PERISTIWA 17 OKTOBER 1952
Pada tahun 1950-1952 , perasaan antipati yang telah tertanam pada kaum militer terhadap kaum sipil semakin bertambah besar. Militer tidak senang akan posisi kuat dan kekuasaan yang dipegang sipil, karena sebagian besar dari mereka hanya merupakan konsekuensi dari adanya Republik Iindonesia Serikat. Militer tidak senang dengan kepemimpinan sipil, juga terhadap pembagian otoritas konstitusional yang menguntungkan sipil. Perasaan militer inilah yang akan mempengaruhi hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal.
Selain itu kabinet Wilopo berusaha menggambil tidakan dalam bentuk penghematan yang sangat ketat. Oleh karena itu Menteri Keuangan Soemitro Djojohadikusumo melaksanakan penghematan anggaran belanja negara di segala bidang, termasuk pengurangan anggaran bagi militer. Dengan kebijaksanaan tersebut, maka angkatan perang dirasionalisasikan kembali yang pelaksanaannya dilaksanakan di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX.
Rencana pimpinan TNI untuk menjadikan Tentara Nasional Indonesia, menjadi tentara professional terus dilaksanakan. Apalagi setelah mendapat persetujuan pula dari Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX. Menurut Sultan, rasionalisasi dilaksanakan dalam bidang kemiliteran dalam rangka menjadikan militer Indonesia yang tadinya bersifat heterogen menjadi tentara yang punya satu komando sebagaimana lazimnya suatu tentara di negara modern.
Oleh karena mengingat keterbatasan dana yang diberikan pemerintah, maka sebagai konsekwensi yang harus dijalankan dengan adanya rasionalisasi dan reorganisasi adalah dengan dilaksanakan demobilisasi besar-besaran di tubuh angkatan perang.
Demobilisasi akan dilakukan secara berangsur-angsur pada akhir tahun 1953, yang akan mencapai jumlah 80.000 orang tentara dari 200.000 orang prajurit. Dari 80.000 orang prajurit tersebut, 40.000 orang akan dipensiunkan dan 40.000 orang tentara lainnya adalah mereka yang dianggap tidak layak karena tidak memenuhi syarat sebagai seorang prajurit baik fisiknya maupun kesehatannya.
Rencana profesionalisme itu menimbulkan keresahan dikalangan tentara yang berpendidkan rendah dan bekas tentara PETA. Salah satu dari bekas tentara PETA yang tidak senang dengan program ini adalah Kolonel Bambang Supeno, yang mengambil tindakan dengan mengirim surat kepada Presiden.
Kolonel Bambang Supeno adalah bekas opsir PETA dari Jawa Timur yang juga mempunyai hubungan dekat dengan Presiden Soekarno. Kolonel Bambang Supeno pernah menjabat sebagai Komandan Candradimuka yang dibubarkan oleh Nasution. Saat Supeno tidak setuju dengan rencana profesionalisme Nasution, Supeno datang kepada Presiden dan menyatakan ketidaksetujuannya dan meminta agar Nasution diberhentikan. Supeno mendapat dukungan kuat dari para perwira bekas PETA dan juga dari Panglima Divisi Siliwangi yang tidak aktif lagi, yaitu Kolonel Bambang Sugeng dan Kepala Intel Angkatan Perang, Kolonel Z. Lubis.
Permasalahan Kolonel Bambang Supeno yang mendatangi berkali-kali Presiden meminta pemberhentian KSAD Nasution dianggap tindakan yang tidak tepat tidak menurut dengan hierarki militer, dan tiada menurut erecode perwira. Maka para perwira-perwira senior AD dan atas permintaan Kolonel Gatot Subroto, Panglima Tentara dan Teritorial (TT) VII diadakanlah rapat pada tanggal 12 Juli di rumah KSAP T.B. Simatupang. Pada rapat tersebut para perwira senior AD menyatakan tindakan Bambang Supeno bertentangan dengan hierarki AD.
Pembicaraan dalam rapat dirumah T.B. Simatupang itu menjadi semakin memanas dan tidak bersahabat, maka Kolonel Bambang Supeno akhirnya meninggalkan ruangan rapat itu sebelum rapat selesai. (Nasution, 1983 :64-66). Keesokan harinya, pada tanggal 13 Juli Kolonel Bambang Supeno mengirimkan surat kepada Menteri Pertahanan dan Komisi Pertahanan di Parlemen, yang menyatakan bahwa ia tidak lagi percaya kepada atasannya, yang menurut Bambang Supeno pimpinannya telah mengeluarkan kebijakan yang menyimpang dari tujuan revolusi yang semula.
Mengetahui tindakan yang dilakukan oleh Kolonel Bambang Supeno, maka KSAD A.H. Nasuion kemudian mengambil tindakan dengan membebas tugaskan Kolonel Bambang Supeno dari semua jabatannya. Kemudian KSAP T.B. Simatupang memberi tahu dengan surat kepada kabinet, tentang kedudukan pimpinan TNI atas tindakan yang telah diberikan kepada Kolonel Bambang Supeno yang dianggap telah melanggar disiplin militer.
Skorsing terhadap Bambang Supeno kemudian diambil alih oleh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selanjutnya KSAP Simatupang, bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KSAD A.H. Nasution menghadap Presiden untuk membicarakan masalah tersebut. Tetapi ketika skorsing itu diajukan kepada Presiden sebagai Panglima Tinggi TNI, Presiden menolak untuk menandatanganinya.
Reaksi pertama dari KSAP dan KSAD dengan melihat tindakan dari Presiden yang mendukung tindakan indisipliner Bambang Supeno adalah meminta berhenti dari dinas kemiliteran. Kedua pimpinan AD merasa telah berusaha untuk memperbaiki angkatan perang, dengan harapan angkatan perang yang lahir dari revolusi itu dapat meningkatkan profesionalismenya tanpa berusaha untuk mengurangi semangat juangnya, tetapi Presiden Soekarno malah tidak mendukung upaya tersebut. Keadaan menjadi semakin buruk setelah permasalahan itu masuk dalam agenda parlemen.
Adanya perkembangan di dalam parlemen, menyebabkan ketegangan dikalangan AD semakin memuncak. Militer menganggap DPRS telah melakukan intervensi politik didalam urusan TNI-AD. Dalam pandangan umum militer kegiatan parlemen bukan untuk melakukan koreksi terhadap militer, tetapi bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Karena situasi krisis itu, maka Nasution memanggil Panglima Tentara dan Teritorial (TT) ke Jakarta untuk menentukan sikap terhadap serangan-serangan yang ditujukan kepada TNI. Kelompok ”reformator tentara” disekeliling Nasution merasa cemas dengan berlarutnya perdebatan di parlemen.
Kecurigaan mereka kepada politisi yang telah timbul sejak kabinet sosialis semakin menguat. Dalam pelaksanaan demobilisasi sudah barang tentu tidak semua perwira eks-PETA atau yang berasal dari laskar secara otomatis diberhentikan seperti yang dituduhkan parlemen. Dalam kenyataannya sebagian besar pewira eks-PETA yang bersedia mengikuti latihan militer diberi kedudukan yang tinggi.
Mungkin saja sistem kenaikan pangkat itu hanya merugika para perwira yang hanya mangharapkan kenaikan pangkat dari jasa mereka dalam perang kemerdekaan dulu. Dalam pandangan kaum reformator fakta-fakta itu sengaja diputar balikkan guna tujuan-tujuan politik saja. Selain itu para panglima sangat kecewa dengan campur tangan parlemen dalam permasalahan Supeno.
