundingan dilanjutkan di Jakarta pada bulan Oktober 1946 dan menciptakan suasana yang favourable untuk perundingan-perundingan, maka disepakati untuk diadakan penghentian tembak menembak antara kedua belah pihak pada tanggal 14 Oktober 1946.

Tahap akhir perundingan diadakan di daerah Linggarjati Kuningan, hasil naskahnya di paraf pada tanggal 15 November 1946 sedangkan hasil perundingan ini ditanda tangani 4 bulan kemudian pada tanggal 25 Maret 1947.

Perjanjian Linggarjati pokoknya mengenai :
  1. Pengakuan De Facto Republik Indonesia di wilayah Jawa, Madura dan Sumatera oleh Belanda.
  2. Akan didirikan Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 1949.
  3. Dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan mahkota Belanda sebagai pimpinannya.

Sejak September 1945 Belanda dengan menarik keuntungan dari kehadiran tentara Inggris yang melakukan tugas-tugas Sekutu, khususnya di Jawa dan Sumatera terus membangun kekuatan militernya. Selama Belanda belum cukup membangun kekuatan militernya, Belanda memenuhi keinginan Inggris untuk melakukan perundingan-perundingan diplomasi dengan pihak Indonesia. Jelaslah bahwa Indonesia menganggap bahwa Inggris tidak bersikap netral, memihak kepada Belanda karena dengan hadirnya Inggris di pulau Jawa memungkinkan 

Belanda mendapat pancangan kakinya di pulau ini kembali dan kesediaan Belanda untuk melakukan perundingan Linggarjati adalah karena telah mempunyai titik pijak yang kokoh di pulau jawa dan telah mengkonsolidir kekuasaanya kembali dibagian-bagian lain dari bagian timur Indonesia.

Pada bulan April 1947 untuk melakukan operasi-operasi militer di pulau Jawa dan pulau Sumatera militer Belanda telah siapkan kekuatan militernya terdiri dari :
  1. 51.000 orang KL (didatangkan langsung dari negeri Belanda)
  2. 6000 orang Marinir.(didatangkan langsung dari negeri Belanda)
  3. 32.000 orang KNIL (bekas tawanan perang Jepang dan merekrut didaerah setempat)
  4. 10 Skuadron Udara berbagai tipe pesawat
  5. Armada laut terdiri dari 6 Kapal artileri, 10 Korvet dan puluhan kapal pendarat

Pada awal 1947 kekuatan pertahanan Republik Indonesia sebagian besar terdiri dari kekuatan darat yang terdiri dari :

1.       Kekuatan Angkatan Darat dengan kekuatan personil :
  • Pulau Jawa kurang lebih 110.000 personil tentara
  • Pulau Sumatra 64.000 personil tentara
  • Laskar Perjuangan 94.000 personil tentara di pulau Jawa dan 73.000 personil di pulau Sumatera
2.       Kekuatan Angkatan Laut (ALRI) beberapa kapal transport kecil dengan 15.000 personil pasukan darat.
3.       Kekuatan Angkatan Udara (AURI) beberapa pesawat kecil dengan 5.000 personil pasukan darat.

Belanda sangat menganggap rendah kekuatan tempur Tentara Republik Indonesia, tidak terorganisir dan terlatih dengan baik, tidak mempunyai senjata-senjata bantuan, tidak memiliki mobilitas yang tinggi untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah di Proklamasikan dan didukung oleh rakyat Indonesia sepenuhnya.

Pada bulan April 1947 persiapan-persiapan militer Belanda secara strategis memasuki tahap yang menentukan.

Persetujuan Linggarjati yang telah ditanda tangani pada tanggal 25 Maret 1947, sedangkan realisasi dari persetujuan ini secepat mungkin bagi Belanda teramat penting, karena situasi finansialnya pada bulan Agustus 1947 akan sangat kritis. Kalau kerjasama dibidang ekonomi tidak dapat segera diwujudkan Belanda, maka mereka harus menyerahkan kekuasaannya di Indonesia untuk meminta bantuan dunia internasional atau memaksakan suatu tindakan militer.

Tujuan politik Belanda akhirnya adalah mewujudkan ketatanegaraan baru didalam bentuk Negara Indonesia Serikat (RIS) dibawah Uni Belanda – Indonesia dengan Mahkota Ratu Belanda sebagai pimpinannya, untuk mencapai tujuan itu Republik Indonesia harus ditiadakan dengan melancarkan peperangan (aksi-2 polisionil) untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik Indonesia ialah Tentara Nasionalnya.

“IBU PERTIWI MEMANGGIL” sandi yang diperintahkan Panglima Besar Soedirman pada tanggal 21 Juli 1947 melalui RRI di Yogyakarta yang menyatakan bahwa : Belanda telah menyerang kita dan kita pun harus melakukan perlawanan.

Pada awal 1947 pasukan-pasukan Belanda sudah menduduki pancangan-pancangan kaki (Bridge Heads) di enam tempat yaitu :

1.       Divisi A terdiri dari Brigade Marinir
  • Wilayah Surabaya dengan kekuatan dari Brigade X
  • Wilayah Sumatera dengan kekuatan dari Brigade Z meduduki Kota Medan
  • Wilayah Sumatera dengan kekuatan dari Brigade U menduduki Kota Padang
  • Wilayah Sumatera dengan kekuatan dari Brigade Y menduduki Kota Palembang
2.       Divisi B 
      Wilayah Jawa Barat dengan kekuatan dari Brigade V dan Brigade W 
3.       Divisi C
      Wilayah Jawa Barat dengan kekuatan Brigade 7 December terdiri dari group 1,2 dan 3 menduduki :
  • Kota Jakarta
  • Kota Bogor
  • Kota Bandung
    Kosentrasi terbesar kekuatan besar Belanda di wilayah Jawa Barat.

Rencana militer Belanda pada tahun 1947 adalah menduduki seluruh pulau Jawa dengan sasaran utamanya Yogyakarta sebagai pusat kekuatan politik dan militer Republik Indonesia. Didudukinya Yogyakarta akan meruntuhkan semua perlawanan Republik maka dengan runtuhnya perlawanan ini akan memudahkan Belanda memaksakan kehendaknya.

Pergantian pasukan jaga dimarkas KNIL, Jakarta 1947


Setelah pulau Jawa diduduki, Jendral Spoor sebagai Panglima tentara Belanda di Indonesia memandang perlu untuk masih melakukan gerakan offensive di Sumatera dengan pertimbangannya bahwa sekalipun Yogyakarta dan Surakarta telah menyerah, belum diperkirakan Tentara Republik Indonesia juga akan menyerah secara menyeluruh.

Untuk melakukan gerakan ini Belanda mempersiapkan 5 Divisi, tetapi terpaksa harus diadakan perubahan rencana karena Divisi D yang sedang didatangkan sebagai perkuatan dari Eropa tidak dapat digerakan sebagai satu kesatuan Divisi karena alasan-alasan finansial.

Dengan menggunakan 4 Divisi, Jendral Spoor mempertimbangkan kembali masih memungkinkan untuk menduduki sebagaian dari pulau Jawa dan Sumatera, terutama yang mempunyai nilai ekonomis yang penting, secara politis diharapkan akan melunakan sikap politik Republik Indonesia dan akan memperbaiki posisi finansial Belanda. Untuk menjalankan operasi ini Belanda menyiapkan rencana-rencana operasi Product, Rotterdam dan Amsterdam.

Operasi Product adalah operasi terbatas dan ditujukan untuk menduduki sasaran-sasaran yang mempunyai nilai ekonomis seperti perkebunan-perkebunan, pusat-pusat pembangkit tenaga listrik, ladang-ladang minyak dan lain sebagainya.Daerah sasaran ini adalah sebagian daerah Jawa Barat, ujung timur Jawa Timur dan ladang-ladang minyak di Sumatera.