Menurut konvensi yang sudah lazim, hal itu sepenuhnya merupakan persoalan antara pimpinan tentara dan kabinet. Dengan membicarakan persoalan itu di parlemen berarti telah melanggar prerogratif pemerintah dan angkatan darat. Hal lain yang mengakibatkan sikap permusuhan dari tentara terhadap kaum politisi adalah dengan tidak adanya hasil dari sidang-sidang parlemen mengenai undang-undang yang diperlukan dalam bidang pertahanan dan bidang-bidang yang lainnya. Hal itu oleh para perwira dan kalangan masyarakat luas dianggap kegagalan parlemen dalam menangani masalah-masalah negara, mereka hanya sibuk mengutamakan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Tentara pada saat itu juga kekurangan perlengkapan, padahal dalam teorinya tiap-tiap prajurit harus dipersenjatai, tapi sekitar 40 persen dari senjata-senjata itu sudah tua sehingga sudah tidak layak lagi. Pimpinan tentara menyadari benar keadaan keuangan negara yang ketat dan tidak menunutut kenaikan anggaran. Tetapi mereka memperhitungkan, dengan adanya pemberhentian massal pengeluaran untuk tiap prajurit tidak akan berkurang bahkan akan ada kemungkinan untuk membeli senjata dan suku cadangnya.
Pada tanggal 17 Oktober pagi, suatu demonstrasi yang mengejutkan melanda Jakarta. Semula demonstrasi dilakukan oleh 5.000 orang dan kemudian semakin bertambah hingga mencapai kira-kira 30.000 orang. Pertama gerak para demonstran adalah menuju gedung Parlemen, setelah itu mereka berondong-bondong mendatangi Istana Presiden untuk menyampaikan tuntutan mereka. Pada intinya tuntutan para demonstran kepada Presiden adalah “supaya Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang ada kemudian mengadakan pemilihan umum”.
Dalam menghadapi para demonstran yang datang Presiden Soekarno tidak begitu khawatir, karena pada malam sebelumnya Presiden telah mendapat laporan dari Kolonel Dr. Mustopo (pemimpin para demonstran) tentang adanya demonstrasi itu. Kemudian Presiden mengadakan dialog dengan para delegasi demonstran, agar mereka dapat menyampaikan aspirasinya yang jelas kepada Presiden. Dalam dialog tersebut para delegasi demonstran menyampaikan bahwa, “menuntut pembubaran parlemen yang sekarang, oleh karena kita sudah jemu dengan adanya suara-suara parlemen yang sekarang. Dan orang-orang tersebut bukan pilihan dari rakyat, yang mana buktinya sekarang rakyat tetap masih menderita”.
Dalam menjawab tuntutan yang disampaikan delegasi demonstran, Presiden memberikan amanat yang meliputi tiga hal pokok, yaitu :
- yang demonstrasi hanya rakyat Jakarta, beliau akan meninjau lebih dulu daerah-daerah;
- Beliau akan berunding dulu dengan pemerintah, karena beliau tidak mau menjadi diktator;
- hendaknya diberi waktu untuk mengadakan persiapan-persiapan mengenai pemilu.
Setelah berdialog dengan wakil demonstran, maka Presiden kemudian keluar untuk menenangkan para demonstran diluar Istana. Pada pukul 09.00 Soekarno keluar dan berbicara dengan massa yang berdemonstrasi.
Presiden menjawab tuntutan para demonstran dengan memberikan penjelasan bahwa untuk mengadakan pemilihan umum diperlukan waktu yang tidak sedikit. Namun Presiden juga setuju untuk segera diadakan pemilihan umum. Tetapi untuk membubarkan parlemen sekarang juga dan menyerahkan semua kekuasaan kepada eksekutif saja berarti akan menjadikan dirinya seorang diktaktor. Karena hal itu tidak sesuai dengan ideologi Negara, maka Soekarno menolak tuntutan itu. Kemudian Soekarno meminta massa untuk bubar.
Setelah para demonstran bubar, tidak lama kemudian sejumlah perwira senior tiba di Istana Presiden. Mereka ingin bertemu dengan Presiden guna menyampaikan isi hati mereka mengenai keadaan saat itu. Para perwira yang hadir di Istana Presiden adalah :
Kolonel A.H Nasution;
Para panglima :
- Simbolon
- A.E Kawilarang
- Bahrun
- R.A Kosasih
- Dr. Suwondo
- A. Gani
Para wakil KSAD :
- Soetoko
- Dr. Aziz Saleh
Inspektur Infantri :
- Sukanda Bratamenggala
- Inspektur Artileri Askari
Para perwira-perwira Markas Besar AD :
- Djatikusumo
- Suprapto
- Sudarso
- Sumantri
- Daan Jahja.
Sementara itu karena Presiden tidak mau menemui para Panglima sendirian, maka Wakil Presiden Moh. Hatta, Perdana Menteri Wilopo, dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pajabat ketua parlemen dan KSAP T.B. Simatupang dipanggil ke Istana untuk menghadiri pertemuan. Dalam pembicaraan itu, Letkol Soetoko bertindak sebagai juru bicara. Letkol Soetoko menyatakan bahwa kedatangan para panglima Angkatan Perang, untuk berbicara kepada Presiden seperti layaknya anak kepada bapak. Secara singkat para panglima menyatakan bahwa para pemimpin angkatan perang melihat bahwa kabinet-kabinet hanya memiliki umur yang pendek, yaitu sekitar 6-8 bulan.
Pokok kesulitan yang dihadapi oleh tiap kabinet adalah anggota-anggota DPRS dimana dua per tiga anggotanya terdiri dari orang-orang yang berasal dari Negara-negara buatan Van Mook. Anggota-anggota DPRS adalah orang-orang dari partai-partai politik dimana saat ini menjadi salah satu sumber dari instabilitas di dalam negeri, karena partai-partai politik saling berebut kekuasaan dengan berusaha menjatuhkan kabinet yang sedang berkuasa. Agar suasana menjadi stabil, maka para pimpinan angkatan perang meminta kepada Presiden agar mengakhiri cara kerja parlemen saat ini.
Dan dengan adanya penerimaan mosi dari Manai Sophiaan , angkatan perang menilai bahwa tindakan itu telah memasuki lapangan eksekutif sehingga berbahaya untuk angkatan perang. Selain menjawab demikian Presiden Soekarno menyatakan bahwa:
Dalam tempo yang singkat Presisen akan membicarakan semua permasalahan itu dengan pemerintah;
Presiden juga akan memperhatikan suara-saura rakyat diluar Jakarta;
Selanjutnya akan dibicarakan dengan pemerintah selekas mungkin untuk diadakan pemilihan umum. Selanjutnya Presiden juga meminta supaya pernyataan pimpinan angkatan darat tidak diumumkan karena dengan begitu berarti nantinya tentara dianggap memasuki lapangan politik. Selesai pertemuan dan sesudah berjabat tangan, masing-masing dengan teratur meninggalkan ruangan pertemuan dan Istana.
Setelah perwira-perwira itu meninggalkan istana, tokoh-tokoh politik yang hadir memutuskan untuk mereseskan parlemen. Pada sore harinya militer memutuskan jaringan telekomunikasi dan melarang terbit beberapa surat kabar yang terbit di Jakarta. Selain itu dilakukan tindakan penjagaan ketat disepanjang jalan, jam malam diberlakukan dan melarang pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari lima orang. Para perwira juga menangkap enam orang parlemen tetapi beberapa hari kemudian orang-orang sipil yang ditangkap itu dibebaskan kembali dan semua pembatasan dicabut.
Kemudian KSAD Nasution dan para panglima yang ikut dalam pertemuan di Istana Negara menghadap Menteri Pertahanan dan selanjutnya menghadap Perdana Menteri untuk mendapat respons lebih lanjut. Namun ternyata para panglima belum mendapat respons, maka KSAD dan para panglima mengadakan rapat. Dalam rapat itu dibicarakan bahwa apabila para pimpinan ”memaksakan” berarti konsekwensi yang harus diterima angkatan darat adalah tuduhan melakukan ”kup”, dan sebenarnya angkatan darat tidak berniat sama sekali melakukan hal itu. Sehingga dipituskan dalam rapat itu angkatan darat harus melakukan ”gerakan mundur”.
Terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata menimbulkan dampak lanjutan. Para perwira yang tidak senang dengan Nasution melakukan tindakan anti-Nasution dengan melancarkan aksi anti-17 Oktober. Padahal petisi yang disampaikan para pemimpin angkatan darat tidak menunjukkan sama sekali sikap memusuhi Presiden dan sama sekali tidak menginginkan jatuhnya Kabinet Wilopo. Tetapi gerakan yang mereka lakukan ternyata tidak mendapat dukungan, bahkan Presiden Soekarno mengatakan ”bahwa akan ada aksi balasan terhadap para ”pembaharu dalam tentara” itu, dan dia akan menepati janjinya itu”.
Peristiwa 17 Oktober ternyata membuat perpecahan yang terjadi dalam tubuh angkatan darat semakin kentara. Perpecahan itu terutama dari kelompok pendukung Nasution dan kelompok yang menentang Nasution. Adanya tindakan dari para panglima yang dipimpin oleh Nasution menghadap Presiden guna meminta pembubaran parlemen karena parlemen dianggap telah mencampuri urusan intern angkatan darat, bagi para para perwira penentang Nasution kebijakan tersebut dianggap sesuatu yang salah. Tindakan yang mereka lakukan untuk menentang Nasution adalah dengan melakukan gerakan anti-17 Oktober di beberapa daerah teritorial.
Terjadinya peristiwa pengambilalihan pimpinan di tiga daerah territorium membuat suasana menjadi semakin parah. Melihat kenyataan yang dad, maka KSAD membuat surat edaran yang isinya adalah :
Untuk menjaga keutuhan dan keselamatan angkatan darat maka perlu memaklumkan bahwa pimpinan angkatan darat bertanggung jawab atas semua peristiwa disekitar peristiwa 17 Oktober 1952;
Dengan kepercayaan terhadap Presiden dan pemerintah maka untuk semua angkatan darat agar tetap tenang melakukan tugas dan kewajiban masing-masing dan memberikan bantuan sepenuhnya untuk keselamatan negara dan agar dihindari segala sesuatu yang indisipliner;
Supaya tetap sadar bernegara dan bertentara.
Nasution mengakui bahwa dalam peristiwa 17 Oktober itu, angkatan darat telah mengajukan “tuntutan politik” disertai “pressure” maksimal kepada Presiden. Namun Nasution menolak bahwa tindakan yang dilakukan angkatan darat itu dimaksudkan sebagai aksi untuk menjatuhkan Presiden maupun kabinet atau dalam hal ini Nasution menolak anggapan bahwa Peristiwa 17 Oktober sebagai sebuah aksi kudeta militer.
Selama beberapa waktu terdapat suasana saling menentang antara yang pro dan yang anti gerakan 17 Oktober. Pendekatan baru terjadi antara Masjumi dan PNI menghadapi PSI yang dalam perdebatan yang berlangsung berpihak terhadap golongan 17 Oktober. Kebijaksanaan Perdana Menteri dalam menghadapi permasalahan tersebut kurang mendapat persetujuan dari partainya sendiri.
Dalam kongresnya di Surabaya pada bulan Desember 1952 PNI menyatakan bahwa peristiwa 17 Oktober itu merupakan pemerkosaan demokrasi dan menuntut agar pemerintah menyelesaikan masalah itu secepatnya, dengan pengertian bahwa cara penyelesainnya harus mendapat persetujuan dari Presiden.
Akan tetapi Perdana Menteri dalam menyelesaikan permasalahan peristiwa 17 Oktober seperti yang dijelaskan dalam rapat tertutup parlemen dan kepada para panglima dijelaskan bahwa Perdana Menteri hanya bersedia menjalankan kebijakan sebagai berikut :
Penggantian pimpinan angkata darat yang secara formal dan secara obyektif dapat dianggap bertanggungjawab atas peristiwa itu;
Penggantian beberapa pejabat dala Kementrian Pertahanan;
Reorganisasi melalui Undang-Undang Pokok Pertahanan yang segera dibuat;
Membuka parlemen kembali setelah direseskan beberapa waktu sementara menunggu keadaan tertib lagi;
Pelanggaran-pelanggaran yang bersifat kriminal seperti pengerusakan-pengerusakan dalam gedung parlemen, akan diusut oleh Jaksa Agung;
Pertikaian dalam kalangan angkatan darat pada pokoknya juga hanya dapat diselesaikan oleh angkatan darat itu sendiri. Maka dari itu para panglima dikumpulkan di Jakarta untuk membicarakan permasalahan tersebut dan hasilnya akan diindahkan oleh Perdana Menteri dengan sungguh-sungguh.
Pada tanggal 5 Desember 1952 secara resmi Nasution diberhentikan sebagai KSAD. Selain itu Perdana Menteri juga memberhentikan Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman dari segala jabatan mereka. Kemudian pada tanggal 16 Desember 1952 pemerintah mengangkat Kolonel Bambang Sugeng sebagai KSAD menggantikan kedudukan Nasution.
Posisi lawan-lawan Nasution menjadi semakin kuat dalam meminta pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap para pimpinan angkatan darat yang telah terlibat peristiwa 17 Oktober 1952. Pemberian skorsing terhadap Nasution ternyata belum memuaskan hati mereka, maka kemudian mereka meminta agar pimpinan angkatan darat yang terlibat peristiwa 17 Oktober diadili di Mahkamah Militer, karena hanya dengan suatu vonislah yang dapat sepenuhnya menghukum kelompok Markas Besar itu. Karena hal itulah maka mulai bulan April 1953 pemeriksaan yang intensif terhadap Nasution dilakukan.
Namun dalam penyelesaian masalah ini tidak ada suatu persidangan yang sebenarnya dimana Nasution dapat membela dirinya. (Ulf Sundhaussen, 1986 :133). Ternyata tuntutan para perwira anti-Nasution tidak hanya berhenti disitu, mereka juga minta agar Sekretaris Jendral Kementrian Pertahanan Ali Budiardjo yang berasal dari PSI diganti dan KSAP dihentikan. Kabinet memenuhi tuntutan penggantian Sekretaris Jendral namun tidak menyetujui bila harus mengganti KSAP. Jabatan Sekretaris Jendral akhirnya diberikan kepada Kolonel Hidayat yang tidak terlibat di dalam peristiwa 17 Oktober 1952.
Penyelesaian yang dilakukan pemerintah mengenai masalah 17 Oktober 1952 tidak memuaskan semua golongan. Namun Perdana Menteri tetap pada pendiriannya yang didasarkan atas pertimbangan bahwa negara kita yang masih muda ini dan baru mulai merintis pembangunan di segala bidang termasuk bidang pertahanan, tidak dapat melaksanakan rencananya itu jika angkatan perangnya terpecah-belah. Sementara itu pemerintah terus didesak oleh berbagai partai dan golongan dalam masyarakat yang merasa tidak puas dengan cara penyelesaian peristiwa 17 Oktober.