Operasi Rotterdam adalah lanjutan dari Operasi Product dengan meneruskan serangan untuk merebut Yogyakarta dan Surakarta. Rencana Rotterdam ini baru dilancarkan kalau sebagai akibat dari operasi Product timbul kekacauan disisa wilayah Republik Indoensia, seperti terjadinya penghancuran objek-objek ekonomis strategis vital, goyahnya pemerintah Republik Indonesia dan kekuatan militernya di Yogyakarta.

Operasi Amsterdam adalah rencana alternative lainnya yang baru dilancarkan kalau situasi politik benar-benar memungkinkan.

Divisi 1 Siliwangi di Jawa Barat menggelar kekuatannya didalam posisi pertahanan melingkari garis demarkasi, membentuk garis pertahanan yang memanjang. Pertahanan garis (linier) ini merupakan bentuk dari konsep perang yang kita anut ketika itu, ialah pengembangan dari tekad : Pertahankan setiap jengkal tanah”.

Kolonel A.H Nasution inspeksi pasukan


Dengan semangat yang menyala-nyala pasukan-pasukan tempur kita dilandasi oleh kesediaan berkorban yang tinggi bagi ibu pertiwi, mempertahankan setiap jengkal tanah sepanjang garis pertahannya dan dengan persenjataanya, perlengkapan perang serta pengetahuan kemampuan teknis militer yang tidak memadai. Konsepsi perang linier ini pada hakekatnya lebih didasari atau berlatar belakang emosional. Konsepsi ini berangkat dari suatu sikap yang beranggapan bahwa kita tidak patriotik kalau setiap jengkal tanah dari garis pertahanan kita itu tidak kita perhahankan secara mati-matian.

Kurang lebih 80% dari persenjataan yang dimiliki Divisi ditempatkan di frontline, sehingga untuk mempertahankan daerah belakang persenjataan kita sangat minim. Pimpinan Divisi Siliwangi ketika itu didalam persiapan kemungkinan penyerbuan Belanda, telah menyadari pentingnya organisasi teritorial untuk kerangka ketertiban kedalam, untuk kepentingan logistik dan lain-lain.

Teritorial dalam arti yang lazim, ketika itu belum dalam arti sebagai penggerak perlawanan rakyat, sekalipun mulai dirasakan oleh Divisi Siliwangi bahwa peranan territorial sangat penting bagi landasan usaha-usaha pertahanan.

Pemikiran Divisi tentang persiapan pertahanan daerah dengan menggerakan kemampuan territorial ketika itu parallel dengan instruksi dari MBT Yogyakarta yang menyebutkan dengan istilah “Wehrkreise” sebagai wujud swadaya pertahanan daerah.

Tanggal 27 Mei 1947 Belanda menyampaikan Nota Ultimatum kepada Pemerintah Republik Indonesia yang harus dijawab didalam waktu 14 hari. Seperti diduga sebelumnya jawaban Pemerintah Republik Indonesia terhadap Nota Ultimatum Belanda, Pemerintah Republik Indonesia menolak pembentukan gendarmerie bersama didaerah-daerah Republik Indonesia yang belum dikuasai Belanda.


Tanggal 15 Juli 1947 Belanda menyampaikan Nota Ultimatum lagi, pasukan TNI harus mundur dari garis demarkasi sejauh 10 km. Jawaban Republik Indonesia jelas menolak ultimatum ini, sehingga akhirnya pemerintah Belanda di Den Haag pada tanggal 17 Juli 1947 malam hari mengambil keputusan untuk melakukan serbuan terbatas terhadap Republik Indonesia. Jendral Spoor pada tanggal 18 Juli 1947 memerintahkan : “Product dag D 21 Juli”.

Akhirnya pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serbuan mendadak terhadap wilayah Republik Indonesia dengan alasan bahwa Belanda terpaksa menggunakan kekerasan karena Republik Indonesia terus menerus melakukan pelanggaran-pelanggaran dari perjanjian-perjanjian yang telah tercapai, karenanya Belanda tidak terikat lagi oleh oleh Perjanjian Linggarjati.



Ajaran Clausewitz berlaku, Belanda melakukan tindakan militer untuk melanjutkan politiknya dengan cara-cara yang lain dan tindakan militer Belanda ini ingin memaksakan kehendaknya untuk menundukan Republik Indonesia.

Di Jawa Barat Divisi Siliwangi menghadapi serbuan 2 Divisi Belanda. Dengan berpangkal tolak dari pancangan kaki Jakarta – Bogor – Bandung, Brigade V Infantrinya dengan keunggulan teknis militernya dengan mudah menembus garis-garis pertahanan kita dan bergerak dengan mobilitas yang tinggi merebut sasaran-sasarannya yang telah ditetapkan sampai Pekalongan dan Banyumas di Jawa Tengah. 

Siliwangi dengan peralatan dan tehnik sederhananya tidak dapat menandingi “military onslaught” lawan ini. Mengalami situasi yang parah, kacau balau, ditambah dengan upaya-upaya “psy-war” lawan dengan melancarkan berita-berita provokasi bahwa Panglima Siliwangi telah memerintahkan kapitulasi kepada jajaran Siliwangi.

Ketika mengembangkan rencana-rencana militernya pihak intelejen Belanda telah menyimpulkan bahwa kelemahan Tentara Republik Indonesia tidak akan mampu melakukan sesuatu peperangan konvesional. Namun pihak intelejennya juga mengingatkan bahwa bila serangan-serangan Belanda tidak berhasil, pasukan-pasukan Republik Indonesia akan melakukan perlawanan gerilya didaerah-daerah yang telah diduduki.

Taktik gerilya menempati tempat yang penting didalam doktrin tempur TRI, sedangkan penghancuran-penghancuran jalan-jalan pendekat, garis-garis perhubungan logistik, objek-objek ekonomis, taktik bumi hangus dan lain-lain merupakan bagian dari doktrin gerilya nya.

Untuk menghadapi aksi-aksi gerilya ini harus dipersiapkan suatu operasi tersendiri, didalam “tahap pasifikasi” dengan memecah pasukan-pasukan didaerah-daerah yang telah diduduki dengan melakukan operasi-operasi pembersihan dan patrol yang intensif.

Jendral Spoor menamakan strategi perebutan dan pendudukan pulau Jawa dan Sumatera keseluruhan atau sebagian sebagai “speerpunten strategie” (strategi ujung tombak). Strategi ini dibedakan adanya tahap penyerangan dan pendudukan dan tahap pasifikasi. Didalam tahap pertama suatu daerah diduduki dengan melancarkan kolone-kolone tempur bagaikan tombak-tumbak yang ditujukan kepada sentra-sentra pimpinan musuh (pos-pos komando), garis-garis perhubungan dan selanjutnya menyebarkan pasukan-pasukan untuk menguasai posisi-posisi kunci militer yang terdapat didaerah operasi.

Didalam tahap ini diperhitungkan bahwa karena kecepatan operasi-operasi ujung tombak ini musuh akan mengalami desorganisasi dan demoralisasi. Tahap operasi pendudukan dilanjutkan dengan tahap pasifikasi. Didalam tahap ini lawan yang sudah mengalami desorganisasi dan demoralisasi dan sudah terkurung dihancurkan secara total.

Operasi ujung tombak juga diarahkan unjtuk memberikan pukulan yang menentukan dengan serangan secara konvesional kepada kaum Republik sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat melanjutkan perlawanan gerilya nya. Untuk ini Jendral Spoor mengandalkan kemampuan pasukan-pasukannya yang lebih baik organisasinya, latihan-latihannya, lebih unggul persenjataanya dan perlengkapannya untuk melakukan peperangan teratur.