Akhirnya keluarlah pernyataan pemerintah pada tanggal 30 April 1953 untuk meminta votum kepercayaan kepada DPR atas kebijaksanaannya tentang peristiwa 17 Oktober . Karena tidak menghendaki bubarnya kabinet Wilopo, maka pada tanggal 5 Mei 1953 pimpinan PNI mengeluarkan pernyataan yang isinya menyilakan kabinet terus bekerja tanpa meminta votum kepercayaan kepada parlemen.
Dengan adanya dukungan dari PNI, maka Wilopo membatalkan keputusannya. Ternyata keputusan dari Wilopo ini mendapat protes dari PSII, yang kemudian menarik menterinya, yaitu Menteri Sosial Anwar Tjokroaminoto. Untuk menggantikan kedudukan dari Menteri Sosial yang kosong, maka R.P Suroso diangkat untuk menduduki jabatan tersebut, sedangkan Kementrian Urusan Pegawai dirangkap oleh Perdana Menteri.
Sekalipun situasi serba kurang memuaskan, namun tidak ada sutupun diantara partai pemerintah yang menghendaki jatuhnya kabinet, malahan Masjumi merupakan partai yang memberi dukungan terbesar kepada kabinet. Masjumi menolak pembubaran kabinet dengan cara inskonstitusional, karena hal inilah maka hubungan antara kedua partai besar saat itu PNI dan Masjumi menjadi baik kembali.
Namun dengan adanya masalah mengenai penyelesaian tanah di Deli, hubungan kedua partai itu menjadi renggang kembali sampai menjelang jatuhnya kabinet Wilopo pada bulan Juni 1953. Tetapi dilain pihak terjadinya peristiwa 17 Oktober itu memberikan dukungan yang kuat kepada pemerintah dalam usahanya mengadakan pemilihan umum yang selama ini selalu manjadi political issue yang kontroversal.
Peristiwa 17 Oktober pada pokoknya adalah pergulatan antara kekuatan yang menghendaki posisi otonom TNI-AD yang kelak berkembang menjadi fungsi sosial-politk, melawan orang-orang yang menganut faham supremasi sipil terhadap militer. Akibat dari peristiwa ini adalah terjadinya perpecahan dalam tubuh TNI-AD sehingga timbul kelompok pro-17 Oktober dan anti-17 Oktober.
Setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober banyak terjadi penafsiran terhadap periostiwa tersebut. Para politisi sipil menganggap bahwa peristiwa itu merupakan sebuah ”kudeta yang gagal”. Sedangkan Nasution sendiri mengatakan bahwa peristiwa 17 Oktober sebagai suatu ”peristiwa setengah kudeta”.
PERISTIWA 27 JUNI 1955
Peristiwa 27 Juni 1955 merupakan salah satu peristiwa yang mencoreng muka, khususnya Angkatan Darat dalam perjalanan militer di Indonesia. Pada tanggal 27 Juni 1955 terjadi suatu aksi boikot dari kalangan perwira AD terhadap pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD. Para perwira AD menolak menghadiri acara pelantikkan itu karena menganggap pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD tidak sesuai dengan isi Piagam Yogya. Upacara pelantikkan itu bahkan hanya diiringi oleh barisan musik Pemadam Kebakaran Kota Jakarta.
Perkembangan pasca Piagam Yogya mengalami babak baru dengan mundurnya Kepala Staf Angkatan Darat Bambang Sugeng pada tanggal 2 Mei 1955. Mundurnya Bambang Sugeng sebenarnya sudah lama ditunggu-tunggu oleh beberapa perwira anti-17 Oktober, mereka adalah Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Zulkifli Lubis, Letkol. Sapari dan Letkol. Abimanyu. Bahkan para perwira tersebut sudah mengadakan pertemuan dengan menteri pertahanan dan Presiden untuk menurunkan Bambang Sugeng dari jabatanya sejak bulan September 1954.
Sejak awal memang pengangkatan Bambang Sugeng lebih bersifat politis dan hanya mengandalkan dukungan dari Perdana Menteri Wilopo. Bambang Sugeng dinilai gagal dalam membina keutuhan Angkatan Darat (AD), dan di mata para politisi sipil sama sekali tidak mempunyai wibawa sehingga dapat dengan mudah dilangkahi wewenangnya oleh menteri pertahanan. Ia juga tidak mampu melaksanakan isi Piagam Yogya. Sebenanrya semua itu sudah disadarinya sejak akhir tahun 1953 ketika ia mengajukan permohonan mengundurkan diri dari jabatanya untuk pertama kali. Permohonan pengunduran kali ini langsung disetujui oleh pemerintah dan untuk mengisi jabatan KSAD ditunjuk pejabat sementara yaitu Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis.
Seperti diketahui pada waktu pengangkatan Bambang Sugeng sebagai KSAD, hanya semata-mata akibat pertentangan politik yang bergejolak saat itu. Seperti kasus mosi dari Manai Sophian pada masa Kabinet Wilopo hingga meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952. ketika dipilih menjadi KSAD, Bambang Sugeng merupakan perwira yang netral tidak memihak salah satu dari kelompok pro-17 Oktober maupun kontra 17 Oktober. Ternyata harapan untuk menyelesaikan masalah persatuan di lingkungan Angkatan Darat tidak berhasil. Sebenarnya sebelum Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatanya, ia sudah mempersiapkan sebuah mutasi besar-besaran dalam tubuh AD. Tetapi rencana mutasi ini ditolak oleh Iwa Kusuma Sumantri dengan alasan yang tidak jelas. Menurut konsepsi Bambang Sugeng yang akan dicalonkan adalah :
KSAD : Kolonel M. Simbolon
Wakil KSAD : Kolonel Bachrun
Kepala Staf : Letkol Dahlan Djambek
Kepala Personel : Kolonel Warouw
Kepala Operasi : Kolonel Sadikin
Kepala Logistik : Kolonel Suprayogi
Kepala Teritorial : Kolonel Sungkono
Kepala Organisasi : Letkol. Kartakusumah.
Untuk jabatan Panglima
TT I : Kolonel Zulkifli Lubis
TT II : Letkol. Rukman
TT III : Letkol. Akil
TT IV : Letkol. Suharto
TT V : Kolonel Sudirman
TT VI : Letkol. Abimanyu
TT VII : Letkol. Kretarto.
Ada kemungkinan penolakan rencana mutasi ini yang menjadi sebab utama Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatanya sebagai KSAD. Sebab utama kabinet mengabulkan permintaan berhenti Bambang Sugeng karena kabinet melihat Bambang Sugeng selalu menyerahkan penyelesaian akhir masalah-masalah AD kepada D”wi tunggal”, tanpa melalui kabinet Ali.
Pengunduran diri Bambang Sugeng itu kemudian menjadi suatu test case bagi kalangan politisi sipil terhadap kesedianya untuk melepaskan campur tangan dalam pengangkatan dan pengisian personalia pada jabatan militer yang biasa mereka dasarkan pada pertimbangan politik; dan sekaligus pula menjadi ujian bagi kalangan militer sendiri sehubungan dengan pelaksanaan Piagam Yogya. Tetapi hal ini menunjukkan akan timbulnya persoalan baru di antara kedua pihak.