Pada tanggal 4 agustus 1947 PBB menetapkan adanya gencatan senjata. Gerakan offensive Belanda dihentikan, sekalipun pimpinan politik dan militer Belanda di Indonesia masih ingin melakukan “doorstroot” gerakan lanjutan untuk merebut Yogyakarta. Van Mook yakin bahwa dengan didudukinya Yogyakarta akan timbul Pemerintah Republik Indonesia yang baru lebih moderat dan lebih kooperatif.

Di jawa Barat, Belanda melakukan pelanggaran cease fire, pada tanggal 6 Agustus 1947 mereka melanjutkan aksi militernya ke Priangan timur yang belum dapat dikuasainya, didalam rangka menduduki Jawa Barat secara keseluruhan sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan pada rencana “operasi Product”

Divisi C 7 Desember selanjutnya menduduki Jawa Barat kecuali daerah Keresidenan Banten, menggelar Brigade-Brigadenya untuk mengamankan dan mengkonsolidasikan sasaran-sasaran yang telah direbutnya dan mengerahkan kesatuan-kesatuannya untuk melakukan operasi-operasi pembersihan dalam rangka “tahap pasifikasi” nya.


5th Indien Division menjaga tawanan pasukan Jepang


Agresi Militer Belanda I dengan Kode "Operation Product"


Sektor Jawa barat dilakukan dari arah Cirebon dan Jakarta menuju Bandung, mereka dapat bergrak dengan cepat karena jalan dan jembatan masih utuh, disebabkan karena pada waktu tentara Inggris belum ditarik dari Indonesia jalan-jaan ini dipergunakan untuk mengangkut tawanan tentara Jepang atas dasar persetujuan RI dan Inggris.

Divisi 1 Siliwangi tidak berhasil dihancurkan oleh agresi militer Belanda. Pada awal serangan-serangan Belanda mengalami kekacauan, namun pasukan-pasukannya tidak mengalami demoralisasi, malahan setelah mendapatkan pukulan-pukulan digaris-garis pertahanan mereka mengundurkan diri secara berkelompok-kelompok maupun perorangan kedaerah-daerah pegunungan di sebelah wilayah selatan  Jawa Barat untuk selanjutnya berangsur-angsur disusun kembali didalam kesatuan-kesatuan teknis semula.

Umumnya pasukan-pasukan kita dapat menghindarkan diri dari pertempuran konvesional yang menetukan (decisive battles) seperti yang diinginkan pihak Belanda. Resimen perjuangan dibawah pimpinan Letkol Abdulah Saleh yang bertugas dipertahanan Bekasi dapat mengundurkan diri secara utuh dengan selamat berserta keempat batalyonnya ke daerah basisnya di Priangan timur, begitu pula dengan Brigade-Brigade, Batalyon-Batalyon Siliwangi yang lainnya, menempati kedudukan-kedudukan taktis untuk melanjutkan perlawanan.

Roda Pemerintahan Republik Indonesia ditingkat Provinsi, Kabupaten menjadi lumpuh akibat jaringan kedudukan dan pendudukan Belanda, tetapi pemerintahan pedesaan masih tetap mampu berjalan dengan lancer menjalankan tugasnya sehari-hari. Rakyat masih tetap menunjukan kesetiaannya kepada Republik Indonesia. Dipedesaan-pedesaan dibawah kepemimpinan para Lurah, memelihara dan mendukung pasukan-pasukan Siliwangi yang kemudian melancarkan operasi-operasi gerilya melawan pasukan-pasukan Belanda.

Aksi melawan tentara Belanda meningkat intensitasnya setelah selesai mengadakan konsolidasi territorial, setelah ditetapkan adanya sistem pertahan “Wehrkreise”. Pasukan-pasukan melakukan perubahan-perubahan dislokasi. Resimen 6 Brigade III yang berada didaerah Darmaraja Sumedang dengan ketiga batalyon nya melakukan aksi Wingate yaitu aksi suatu gerakan penyusupan kembali kedaerah asalnya, Jakarta Timur. 

Begitu pula pasukan-pasukan lainnya yang berada didaerah-daerah pengunduran, mereka melakukan aksi wingate kembali menyebar kedaerah-daerah penugasan asalnya. Sistem pertahan ini ditingkat taktis, berangsur-angsur berkembang menjadi sistem pertahanan teritorial (wilayah) tingkat strategis.

Tidak berhasilnya dihancurkannya pasukan-pasukan TNI merupakan suatu kesalahan yang paling fatal bagi Belanda. Strategi ujung tombaknya memang berhasil menduduki daerah yang cukup luas, yang secara ekonomis dapat menghasilkan devisa untuk dapat selanjutnya membiayai aparat militernya, tetapi menempatkan penghancuran kekuatan musuh pada prioritas yang kedua. Ajaran Von Clausewitz mengatakan bahwa penghancuran kekuatan musuh adalah “die eigentliche wirksame handlung” artinya didalam suatu konflik bersenjata dan menduduki suatu wilayah merupakan tindakan selanjutnya, kalau musuh belum dapat dikalahkan, dia akan dapat mengalahkan saya, merupakan pula satu adagium Von Clausewitz.

Sementara itu KTN (Komisi Tiga Negara) dari PBB pada tanggal 27 Oktober 1947 telah tiba di Jakarta dan mulai melaksanakan tugasnya menberikan jasa-jasa baiknya untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia – Belanda. Didalam sidangnya pada tanggal 9 Desember 1947 KTN mengajukan suatu skema mengenai Garis Demarkasi efektif untuk mendapat persetujuan delegasi Indonesia – Belanda, yang mengakibatkan Belanda harus mengosongkan semua daerah yang yang telah didudukinya, sedang pihak Indonesia harus mengosongkan daerah-daerah kantong perjuangan. Belanda menolak skema itu dan meminta pengakuan suatu garis demarkasi yang disebut “Garis Van Mook” yang telah di sahkan tanggal 5 September 1947.


TRI berlatih baris berbaris, 21 Desember 1947 

Jelas begitu pula dengan pihak Republik Indonesia tidak dapat menerima tuntutan mereka, Belanda mengeluarkan kartu truf nya untuk meng “unbalance” posisi Republik Indonesia dengan mengajukan suatu ultimatum bahwa Belanda akan melanjutkan aksi militernya ke Yogyakarta kalau Republik Indonesia tidak mau mengakui “Garis Van Mook”.

Pada tanggal 17 Januari 1948 bertempat diatas kapal USS Renville oleh Indonesia dan Belanda ditanda tangani perjanjian gencatan senjata, yang kemudian dikenal dengan peristiwa “Perjanjian Renville”. Berarti bahwa daerah dibelakang Garis Van Mook adalah Daerah kekuasaan Belanda karenanya Indonesia harus mengosongkan daerah tersebut dari semua pasukan TNI.


Keputusan politik ini tidak mendapat sambutan baik dari para pejuang yang berada dilapangan, juga direspon oleh pihak Angkatan Perang sendiri. Hanya berkat disiplin dan loyalitas kepada pimpinan Nasional, akhirnya keputusan itu dapat diterima dengan berat hati terpaksa dilaksanakan.

SILIWANGI HIJRAH

Untuk kedua kalinya terjadi, atas pertimbangan politik pasukan-pasukan TNI harus mengosongkan suatu daerah yang masih dikuasainya, yang pertama adalah Kota Jakarta pada tanggal 19 November 1947 yang kedua adalah Jawa Barat kecuali Banten.

T.R.I memasuki Yogyakarta

Yang pertama dilakukan oleh 1 Resimen TKR sedang yang kedua oleh 1 Divisi TNI. Pimpinan Angkatan Perang di Yogyakarta menyadari kemungkinan Siliwangi akan enggan pindah ke Jawa Tengah. Tetapi karena ini adalah suatu keputusan politik dari negara, maka perintah untuk Hijrah harus di taati oleh Siliwangi dimana pun mereka berada. Karena itu perintah kepada Siliwangi untuk Hijrah ke Jawa Tengah harus disampaikan oleh kurir – kurir khusus kepada para Komandan pasukan dari Divisi Siliwangi, selain sulitnya berkomunikasi, juga untuk menghindari kesalah pahaman yang tidak perlu pada pelaksan-pelaksanaannya nanti.


T.R.I dalam rangka menyambut kedatangan Soekarno-Hatta


T.R.I dalam rangka menyambut kedatangan Soekarno-Hatta


T.R.I dalam rangka menyambut kedatangan Soekarno-Hatta



Para Perwira-Perwira kurir dari Panglima Besar ternyata tidak membawa perintah kepada Divisi Siliwangi untuk hijrah saja, mereka membawa juga membawa pesan khusus dari Panglima Besar agar tidak seluruh divisi di hijrahkan ke Jawa Tengah, meninggalkan pasukan-pasukan untuk tetap melakukan perlawanan gerilya terhadap Belanda dan memelihara kehadiran Merah Putih di Jawa Barat.

Siliwangi meninggalkan Jawa Barat karena suatu keputusan politik, bukan karena kalah dalam pertempuran. Sebelum berangkat hijrah, setiap prajurit Siliwangi meninggalkan janji kepada rakyat Jawa Barat bahwa pasukan Siliwangi akan kembali ke Jawa Barat. Belanda yakin bahwa Siliwangi tidak akan kembali secara utuh ke Jawa Barat karena perhitungan strateginya, gerakan mundur ke Jawa Tengah sama dengan mengiring pasukan-pasukan Siliwangi ke suatu “killing ground” yang telah dipersiapkan.


Pelaksanaan hijrah ini dimulai pada tanggal 1 Februari 1948 dengan memindahkan pasukan-pasukan Siliwangi dari kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat sisa daerah kekuasaan Republik Indonesia di Jawa Tengah dan dapat diselesaikan pada tanggal 27 Februari 1948.

Tugas Siliwangi di daerah hijrah adalah mengadakan reorganisasi jajaran tempurnya dengan pertimbangan :
  1. Organisasi pasukan harus lebih diperbaiki agar formasinya penuh dan lengkap oleh personil terpilih.
  2. Setiap prajurit harus mempunyai senjata organiknya masing-masing menurut perkiraan 1:1 (sebelumnya kekuatan senjata pasukan rata-rata hanya 30% – 50%.
  3. Setiap anggota harus mempunyai keteranpilan militer

Dari kekuatan 5 Brigade 42 Batalyon yang datang hijrah dari Jawa Barat direformasi menjadi 2 Brigade 4 Batalyon lengkap personil dan persenjataanya. Kemudian dibentuk lagi 1 Brigade tambahan yang terdiri dari Resimen perjuangan, sehingga kekuatan Siliwangi menjadi 3 Brigade. Siliwangi setelah di re-organisir ini tidak diberi tanggungjawab pertahanan daerah tetapi disusun kedalam Kesatuan Reseve Umum X, sedangkan Brigade 1 / SLW B.S langsung dibawah pimpinan Angkatan Perang.

Panglima Siliwangi setibanya di Yogyakarta dari Jawa Barat, didalam laporannya kepada Wakil Staff Umum menggambarkan pengalaman Divisi Siliwangi di Jawa Barat melaksanakan perlawanan gerilya selama 7 bulan, berbagai kekurangan yang dialami dan menunjukan pula “bagaima wujud sebenarnya dari pertahanan rakyat”. Pengalaman-pengalaman berharga yang diperoleh divisi SLW sewaktu menghadapi Aksi Militer Belanda di Jawa Barat antara lain adalah :
  1. Pertahanan yang disusun secara pertahanan garis oleh TNI ternyata tidak mampu membendung gerak maju musuh dan dimana-mana mudah diterobos mereka, karena musuh lebih terlatih dengan persenjataan yang lengkap sehingga dapat mengembangkan tehnik dan taktik tempur dilapangan.
  2. Mobilitas Belanda sukar dihambat hanya dengan memasang rintangan-rintangan dijalan-jalan pendekat karena memiliki kesatuan-kesatuan Zeni dengan peralatan modern.
  3. Dengan menggunakan taktik gerilya ternyata pasukan TNI lebih efisien dan efektif untuk memukul musuh dimana-mana. 
Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) juga diadakan ditingkat pusat, ditingkat Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia Panglima Siliwangi diangkat menjadi Wakil Panglima Besar.

Markas Besar APRI menyusun rencana perang, strategi pertahanan RI dalam menghadapi serangan Belanda yang akan datang. Reorganisasi TNI menyusun pasukan-pasukan mobile,pasukan-pasukan teritorial dan organisasi teritorial dari atas sampai ketingkat desa. Secara garis besarnya adalah berdasarkan inti pengalaman Siliwangi di Jawa Barat.

Intinya adalah Perintah Siasat No. 1 /STOP/ 48 yang ditanda tangani didepan rapat para Panglima Divisi pada bulan Mei 1948.

Perintah siasat No 1 ini berisi konsep pertahanan rakyat total, tahap-tahap yang dihadapi dan pembagian tugas daerah demi daerah disebut wehrkreise-wehrkreise yang mandiri yang batu sendinya adalah adalah pertahanan rakyat desa dibina oleh kader-kader teritorial. Pada tahap pertama kita melakukan aksi-aksi penghambatan gerak maju musuh serta melakukan tindakan-tindakan bumi hangus sambil mengundurkan diri, kepangkatan-kepangkatan gerilya yang telah dipersiapkan, pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal (Renville) kembali kedaerah-daerah tugasnya disana.  

Dengan demikian digelarkan medan gerilya dari Banten di Jawa Barat sampai Besuki di Jawa Timur dan menjamin de facto RI berdasarkan pedesaan dikantong-kantong. Setelah melakukan konsolidasi dalam triwulan ke II kita mulai dengan aksi-aksi taktis offensif terhadap garis-garis perhubungan dengan posisi-posisi taktis Belanda dan telah ditentukan sasaran-sasaran militer, politik, ekonomi dan sosial.  

Konsolidasi yang dilakukan harus mewujudkan “wehrkreise” yang mandiri, pangkalan-pangkalan gerilya diluar kota untuk dapat melakukan perang rakyat sepanjang masa. Untuk menghadapi itu Belanda tidak akan mungkin mempunyai tenaga yang cukup, sehingga akhirnya secara strategis akan terjadi titik balik.”

Tugas SLW didalam strategi perang rakyat total ini adalah melakukan perang gerilya didaerah asalnya ialah Jawa Barat. Untuk memungkinkan pelaksanaan tugas ini SLW harus melakukan aksi wingate kembali ke Jawa Barat, melakukan penetrasi jarak jauh terlebih dahulu dari pangkalan-pangkalannya di daerah hijrah dan sesampainya didaerah-daerah operasinya masing-masing kesatuan (Brigade, Batalyon) melakukan konsolidasi teritorial dan membentuk wehrkreise-wehrkreise sebagai pangkalan-pangkalan perlawanannya.