Sementara itu di lingkungan AD para perwira mengadakan pembicaraan untuk menentukan kriteria calon KSAD yang baru. Pada tanggal 17 Mei 1955, Simbolon dalam pidatonya di Medan mendesak pemerintah agar memperhatikan keputusan keputusan-keputusan yang telah diambil dalam konferensi di Yogyakarta. Di Jakarta pada akhir Mei, dilaksanakan sebuah rapat para perwira yang dipimpin oleh Simbolon dengan menghasilkan sebuah keputusan agar pengangkatan KSAD yang baru didasarkan atas kecakapan dan senioritas, dan bukan berdasarkan atas pertimbangan politis.
Dalam pencalonan ini Wakil Presiden Mohammad Hatta lebih condong untuk memilih Kolonel Simbolon yang juga seorang PSI oriented dan juga merupakan perwira pro-17 Oktober. Tentu saja pilihan Hatta itu ditolak mentah-mentah oleh kabinet. Dalam penjelasanya kepada pers, pemerintah menegaskan bahwa penolakan terhadap pencalonan Kolonel Simbolon sebagai KSAD bukan didasarkan atas diskriminasi agama (Simbolon beragama Kristen), tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mendalam.
Di pihak lain, Simbolon dan Gatot Subroto telah menolak untuk dicalonkan menjadi KSAD selama Iwa Kusuma Sumantri masih menjabat sebagai menteri pertahanan. Penolakan dua perwira senior AD itu merupakan sebuah bukti betapa Iwa Kusuma Sumantri tidak disukai oleh kalangan militer.
Sementara itu pemerintah menentukan kriteria-kriterianya sendiri untuk memilih KSAD yang baru. Para politisi itu tidak mau didekte oleh pihak AD mengenai suatu jabatan yang telah menjadi hak prerogatifnya. Sikap pemerintah yang tidak kenal kompromi itu semakin membuat pihak AD bersatu dan bertekad melawan segala bentuk intervensi pihak luar. Pihak pemerintah mengajukan tiga calon untuk mengisi jabatan KSAD yang kosong. Ketiga calon tersebut adalah :
- Wakil KSAD :Kolonel Zulkifli Lubis,
- Panglima TT V Brawijaya :Kolonel Sudirman
- Panglima TT II Sriwijaya : Kolonel Bambang Utoyo.
Ketiga perwira tersebut bisa digolongkan sebagai perwira anti-Peristiwa 17 Oktober.
Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan nama Kolonel Zulkifli Lubis sebagai pengganti Jenderal Mayor Bambang Sugeng. Ada tiga alasan mengapa Iwa Kusuma Sumantri memilih Zulkifli Lubis.
Pertama, Zulkifli Lubis sudah menjabat sebagai wakil KSAD sehingga sangat paham akan tugas yang akan diemban.
Kedua, pencalonan Zulkifli Lubis telah didukung oleh Presiden selaku panglima tertinggi Angkatan Perang (AP).
Ketiga, Kolonel Zulkifli Lubis merupakan perwira anti-Peristiwa 17 Oktober.
Usulan tersebut memperoleh dukungan penuh dari kabinet. Tetapi dalam rapat berikutnya yang dilaksanankan seminggu kemudian, Iwa Kusuma Sumantri menarik dukunganya terhadap pencalonan Zulkifli Lubis sebagai KSAD. Hal ini diakibatkan tindakan Zulkifli Lubis yang mengangkat perwira-perwira PSI di lingkungan AD tanpa sepengetahuan Iwa Kusuma Sumantri. Bagaimanapun juga pencalonan Lubis tidak dapat dibatalkan begitu saja oleh Iwa Kusuma Sumantri karena telah disetujui oleh Presiden.
Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tidak mencapai kata sepakat dalam pencalonan KSAD yang baru, oleh karena itu mereka meminta kepada pemerintah untuk mengajukan calon tambahan. Calon yang keempat adalah Panglima Divisi Diponegoro Kolonel Bachrun. Dia sebenarnya merupakan pendukung Peristiwa 17 Oktober 1952, tetapi oleh pemerintah dianggap relatif moderat dan karena itu bisa diterima. Namun diapun tidak cukup senior di kalangan Angkatan Darat. Akhirnya dwi tunggal menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada kabinet. Dengan persetujuan Presiden Soekarno, kabinet menjatuhkan pilihanya kepada Kolonel Sudirman sebagai KSAD yang baru, tetapi Sudirman menolak.
Pada awalnya ketiga perwira itu menolak untuk dicalonkan menjadi KSAD karena mereka merasa tidak mampu menjalankan isi Piagam Yogya. Wakil Ketua Parlemen Mr. Tambunan mengusulkan agar sekali lagi diadakan pembicaraan antara dwi tunggal dengan kabinet untuk menentukan KSAD, yang bebas dari segala sentimen dan diskriminasi, dapat dianggap acceptable dan capable bagi negara dan AD.
Untuk kedua kalinya pemerintah menghubungi Kolonel Bambang Utoyo menanyakan kesanggupanya untuk memangku jabatan KSAD, dan akhirnya Bambang Utoyo tergoda juga dengan tawaran itu. Pada tanggal 10 Juni 1955, dikeluarkan surat pengangkatan Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD dengan pangkat jenderal mayor. Menurut Feith, Bambang Utoyo adalah seorang simpatisan PNI dan senioritasnya sebagai perwira masih cukup rendah.
Pemerintah sangat yakin bisa memperoleh dukungan penuh dari para perwira begitu Presiden menandatangani surat keputusan pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD. Namun sebagian besar para perwira AD tidak senang dengan pengangkatan ini. Kini kabinet menyadari bahwa keputusan yang diambilnya memperoleh tentangan keras dan menimbulkan kemarahan di lingkungan Angkatan Darat. Kemudian diambil keputusan untuk menunda pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD sambil menunggu meredanya kemarahan pihak Angkatan Darat.
Bambang Utoyo dilahirkan di Tuban Jawa Timur pada tanggal 20 Agustus 1920. Merupakan anak kedua dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru dan turut berjuang dalam perlawanan 1926, dan meninggal dalam pembuangan. Bambang Utoyo memulai karirnya sebagai perwira Giyugun di Palembang. Pada masa Revolusi 1945, Bambang Utoyo merekrut tenaga-tenaga muda guna dilatih kemiliteran yang kemudian menjadi cikal bakal TKR di Palembang. Pengalaman tempurnya yang menonjol terlihat saat memimpin pertempuran selama lima hari melawan Inggris pada bulan Desember 1946 di Palembang.
Pada suatu pertempuran di tahun 1947, bambang Utoyo mengalami suatu kecelakaan ketika granat yang akan dilemparkanya meledak ketika masih berada dalam genggaman. Kecelakaan itu menyebabkan tangan kananya harus diamputasi dan badanya penuh dengan pecahan granat, salah satunya menancap di leher dan baru bisa dikeluarkan setelah mengeram selama enam tahun.
Karena alasan kesehatan, pada tanggal 5 September 1952 Bambang Utoyo mengajukan permohonan keluar dari dinas militer yang ketika itu dia menjabat sebagai Panglima TT II Sriwijaya dan disetujui pemerintah dengan hak pensiun. Tetapi pada tanggal 25 Nopember 1952, Bambang Utoyo kembali diangkat oleh pemerintah sebagai Panglima TT II Sriwijaya guna mengatasi ketegangan di lingkungan TT II Sriwijaya sebagai akibat dari Peristiwa 17 Oktober 1952, menggantikan Kolonel Kosasih yang dicopot anak buahnya sendiri. Dalam pengabdianya kepada negara, Bambang Utoyo selalu bersemboyan :
”Saya sebagai seorang warga yang setia pada negaranya dan seorang militer yang mengenal disiplin akan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, walaupun oleh karenanya jiwa raga saya akan rusak”
Pada tanggal 27 Juni 1955 dilangsungkan upacara pelantikan Jenderal Mayor Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru. Sedianya upacara itu dilaksanakan di depan Istana Negara, tetapi karena tidak dihadiri oleh peserta upacara dari lingkungan Angkatan Darat, maka upacara dilaksanakan di dalam ruangan Istana Negara. Upacara tersebut hanya diiringi oleh barisan musik pemadam kebakaran kota Jakarta dan tidak disertai Panji Angkatan Darat Kartika Eka Paksi. Pada saat yang sama Kolonel Zulkifli Lubis memberi tahu kabinet bahwa ia menolak menyerahkan wewenang kepada KSAD yang baru.