Perbandingan tempur relatif didalam peperangannya antara Belanda dan RI, Belanda mengandalkan kepada keunggulan kekuatan militernya yang modern bertujuan sepenuhnya untuk meniadakan RI dengan menghancurkan kekuatan angakatan bersenjata TNI. Strategi ini, meminjam teori Hans Delbruck dinamakan strategi “Niederwerfungs strategie” sedangkan perjuangan bersenjata RI adalah untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, keterbatasan sumber-sumber nasionalnya dan lain-lain TNI mengembangkan kekuatannya secara terpadu dengan rakyat untuk dapat melakukan perlawanan yang panjang, tidak terbatas kepada factor waktu. Hans Delbruck menamakannya sebagai “Ermattungs strategie”.

Pemberontakan PKI di Madiun

Pada tanggal 18 September 1948 meledak pemberontakan PKI di Madiun, Pidato Presiden RI pada malam 19 September 1948 antara lain menyatakan :
Kemarin pagi PKI pimpinan Muso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan disana suatu Pemerintahan Sovyet dibawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh Pemerintah RI. Nyata dengan ini, peristiwa Solo dan Madiun itu tidak berdiri sendiri melainkan adalah suatu rangkaian tindakan untuk merobohkan Pemerintah RI. Madiun harus lekas ditangan kita kembali".

Brigade Kusno Utomo dan Brigade Sadikin dari SLW yang setelah melakukan reformasi dan reorganisasi mempunyai daya tempur yang lebih dapat diandalkan digerakan untuk menumpas pemberontakan ini.

Pada tanggal 30 September 1948 Brigade Sadikin merebut kembali Madiun dan segera melakukan link up dengan pasukan yang datang dari timur yakni pasukan dari Divisi Narutama yang dipimpin oleh Mayor RM Yonosewoyo. Batalyon-batalyon Nasuhi dan Achmad Wiranatakusumah bergerak ke Pacitan, Batalyon-batalyon Lucas, Sentot Iskandardinata dan Dharsono melakukan pembersihan didaerah Madiun dimana Letkol Sadikin menjadi Komandan Militer Daerah. Batalyon-batalyon Kosasih dan Kemal Idris meneruskan aksi pembersihan ke Purwodadi dan Pati. Dua bulan kemudian, sesudah pemberontakan terjadi, pasukan-pasukan SLW berhasil menawan pemimpin-pemimpin tertinggi pemberontakan dengan menghadang induk kekuatan pasukannya.

Setelah selesai melaksanakan tugas ini kesatuan-kesatuan SLW kembali melanjutkan tugas mempersiapkan aksi wingate nya, moril bertambah tinggi karena telah berhasil melaksanakan tugas mengatasi suatu krisis nasional yang dibebankan kepadanya.


Belanda ingin melanjutkan starategi ujung tombaknya untuk menghancurkan RI

Setelah aksi militernya yang pertama dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947, Jenderal Spoor berkesimpulan bahwa, tidak cukup menduduki sebagaian Jawa dan Sumatra, melainkan diperlukan aksi lanjutan untuk menduduki seluruh pulau-pulau tersebut. Spoor menuduh bahwa ibu Kota Yogyakarta yang tetap bebas merupakan sumber semangat perjuangan bagi pasukan-pasukan TNI yang tersebar karena offensive Belanda untuk menlanjutkan perlawanan gerilya, meskipun pada tanggal 5 Agustus 1947 kedua belah pihak telah memaklumkan penghentian tembak menembak.

Guna realisasi pendudukan sisa daerah Republik di Jawa, Jendral Spoor tetap berpegang kepada strategi UJUNG TOMBAK.


Jendral Simon Hendrik Spoor


Pada pertengahan Agustus 1947 Spoor menyususn rencana operasi Cato yang berisi rencana gerak maju kolone-kolone tempur mobile Belanda lewat darat ke Yogyakarta, Solo, Kediri dan Jombang. Akhir Agustus 1947 Kabinet Beel di Negeri Belanda memutuskan untuk melakukan kembali perundingan dengan pihak RI, akan tetapi 16 bulan kemudian aksi polisionil kedua dimulai lagi pada tanggal 19 Desember 1948. Operasi pendudukan Jawa seluruhnya diberinama sandi “Operatie Kraai” yang sasaran utamanya adalah Yogyakarta yang akan digempur oleh tiga gugus tempur.

Pada hari H, satu-satunya kompi KNIL akan terjun dilapangan terbang Maguwo dan akan disusul oleh Korps Speciale Troepen (KST) dan tiga batalyon infantri. Mereka akan merebut Yogyakarta bersama satu batalyon dari Brigade T dari Semarang akan bergerak lewat darat bersamaan dengan Brigade V dari Banyumas dan pasukan-pasukan lain untuk sasaran-sasaran penting di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta khusus pendudukan Bukittinggi di Sumatera.

Pengalaman sesudah PK 1 memberi kenyakinan kepada Jendral Spoor bahwa setelah pulau Jawa diduduki seluruhnya, tentara Belanda dapat melaksanakan kontra gerilya dengan hasil yang baik karena diperkirakan pasukan-pasukan TNI tidak akan dapat melanjutkan perang gerilya yang lama yang disebabkan demoralisasi TNI setelah pemimpin-pemimpinnya ditangkap.

Operatie Kraai kemudian tidak jadi dilaksanakan karena persetujuan Renville pada 17 Januari 1948 RI harus mengakui garis demarkasi Van Mook dan kurang lebih 30.000 pasukan gerilya akan ditarik dari kantong-kantong gerilya didaerah-daerah yang diduduki Belanda.

Setelah dilakukan beberapakali revisi rencana Operasi Kraai, maka akhirnya pada bulan Oktober 1948 tujuan strategis militer dari tindakan militer Belanda disusun dalan petunjuk-petunjuk operasional sebagai berikut:
  1. Pusat-pusat Pemerintah Yogyakarta dan Bukuttinggi (Fort de Kock)
  2. Daerah-daerah di Jawa yang belum diduduki oleh tentara Belanda
  3. Wilayah sebesar mungkin dari Sumatra

Didalam Operasi Kraai ini pendudukan Jawa dan Sumatra tidak dianggap sebagai sasaran strategis akhir yang harus dilakukan tetapi sebagai sarana untuk meniadakan RI dan untuk menghancurkan TNI. Untuk melaksanakan tugas strategis ini kekuatan Belanda diorganisir didalam kolone-kolone tempur untuk melakukan penyerangan denganterlebih dahulu melumpuhkan Pemerintah RI dan pimpinan Angkatan Perangnya, kemudian sentra-sentra pimpinan tentara dan posisi-posisi penting militer lainnya.

Pengalaman-pengalaman Belanda selama aksi politionilnya yang pertama mengajarkan bahwa bukan perebutan dan pendudukan wilayah yang harus diutamakan, tetapi penghancuran kekuatan bersenjata musuh terlebih dahulu dijdikan prioritas yang pertama untuk kenudian dapat dicapai tujuan politik yang dikehendaki dan dilakukan pembangunan ekonomi.

Pengalaman Siliwangi tentang perang melawan para penjajah sudah matang, apalagi setelah mendapat penggodogan oleh pemimpin kita di Markas Besar di Yogjakarta, kemudian penggodogan itu dijadikan garis kebijaksanaan dalam rangka menghadapi kemungkinan agresi Belanda yang berikutnya, yang oleh pemimpin Angkatan Darat dinyatakan pasti akan terjadi pada suatu waktu, walaupun belum diketahui kapan terjadinya.

Pimpinan APRI antara lain Kolonel A.H Nasution yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Staf Operasi MBAP yang sekaligus merangkap sebagai Wakil Panglima Besar dengan seksama telah menyusun suatu rencana mengenai persiapan ”Aksi Wingate” untuk ke Jawa Barat dan karena berdasarkan pengalaman masa perang kemerdekaan pertama yakni dalam menanggulangi agresi Militer Belanda Pertama dulu, maka disusunlah Rencana Operasi Militer dalam Perintah Siasat No.1 yang kita kenal dengan “Perintah Siasat No.1 “ atau “Perintah Panglima Besar No.1” yang isinya tentang Instruksi Panglima Besar Sudirman tertanggal Yogjakarta 9 November 1948 yaitu antara lain :
  1.  Tidak lagi menggelar pertahanan linier di dalam menanggulangi agresi militer Belanda.
  2. Meniadakan politik bumi hangus.
  3. Meniadakan pengungsian yang ditulangpunggungi oleh politik non kompromi sepenuhnya.
  4. Pembentukan wehrkreise wehrkreise sebagai basis perlawanan gerilya dan pemerintahan gerilya.
  5. Kesatuan-kesatuan yang telah berhijrah, harus bergerak menyusup kembali ke kedudukannya sebelum dihijrahkan, untuk menyusun wehrkreise - wehrkreisenya.

Panglima Besar Jendral Sudirman

Pada tanggal 29 Oktober 1948 karena berita tentang kasus korupsi Gubernur Jenderal Van Mook semakin melebar, akhirnya pemerintah Belanda mengganti Van Mook dengan Gubernur jenderal yang baru oleh Louis Joseph Maria Bell.

Setelah proses pengkajian yang cukup intensif dan panjang antara pihak pemerintah dan militer Belanda di Indobesia dengan perintah Belanda di Den Haag serta pembahasan-pembahasan dalam kabinet Belanda, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1948 Menteri Sessen atas nama Pemerintah Belanda mengirim kawat lewat Dinas Sandi Angkatan Laut yang berisi perintah kepada Beel (pengganti Van Mook) untuk melaksanakan “aksi bersenjata total” yang sedapat mungkin tin sebelum tanggal 18 Desember 1948 (perlu dicatat bahwa Dewan Keamanan PBB akan reses pada tanggal 15 Desember, sehingga Dunia Internasional dapat di fail accomplitkan). 



Louis Joseph Maria Beel (duduk berkacamata)



Pada tanggal 14 Desember 1948 Beel mengirimkan kawat kepada Sassen bahwa jam D adalah pukul 00.01 tanggal 18 Desember, Jendral Spoor memerintahkan kepada jajarannya : “Kraai dag Dirk zaterdag achttien December”.

Perintah Kilat No 1 Panglima Besar Soedirman

Pada tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 Angkatan Perang Belanda menyerang wilayah Republik Indonesia “zwaartepunt” (titik berat) serangan Belanda diutamakan di Jawa Tengah, yang dengan serangan mendadak merebut dan menduduki Yogyakarta dengan tujuan untuk meniadakan Pemerintah RI, menangkap pimpinan Pemerintah dan pimpinan angkatan perang. Serangan menduduki lapangan terbang Maguwo dilaksanakan tanpa hambatan yang berarti. Dua Kompi Para Belanda melakukan serbuan udara dengan perlindungan udara yang kuat. Dalam waktu yang cepat sebagai follow up didaratkan pasukan-pasukan Komando (KST) dan dua Yonif. Tujuh jam kemudian ibu kota Yogyakarta diduduki oleh pasukan-pasukan Belanda.


KST mengusasi Lapangan Terbang Maguwo 19 Desember 1948


Sesaat akan memasuki Kota Yogyakarta


Menguasai Kota Yogyakarta



Pimpinan Pemerintah RI sebagian besar ditawan oleh Belanda tetapi Panglima Besar Angkatan Perang RI didalam keadaaan sakit berhasil menuju kearah selatan ibu kota untuk dapat melanjutkan perjuangan. Didaerah-daerah lain secara serentak Belanda menggerakan tiga Brigade menuju daerah pedalaman untuk merebut Wonosobo, Magelang, Surakarta. Satu Batalyon diperkuat unsur-unsur Kavaleri bergerak dari Demak untuk merebut Cepu. Di Jawa Barat satu Brigade dari Brigade C “7 Desember” pada tanggal 23 Desember 1948 menyerbu untuk menguasai Banten dan di Jawa Timur Brigade Marinir Belanda dan kesatuan-kesatuan lainnya dari Divisi A merebut dan menduduki kota-kota RI yang masih tersisa.

Umumnya pasukan-pasukan Belanda menduduki kota-kota didalam keadaan dibumi hanguskan dan mendpat perlawanan pasukan-pasukan TNI yang ditugaskan melakukan pertempuran-pertempuran penghambat untuk memberikan waktu dan ruang kepada induk pasukan-pasukan TNI bersama unsur-unsur pemerintah daerah menghindarkan pertempuran-pertempuran yang menentukan untuk menuju ke pangkalan-pangkalan perlawanan “wehrkreise-wehrkreise” yang telah dipersiapkan untuk beralih ke pertempuran gerilya.

Brigade-Brigade SLW telah berada dipangkalan-pangkalan awalnya yang telah ditetapkan sebelum melakukan tugasnya melakukan aksi wingate ke Jawa Barat. Ketika itu Brigade dengan Batalyon-batalyon nya sedang dalam konsolidasi setelah selesai melaksanakan tugas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Moril pasukan berada dalam keadaan tinggi karena didalam operasi-operasinya penumpasan PKI mendapatkan kemenangan-kemenganan dan rampasan senjata yang cukup banayak dan diliputi oleh perasaan bahwa waktu untuk kembali ke Jawa Barat sudah dekat.

Brigade-Brigade SLW telah berada didalam keadaan siap berangkat. Rencana-rencana operasi sudah disusun antara lain penentuan route perjalanan, daerah-daerah sasaran tiap batalyon di Jawa Barat rencana Logstik; Divisi memberikan arahan-arahan strategis, sedangkan pada operasi dan taktiknya masing-masing.

Rencana operasi tiap kesatuan:
1.        Brigade 12 dibawah pimpinan Letnan Kolonel Kusno Utomo, terdiri dari :
  1. Batalyon R.A Kosasih bergerak dari Magelang menuju Sukabumi, Bogor
  2. Batalyon Achmad Wiranatakusumah bergerak dari Solo menuju Bandung Selatan
  3. Batalyon ini ditugaskan terlebih dahulu untuk mengawal Staf Divisi Siliwangi (SDS) sampai daerah Tasikmalaya Utara, untuk kemudian lanjut kedaerah tujuan tugasnya
  4. Batalyon Kemal Idris, bergerak dari Yogyakarta menuju Cianjur
  5. Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata, bergerak dari Yogyakarta menuju Garut.
2.       Brigade 13 dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin, terdiri dari :
  1. Batalyon Rukman : telah berangkat terlebih dahulu dan sudah menyusun wehrkreise didaerah Kuningan, Cirebon.
  2. Batalyon Abdurachman, bergerak dari Wonosobo menuju Sumedang
  3. Batalyon Lucas, bergerak dari Banjarnegara menuju Karawang, Purwakarta.
  4. Batalyon Dharsono, bergerak dariBanjarnegara menuju Gunung Sanggabuana.
3.       Brigade 14 dibawah pimpinan pimpinan Mayor Syamsu, terdiri dari :
  1. Batalyon  Nasuhi, bergerak dari Temanggung menuju Ciamis Utara
  2. Batalyon Husensyah,  bergerak dari Purworejo menuju Tasikmalaya Utara
  3. Batalyon Sudarman, bergerak dari Magelang menuju Ciamis Selatan
  4. Batalyon Rivai, bergerak dari Muntilan menuju Tasikmalaya Selatan
4.       Kesatuan-kesatuan lain yang bergerak ke Jawa Barat tidak dalam hubungan Brigade/ Batalyon adalah :
  1. Co-Troeps dibawah pimpinan Mayor Umar Wirahadikusumah
  2. Kompi Tentara Pelajar dibawah Kapten Solihin Gautama Purwanegara
  3. Kompi CPM dibawah pimpinan Kapten A.J Kusno
  4. Kompi CPM dibawah pimpinan Lettu Emon Suparman
  5. Batalyon Depot Pendidikan
  6. Dan lain-lain
5.       Dari unsur MBKD berangkat suatu tim perwira dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala wakil Kepala Staf Teritorial untuk membentuk Pos X MBKD di Jawa Barat.