Sebagai jawabanya, Iwa Kusuma Sumantri memecat Zulkifli Lubis pada saat itu juga, karena tidak mau mempersiapkan upacara pelantikan sebagaimana yang telah diinstruksikan kepadanya dan karena tidak mau menyerahkan wewenangnya kepada Bambang Utoyo. Sehari sebelum pengangkatan Bambang Utoyo, ternyata Iwa Kusuma Sumantri telah mengetahui rencana boikot Zulkifli Lubis.
Untuk itu Iwa Kusuma Sumantri memerintahkan Letkol. Mursito sebagai Deputi III KSAD untuk mengambil alih kekuasaan wakil KSAD, tetapi perintah itu ditolak oleh Mursito. Rupa-rupanya para perwira sudah sepakat untuk menentang segala segala bentuk intervensi yang dilakukan oleh politisi sipil yang menyebabkan perpecahan di tubuh AD.
Pada hari itu juga Zulkifli Lubis mengadakan siaran pers untuk menjelaskan tindakan yang diambilnya. Dalam siaran persnya itu Zulkifli Lubis mengakui bahwa ia yang memerintahkan kepada para perwira untuk tidak menghadiri upacara pengangkatan Bambang Utoyo. Tindakan itu ia tempuh untuk menegakkan wibawa AD yang selama ini hanya diperalat para politisi demi kepentingan mereka sendiri. Zulkifli Lubis juga berharap pemerintah lebih bijaksana dalam pengangkatan pejabat di lingkungan AD dengan mendengarkan aspirasi dari dalam AD sendiri. Tindakan yang ditempuhnya itu mendapat dukungan dari para panglima AD. Angkatan Darat tidak menerima pengangkatan dengan pertimbangan-pertimbangan:
Bahwa segala pencemaran atas nama negara dan bangsa Indonesia telah terjadi karena menteri pertahanan tidak sanggup menghalang-halangi pelantikan tanggal 27 Juni 1955.
Bahwa dengan keadaan kebijakan pemerintah menghadapi persoalan KSAD keadaaan Angkatan Darat negara dan bangsa Indonesia menghadapi kesulitan dan kekacauan yang akan mengakibatkan suatu keadaan yang mungkin tidak dikehendaki lagi.
Tanggal 29 Juni 1955 sampai 2 Juli 1955, dengan bertempat di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) diadakan rapat pimpinan AD guna membahas seputar Peristiwa 27 Juni 1955. Dalam rapat itu para perwira menuntut kepada pemerintah agar memberi batasan yang jelas antara masalah teknis dan masalah politis. Selain itu pemerintah harus menetapkan alokasi dana yang cukup untuk melaksanakan tugas pertahanan negara. Mereka berpendapat bahwa krisis yang dialami oleh AD saat ini disebabkan oleh sikap pemerintah yang tidak mau menghiraukan Piagam Yogya.
Sebagai langkah awal mereka meminta pemerintah agar membatalkan pengangkatan Bambang Utoyo, dan kemudian mengangkat KSAD yang baru sesuai dengan isi Piagam Yogya serta mencabut skorsing terhadap Kolonel Zulkifli Lubis. Keputusan yang dihasilkan dalam rapat pimpinan AD didukung sepenuhnya oleh IPRI yang dipimpin oleh Kolonel Rudi Pringadi. Badan inilah yang memelihara solidaritas diantara para tentara sebagai pengganti kontrol terpusat MBAD yang menjadi lemah sejak Peristiwa 17 Oktober 1952.
Di lain pihak Presiden Soekarno berusaha mambujuk Kolonel Warouw, Kolonel Bachrun dan Kolonel Sudirman agar mau mendukung pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru, tetapi para perwira itu menolaknya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Zulkifli Lubis membentuk sebuah tim asistensi yang akan membantunya dalam melakukan negosiasi dengan pemerintah. Tim tersebut terdiri dari: Kolonel Andi Saleh, Letkol. Sapari, Letkol. Abimanyu, Letkol. A.J. Mokoginta, Letkol. Sumual dan Letkol. Pieters. Tuntutan Angkatan Darat adalah tetap, yaitu selain mencabut skorsing terhadap Lubis juga agar pemerintah memberhentikan dengan hormat Bambang Utoyo dan mengangkat KSAD yang baru dengan persyaratan yang telah diajukan pihak AD. Secara rinci, pendirian Angkatan Darat adalah sebagai berikut:
- Agar Mayor Jenderal Bambang Utoyo dengan sukarela mengundurkan diri sebagai KSAD.
- Agar Pemerintah memberhentikan dengan hormat Mayor Jenderal Bambang Utoyo dari jabatannya sebagai KSAD.
- Agar Pemerintah mengangkat KSAD yang baru.
- Supaya Pemerintah mencabut skorsing WKSAD
Sebuah delegasi yang terdiri dari Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Sungkono dan Letkol. Dr. Aziz Saleh pada tanggal 5 Juli 1955, datang kepada Bambang Utoyo untuk memintanya mundur secara sukarela dari Jabatan KSAD. Jawaban dari Bambang Utoyo adalah bahwa dia tetap loyal kepada Angkatan Darat dan pemerintah, dan bahwa dia mungkin akan bersedia untuk mengundurkan diri. Perundingan antara Angkatan Darat dengan Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri, tidak menghasilkan apa-apa.
Oleh karena itu Zulkifli Lubis mengutus Letkol. Sukanda Bratamenggala, seorang keponakan Iwa Kusumasumantri untuk merancang suatu persetujuan, tetapi Iwa Kusumasumantri tidak mau mundur setapakpun. Menghadapi sikap kompak Angkatan Darat itu, kabinet mundur selangkah dengan mencabut skorsing terhadap Kolonel Zulkifli Lubis. Pencabutan itu tak pelak lagi menjadikan Zulkifli Lubis dapat secara legal memimpin AD dalam melancarkan protesnya terhadap pemerintah.
Menurut Sundhaussen, Peristiwa 27 Juni Bukan merupakan suatu kudeta militer terhadap pemerintah yang berkuasa. Ia menyatakan :
”Peristiwa 27 Juni 1955 dan sesudahnya bukanlah suatu kudeta, dan saya berpendapat bahwa bahkan tak pernah ada rencana untuk melakukan kudeta. Tidak seorangpun di antara para perwira yang diwawancarai mengiakan kabar-kabar yang menyatakan bahwa ketika itu soal kudeta pernah dibicarakan, atau bahwa Angkatan Darat telah dengan sengaja menempuh kebijakan untuk menjatuhkan pemerintah yang satu ini atau bahkan untuk mengusahakan pengunduran diri Iwa. Yang benar adalah bahwa Angkatan Darat telah melakukan tindakan insubordinasi.”
Sedangkan Herbeth Feith menyatakan bahwa ada maksud-maksud dari pihak para perwira senior untuk menghapuskan sistem demokrasi parlementer melalui suatu kudeta militer.Tetapi para perwira itu kemudian memutuskan untuk tidak menjatuhkan kabinet Ali Sastroamidjojo. Pertimbangan mereka untuk menunda kudeta itu adalah bahwa mereka takut dituduh menhancurkan peluang bagi demokrasi konstitusional di Indonesia menjelang dilangsungkanya pemilu.
Tetapi ia berkesimpulan bahwa kabinet Ali Sastroamidjojo dijatuhkan oleh satu kekuatan saja. Mekanisme yang menyebabkan kejatuhanya adalah mekanisme partai-partai dan parlemen, tetapi momentum bagi kejatuhan itu datangnya dari Angkatan Darat dan tidak dari pihak lain.
Arti penting Peristiwa 27 Juni 1955 tidak semata-mata menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo. Yang menarik adalah penolakan untuk kedua kalinya dari pihak militer terhadap tawaran para pemimpin militer untuk tidak melibatkan tentara ke dalam politik praktis. Politisi lebih mengutamakan keuntungan politis jangka pendek yang relatif kurang penting daripada upaya untuk menata kembali secara prinsipil hubungan antara pemerintah dan militer.
Yang tidak mereka sadari adalah bahwa hubungan antara para pejabat sipil dengan pihak tentara semakin memburuk sejak awal 1955, sehingga secara berangsur-angsur ketidakpercayaan korps perwira terhadap politisi semakin kuat. Sikap kabinet yang mengabaikan Piagam Yogya pada akhirnya menutup peluang bagi para politisi untuk menguasai tentara hanya dengan siasat pecah-belah.
Peristiwa 27 Juni juga membuka mata para perwira militer bahwa alternatif-alternatif dalam hubungan militer dengan pemerintah tidak sekedar merupakan pilihan antara pengakuan penuh atas supremasi sipil, upaya-upaya untuk meminta perlindungan dari kalangan tertentu dalam struktur kekuasaan sipil, atau suatu kudeta militer. Namun masih ada satu alternatif lain, yaitu upaya untuk menjamin bahwa pandangan Angkatan Darat diperhitungkan dengan jalan menolak kerjasama dengan pemerintah.
Arti penting lainya adalah bahwa Peristiwa 27 Juni 1955 telah menghidupkan kembali gagasan bahwa tentara tidak dengan sendirinya harus menerima baik semua instruksi dari orang-orang yang duduk di kabinet. Kemenangan yang dicapai Angkatan Darat telah memperkuat rasa percaya diri mereka dan kemungkinan bahwa selanjutnya mereka akan berusaha menjamin agar militer dimintai pendapat mengenai soal-soal militer dan bahkan permasalah non-militer.
PIAGAM YOGYA 1955
Perpecahan antara dua kelompok yang ada dalam tubuh Angkatan Darat sudah sedemikian parah sehingga bisa menghambat penyelesaian secara hukum Peristiwa 17 Oktober 1952. Oleh karena itu KSAD merasa perlu memberikan instruksi kepada seluruh tentara AD agar tidak menghalangi penyelesaian hukum Peristiwa 17 Oktober 1952 dan menerima apapun keputusan yang dijatuhkan hakim. Dan pelanggaran terhadap perintah ini dianggap sebagai suatu pembangkangan dengan hukuman yang berat.
Para perwira akhirnya menyadari bahwa pertikaian di kalangan mereka sendiri hanya akan menguntungkan pihak ketiga, yaitu menteri pertahanan yang tidak mereka sukai. Selain itu kinerja AD menjadi semakin menurun karena tidak adanya sikap saling percaya satu sama lain, padahal mereka harus menyelesaikan operasi-operasi di daerah yang dilanda pemberontakan. Oleh karena itu pada tanggal 3 Desember 1954 di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) diadakan sebuah rapat panglima guna membahas masalah yang ada di AD.
Dalam rapat itu para perwira dari kedua kelompok yang bertikai menyatakan pendirianya untuk mendukung usaha-usaha KSAD dalam menyelesaikan perpecahan yang ada di dalam tubuh AD. Sebuah pertemuan susulan diadakan pada tanggal 17-18 Januari 1955 yang mnghasilkan sebuah panitia yang terdiri dari tiga orang perwira pro-17 Oktober dan tiga orang perwira anti-17 Oktober serta ditambah tiga orang perwira yang netral untuk mempersiapkan sebuah konferensi yang lebih besar, yaitu Konferensi Perwira Angkatan Darat yang dilaksankan di Yogyakarta pada tanggal 17-25 Pebruari 1955. (Sundhaussen, 1986: 141)
Dipilihnya kota Yogyakarta sebagai tempat berlangsungnya Konferensi Perwira AD itu karena Yogyakarta sangat hubunganya dengan lahir dan tumbuhnya TNI. Sebelum pemerintahan pusat dipindahkan ke Yogyakarta, kota itu menjadi Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat. Di Yogyakarta pula pernah terjadi Serangan Umum 1 Maret yang menunjukkan kepada dunia internasional bahwa militer Indonesia tidak bisa diremehkan. Di kota inilah semangat juang dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan bangsa begitu besar, terutama bagi kalangan militer.
Konferensi Perwira AD dimulai pada tanggal 17 Pebruari dengan mengadakan Rapat Formal (RAFO) yang dihadiri 289 perwira untuk membentuk Rapat Collegial (RACO), dan terpilih 50 orang anggota RACO dari para perwira yang hadir dalam RAFO. Pada tanggal 21 Pebruari dimulai Rapat Pleno I dan berhasil membahas keutuhan dan persatuan AD dengan ketua Kolonel dr. Aziz Saleh. Seksi II membahas penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952 dengan ketua Kolonel M. Simbolon. Seksi II membahas pembangunan Angkatan Darat dengan ketua Letkol.l dr. Soedjono. (Darius Marpaung, 1956: 57)
Rapat Pleno II dimulai tanggal 23 Pebruari 1955 dengan membahas pokok-pokok permasalahan seperti yang telah dibicarakan dalam tiga seksi yang telah dibentuk, yaitu:
A. Keutuhan dan Persatuan Angkatan Darat
Dalam perjalananya, baik Angkatan Perang pada umumnya dan Angkatan Darat pada Khususnya, telah mengalami berbagai rintangan dan masalah, baik yang datang dari luar maupun dari dalam tubuh militer sendiri. Seperti terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952, yang membuktikan kurangnya persatuan di kalangan militer AD. Untuk mencegah hal-hal seperti itu maka dalamm Seksi I dibahas perlunya keutuhan dan persatuann di kalngan perwira AD. Selain itu juga dibahas kedudukan militer yang belum mempunyai dasar kuat dalam ketatatnegaraan. (Darius Marpaung, 1956: 58)
Unsur psikologis ternyata sangat mempengaruhi jiwa tentara dalam mencapai keutuhan dan persatuan militer. Perselisihan antar anggota dalam AD dapat menimbulkan suatu krisis moril yang menyebabkan diabaikanya sumpah prajurit, sumpah jabatan dan hukum-hukum sebagai perwira AD. Perbedaan ideologi di antara para tentara juga dapat memicu perpecahan dalam tubuh AD. Selain itu krisis pemimpin juga menyebabkan perpecahan dalam tubuh AD karena segala tindakan pimpinan dapat mempengaruhi terhadap anak buahnya.