Batalyon-Batalyon SLW umumnya mengetahui apa yang harus dilakukan pada tanggal 19 Desember 1949 begitu mengetahui Belanda menyerang tanpa menunggu lagi kode “Aloha” segara berangkat melakukan aksi wingate menyusup ke Jawa Barat. Didalam melakukan penyusupan-penyusupan SLW diperintahkan untuk menghindarkan pertempuran-pertempuran dengan pihak Belanda untuk menghemat tenaga tempur dan mesiu kecuali bilamana situasi taktis menghendaki.

Perintah Kilat Nomor 1 Panglima Besar mulai dilaksanakan terutama yang berbunyi : “Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”.

“Speerpunten Starategie” Belanda berhasil, sebagian ibu kota berhasil didudukinya dan menangkap dan menawan sebagian pimpinan Pemerintah RI. Tetapi Belanada tidak berhasil menangkap pimpinan Angkatan Perang RI. Dan Kolone-kolone tempurnya yang menyerang bagaikan tombak-tombak yang dilancarkan untuk menyerang sentra-sentra pimpinan TNI dan mengepung daerah-daerah pemusatan TNI tidak berhasil untuk menghancurkannya. TNI beralih ke offensive, baginya perang baru dimulai.

satu per satu otoritas Republik ditahan tentara Belanda


satu persatu otoritas Republik ditahan tentara Belanda


Overste Van Langen saat penangkapan Soekarno-Hatta



Pasukan-pasukan SLW bergerak menyusup ke Jawa Barat, begitu pula pasukan-pasukan TNI lainnya memasuki daerah-daerah yang telah diduduki Belanda (daerah federal) antara lain dari Divisi Diponegoro:
  1. Brigade Bachrun, menyusup kedaerah Pekalongan
  2. Brigade Hayam Wuruk, telah berhasil menyusup kedaerah Surabaya
  3. Brigade Damarwulan, telah berhasil menyusup ke daerah Jember

Kesatuan-kesatuan TNI yang sebelum Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua terpusatkan didalam daerah RI yang relatif tidak luas, setelah serangan Belanda melakukan outbreaks karena tidak ada garis demarkasi, garis-garis front lagi dan melakukan penyebaran mengambil posisi untuk melakukan perlawanan gerilya.

Ketidakpuasan Belanda dinyatakan oleh Mayor Jendral Meyer, Panglima Divisi B pada tanggal 30 Desember 1948:
“Nampaknya makin jelas apa yang direncakanan oleh bekas Republik Indonesia yaitu setelah Belanda melakukan doorstootnya sebanyak mungkin menimbulkan kekacauan didaerah belakangnya dengan melakukan penyerangan terhadap pos-pos kecil, patrol-patroli, mengganggu jalan-jalan perhubungan, pendeknya untuk melakukan perlawanan gerilya seluas mungkin. Bekas Tentara Republik akibat offensif Belanda tersebar, tetapi masih memiliki senjata secara utuh dan sama sekali tidak hancur.”

(Didalam pernyataan aslinya bekas RI disebut sebagai “de voormalige republiek” dan bekas Tentara Republik disebut sebagai “het ex-Rep leger”)

Aksi Wingate SLW didalam pelaksanaannya tidak dilakukan dalam hubungan divisi yang secara sentral dipimpin oleh Panglima Komandan Brigade tetapi di desentralisasikan pada tingkat batalyon-batalyon nya. Sehingga dengan demikian gerakan dapat dilakukan dengan cepat, lebih kenyal, mobile, memudahkan komando dan pengendalian, bantuan logistic lebih menguntungkan dll.

Umumnya batalyon-batalyon SLW didalam gerak penyusupannya menggunakan dua poros gerak yaitu :
  1. Poros gerak Wonosobo – Lembah Serayu – Gunung Selamet (lereng selatan) – Bumiayu – Salem – Perbatasan Jawa Barat
  2. Poros gerak Wonosobo – Karangkobar – Pegunungan Dieng – Gunung Selamet (lereng utara) – Bumiayu – Salem – Perbatasan Jawa Barat.

Situasi taktis yang berkembang dilapangan yang dihadapi tipe batalyon tidak sama. Batalyon Tajimalela/ 13 melakukan pertempuran perjumpaan di Banjarnegara dengan batalyon Belanda yang melakukan gerak maju dari Purwokerto untuk menduduki Wonosobo, dan berhasil menahan Belanda selama 24 jam. 

Sekalipun Belanda mendapatkan bantuan dari udara dan perkutan 1 batalyon, Batalyon Sudarman/ 14 dapat menembak jatuh pesawat terbang Belanda di daerah Kaliangkrik. Sedangkan batalyon-batalyon Suryakencana/12 dan Batalyon Tengkorak/ 14 dapat menghadang konvooi Belanda diantara Magelang dan Tempel juga mendapatkan rampasan-rampasan senjata.

Dalam perjalanan selanjutnya mengalami pemboman udara dan tembakan-tembakan artileri di dekat perbatasan Jawa Barat. Batalyon Abdurachman melakukan melakukan pertempuran perjumpaan dengan usaha Belanda yang berusaha menghadangnya.

Batalyon Kiansantang/ 13 bertindak agresif sepanjang perjalanannya sampai didaerah tugasnya di Jawa Barat menyerang setiap sasaran yang dijumpai, mulai dari penghadangan konvooi didaerah Bobotsari, penyerangan pos Belanda di Ajibarang dan lain-lain.


Tetapi SLW juga mengalami kerugian yang amat besar dengan tertawannya Letnan Kolonel Daan Yahya sebagai Staf merangkap Panglima Divisi SLW bersama Komandan Batalyon Daeng Mayor Daeng Muhammad Ardiwinata dari Brigade 13 SLW oleh Brigade Infantri V (Andjing Nica) Belanda. Prahara Long March Siliwangi ini, dikarenakan Panglima Letkol Daan Yahya tertangkap maka jabatan beliau digantikan Letkol Sadikin, namun karena sulitnya komunikasi dilain tempat diangkat juga Letkol Abimayu sebagai panglima. Karena terjadinya dualisme kepemimpinan maka akhirnya diputuskan dibagi menjadi dua kekuasaan daerah militer panglima.


Letkol. Daan Yahya


Koleksi pribadi
Daeng Muhammad Ardiwinata


Brigade W dari Divisi B Belanda yang menempati suatu “grendelpositie” didaerah perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat tidak dapat menggagalkan dan menahan maju kearah barat 1 divisi TNI yang terdiri dari 14 batalyon yang sebagian besar diikuti oleh rombongan keluarganya.

Setelah menyebrang perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat umumnya batalyon-batalyon menyebar menuju pangkalan gerilya nya masing-masing. Brigade 12 dan 13 sampai didaerah tugasnya masing-masing praktis dalam keadaan utuh hanya mengalami kerugian personil/ materiil kurang dari 5%.