Untuk mengatasi masalah-masalah itu maka perlu segera dicari jalan keluarnya. Untuk mengurangi perbedaan jumlah tenaga-tenaga AD maka perlu adanya pendidikan yang sama.Selain itu juga diperlukan undang-undang yang mengatur tentang ketentaraan, karena dapat menghilangkan perbedaan yang mendasar dalam kedudukan militer. Larangan bagi tentara untuk aktif dalam politik yang diinstruksikan KSAD, akan diimbangi dengan batas yang tegas mengenai sampai dimana pebgaruh politisi sipil dapat masuk ke dalam tubuh militer.
Belum jelasnya pedoman ideologi dapat dipecahkan dengan meninjau kembali Saptamarga, sehingga dapat menjadi suatu pedomann idiil yang sederhana sifatnya dan mudah dijalankan. Unsur psikologis dapat ditumbuhkan dengan pendidikan rohani karena persatuan yang sejati adalah persatuan yang ada di dalam nurani.
Untuk lebih memantapkan semua usaha-usaha dan saran-saran demi keutuhan dan persatuan AD maka diperlukan sebuah komitmen kuat bersama seluruh elemen AD. Komitmen tersebut ditandai dengan sebuah piagam persatuan yang disebut dengan Piagam Keutuhan Angkatan Darat atau lebih dikenal dengan nama Piagam Yogya. Piagam Yogya ditandangani oleh KSAD Jenderal Mayor Bambang Sugeng pada tanggal 25 Pebruari 1955 dengan disaksikan Sukarno, Hatta, Ali Sastroamidjojo dan Iwa Kusuma Sumantri.
Dalam mukadimah dari Piagam Yogya menyesalkan kenyataan bahwa kedudukan AD dalam negara masih belum ditetapkan secara jelas. Mereka juga mengalami tekanan politik yang tidak semestinya, dan bahwa masalah Peristiwa 17 Oktober 1952 masih harus diselesaikan. Selain itu dijelaskan beraneka ragam unsur yang ada dalam AD dan krisis moral yang dialami tentara. (Darius Marpaung, 1956: 63-64)
B. Penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952
Rapat Seksi II yang diketuai oleh Kolonel M. Simbolon membahas aspek-aspek dari persoalan Peristiwa 17 Oktober 1952. dalam penyelesaian ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, seperti melalui peradilan, kebijakan pemerintah dan fakta psikologis. Penyelesaian melalui jalur hukum merupakan penyelesaian yang cukup adil dan merupakan jalan tengah. Peradilan dipimpin oleh hakim istimewa yang terdiri dari dwi tunggal, ketua DPR, perdana menteri, menteri pertahanan dan jaksa agung. Perimbangan yang penting dalam penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah dengan cara meneliti peristiwa yang terjadi sacara obyektif dan kronologis. (Darius Marpaung, 1956: 65)
Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak hanya melibatkan para perwira AD saja, tetapi peristiwa itu juga mempunyai dampak terhadap kehidupan politik dan sosial. Oleh karena itu peradilan yang dilakukan juga harus sesuai dengan hukum sipil yang berlaku di Indonesia. Dari hasil rapat Seksi II diperoleh kesepakatan agar peristiwa 17 Oktober 1952 harus diselesaikan paling lambat tanggal 17 Agustus 1955. Selain itu penyelesaian masalah yang ada dalam tubuh AD diserahkan kepada KSAD, seperti pergeseran-pergeseran jabatan yang terjadi. Peristiwa 17 Oktober 1952 sendiri telah dianggap selesai oleh pihak AD. (Darius Marpaung, 1956: 65-66)
C. Pembangunan Angkatan Darat
Seksi III diketuai oleh Letkol. dr. Soedjono membahas masalah-masalah pembangunan AD yang kurang mempunyai dasar-dasar ideologis. Masalah-masalah pembangunan ideologis AD selain dapat diatasi dengan pemahaman tentang Pancasila dan Saptamarga, juga Piagam Keutuhan yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi dasar ikatan persatuan di kalangan tentara. Selain itu juga kedudukan dan fungsi AD dalam masyarakat dan negara perlu ditinjau kembali. Beberapa hal yang penting sebagai landasan pembangunan AD, antara lain:
Penentuan, penegasan dan perumusan mengenai politik dasar negara sebagai kelanjutan dari poltik nasional
Penentuan tentang dasar-dasar untuk perencanaan dan penyelenggaraan strategi pembelaan negara.
Ketentuan tentang fungsi dan tugas-tugas serta kewajiban AD dalam rangka pelaksanaan strategi pembelaan negara.
Ketentuan mengenai perwujudan unsur-unsur organisasi yang sesuai fungsi, tugas dan kewajiban AD dalam menyelenggarakan strategi pembelaan negara.
Bidang personil dan materiil.
Dasar-dasar atau landasan pembangunan AD seperti UUD Sementara dan UU No.2/1954 tentang pertahanan RI.
Untuk memantabkan dasar-dasar pembangunan AD, Seksi III merumuskan kesimpulan yang diambil dari rapat yang telah dilangsungkan, yaitu: perlu adanya unsur idiil yang sederhana, mudah ditangkap oleh semua tentara guna mempertinggi niali pribadi dan kesadaran nasional. Unsur politis, perlunya pedoman dari militer untuk melaksanakan tugas pembelaan negara, dan secepatnya perlu dibentuk badan-badan yang merumuskan ketentuan tersebut.
Unsur teknis, ditentukan tugas yang jelas dalam organisasi militer. Kemampuan dan kecerdasan menjadi syarat utama dalam melaksanakan tugas pada struktur organisasi militer sehingga dapat diadakan reorganisasi dengan lancar. (Darius Marpaung, 1956: 70)
Masalah pembangunan AD tidak lepas dari unsur geografi, politik, ekonomi dan kultur, karena pada dasarnya tugas pokok AD adalah mengamankan bangsa dan negara. Keadaan geografi Indonesia yang dipisahkan oleh laut yang luas dan terletak di persimpangan jalur perhubungan internasional antara Barat dan Timur, sangat mudah terseret dalam arus perkembangan dunia. Dari segi politik luar negeri, Indonesia menganut sistem politik bebas aktif sehingga militer berusaha ikut dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Perekonomian Indonesia yang lemah, sehingga sangat membutuhkan bantuan dari luar negeri untuk pengadaan perlengkapan militer. Dari sudut pandang kultur, mengingat Indonesia adalah negara bekas jajahan, maka mutlak ditanamkan ideologi Pancasila di kalangan tentara. Ideologi-ideologi asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa harus segera dihilangkan. (Ali Imran, 1971: 110)
Dengan berdasarkan faktor-faktor yang ada, maka pembangunan militer merupakan pembanguanan pertahanan rakyat yang sifatnya total dan menyeluruh. Angkatan Darat yang lahir dari dorongan jiwa untuk mempertahankan negara merupakan wujud dari keinginan rakyat yang ingin lepas dari penjajah dari tanah air. Dengan kemampuan serta unsur-unsur yang ada, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, AD tetap merupakan kekuatan pokok dalam pertahanan negara.
Rapat Perwira Angkatan Darat telah berhasil menelorkan keputusan yang berisi antara lain suatu kesepakatan untuk membina persatuan dan profesionalisme dalam Angkatan Darat. Kemudian juga dihindari campur tangan pihak politisi dalam masalah intern militer, terutama di dalam urusan pengangkatan jabatan militer yang harus didasarkan pada senioritas dan kecakapan.
Mengenai Peristiwa 17 Oktober 1952, para perwira itu sepakat agar persoalan itu dianggap sudah selesai. Para perwira juga menuntut pada pemerintah agar sebelum tanggal 17 Agustus 1955 memberikan suatu penyelesaian secara formal atas Peristiwa 17 Oktober 1952. (Yahya A. Muhaimin, 1982: 74)