Kerugian yang terbesar dialami oleh Brigade 14 yang ditugaskan untuk menyusun wehrkreise di Priangan Timur yaitu Batalyon Siluman/ 12. Staf Divisi SLW, Co Troeps yang tidak terduga ialah kekuatan DI/TII yang menghadang pasukan-pasukan SLW ini.

Dari keempat Batalyon Brigade 14 hanya tinggal Batalyon Tengkorak dibawah pimpinan Mayor Nasuhi yang utuh dan tetap bertugas di Ciamis utara sedangkan Batalyon Garuda Hitam dibawah pimpinan Mayor A. Rivai yang seharusnya menempati daerah Tasikmalaya selatan setelah mengalami pertempuran besar dengan pasukan DI/TII di Antralina pada tanggal 25 Januari 1949 melanjutkan perjalanannya ke daerah Majalaya, bandung selatan.

Laporan-laporan situasi Divisi C “7 Desember”, menyatakan :
“ tidak dbahwa pada bulan-bulan Januari dan Februari 1949 Divisi Siliwangi secara infiltrasi in companies gewijs memasuki Jawa Barat dari Jawa Tengah melalui gunung Selamet. Pasukan-pasukan infantri Belanda dibantu oleh kekuatan udara berhasil memberikan masing-masing kerugian yang besar kepadanya, tetapi tidak berhasil menghentikan pergerakannya. Pada awal Februari operasi-operasi pembersihan dan patrol-patroli yang intensif dibantu oleh angkatan udaraapat mencegah ketiga Brigade SLW yang menyebar kedaerah wehrkreise-wehrkreise nya yang telah ditetapkan.”

Perlawanan-perlawanan gerilya TNI di Jawa Barat mulai meningkat, di Banten Brigade 15 mulai pertengahan Januari 1949 sesudah mengadakan konsolidasi didaerah selata mulai mengadakan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda, garis-garis perhubungan dan lain-lain.

Brigade 13 di Jawa Barat utara masing-masing batalyonnya telah membentuk wehrkreise-wehrkreise nya didaerah tugasnya masing-masing bertindak offensif melakukan aksi-aksi gerilya terhadap Belanda.

Brigade 12 didaerah Priangan Barat, pasukan-pasukan SLW mengarahkan serangan-serangannya terhadap perkebunan-perkebunan, pos-pos Belanda yang terpencil, garis-garis perhubungan, konvooi-konvooi militer, penghancuran jembatan-jembatan.

Divisi C “7 December” berada didalam posisi  yang sulit. Pasukan-pasukan lawannya tidak berhasil dihancurkan didalam agresi militer yang pertama di Jawa Barat, telah kembali berhadapan dalam keadaan yang lebih berpengalaman tertempa berbagai pertempuran dan bermotivasi yang sedang tinggi-tingginya.

Sekalipun dinyatakan oleh Jendral Spoor pada tanggal 25 Desember 1948, bahwa TNI sudah dapat disapu bersih dari muka bumi, ternyata merupakan suatu organisasi ketentaraan yang tangguh, yang melaksanakan operasi-operasinya berdasarkan suatu rencana strategi yang sentral.

Tersebarnya pasukan-pasukan TNI disatu wilayah yang relatif luas di Jawa Barat yang melakukan aksi-aksi gerilyanya yang agresif, memaksa Divisi C “7 December” untuk tidak berperang dengan mengandalkan keunggulan teknis militernya didalam hubungan brigade – batalyon, tetapi menggelar kekuatannya sampai tingkat kompi dan peleton untuk selanjutnya dipecah didalam pos-pos kecil tersebar untuk mengamankan objek-objek ekonomis yang penting baginya.

Bantuan rakyat didalam peperangan gerilya merupakan faktor yang sangat menentukan, batuan rakyat memungkinkan pasukan-pasukan TNI sebagai suatu tentara gerilya dapat hidup dan melakukan peperangan gerilya dalam jangka waktu yang lama dikarenakan mendapatkan bantuan logistik, bantuan intelejen, penyebaran desinformasi dan lain sebagainya. Dengan adanya sistem pager desa didalam rangka pertahanan rakyat total yang di instruksikan oleh Panglima Komando Jawa Barat Kolonel A.H Nasution ditiap-tiap desa memungkinkan pasukan-pasukan TNI mendapat sumber tenaga pengganti dari rakyat yang terlatih.

Didalam salah satu komentar yang diajukan kepada Jenderal Spoor pada bulan Desember 1949, Kolonel Lentz, Komandan Brigade 3 Divisi C “7 December” menyatakan :

“Bahwa karena medan operasi yang berat, jumlah pasukan terbatas, sistem pemberitahuan (warning system) musuh yang baik, serangan-serangan udara yang tidak dilanjutkan serangan-serangan darat menyebabkan kita tidak berhasil untuk mengepung dan menghancurkan sejumlah besar pasukan musuh.”
(Laporan aslinya menyebut “gewapende benden” –gerombolan bersenjata)

Aksi-aksi gerilya SLW secara taktis dan terus menerus memberikan tekanan-tekanan kepada pihak lawan tetapi tidak dapat merebut kota-kota yang diduduki Belanda, sebaliknya Divisi “7 “December” tidak dapat hancurkan wehrkreise-wehrkreise TNI.

Moril pasukan Belanda benar-benar menurun, karena kerugian-kerugian personilnya yang terus-menerus meningkat, tugas-tugas dilapangan yang makin berat dan melelahkan, perspektif untuk memenangkan peperangan melawan gerilya makin tidak jelas.

Akhirnya Belanda dihadapkan kepada kebuntuan militer (military impasse). Perlawanan gerilya TNI diseluruh kepulauan Jawa dan Sumatera oleh TNI intensif, sehingga Belanda menyebutkannya bagaimana menghadapinya sebagai “uitzichtloos”.

Pemerintah Belanda akhirnya berkesimpulan bahwa untuk melakukan operasi-operasi pasifikasi terhadap gerilya TNI bukan masalah untuk dapatnya diselesaikan didalam waktu 6 bulan, tetapi paling tidak memerlukan investasi militer yang besar untuk jangka waktu 1.5 tahun kedepan sedangkan Amerika Serikat mengancamnya dengan akan menghentikan bantuan militer dan ekonominya.

Pertahanan rakyat total sebagai strategi pertahanan RI berhasil membuntukan strategi militer Belanda yang hendak menghancurkan RI dan ini ternyata cukup kuat untuk memaksa Pemerintah Belanda mencari penyelesaian dibidang politik, tetapi kali ini posisi RI berada didalam keadaan yang tidak dapat ditekan oleh Belanda.


Mayor Jenderal Engles, Panglima Divisi C “7 December sejak pertengahan Februari 1949 telah mengingatkan bahwa :
“Perbandingan kekuatan antara mereka dan kekuatan pasukan-pasukan infantry kita yang tidak seimbang, sekalipun dibantu oleh keunggulan artileri dan bantuan udara, dikompensasikan dengan pengetahuan mereka tentang medan yang baik dan mendapatkan bantuan dari rakyat sudah dapat disimpulkan bahwa bilamana ditingkat politik diatas tidak dilakukan sesuatu akan menimbulkan perkembangan keadaan yang sangat tidak menguntungkan”.






Sumber :
Kodam III Siliwangi, Seminar Long March Siliwangi 18 Mei 1992

2 komentar:

  1. Tulisan yang keren... sesama pencinta sejarah saluuttt boss.. saya suka baca nya... dan meresapi seluruh perjuangan leluruh kita dulu... Merdeka 70th bungg.... :)

    BalasHapus
  2. Hebat banget yang posting! Bisa lengkap dan rinci. Makasih infonya ^^

    BalasHapus