Selasa, 22 Oktober 2013

Pertempuran Kompi Daeng di Cimahi dan Bandung Selatan


KOMPI DAENG

Terbentuknya Kompi Daeng tidak terlepas dari inisiatif mantan Shodancho Daeng Muhammad Ardiwinata (Letnan Komandan Pleton) salah seorang mantan Komandan Pleton Batalyon IV PETA (Dai Yon Dai Dan) di Cimahi. PETA singkatan dari Pembela Tanah Air. Terbentuknya PETA atas usul seorang putra Indonesia yang bernama Gatot Mangkupraja yang berpikiran jauh kedepan. Usul ini disampaikan kepada penguasa Jepang di Indonesia waktu itu, dengan turut membantu tentara Jepang dalam Perang Dunia II khususnya di Indonesia.


Propaganda Jepang


Dalam usulan Gatot Mangkupraja antara lain di jelaskan Batalyon PETA hanya terdiri dari putra-putra Indonesia, mulai pangkat prajurit (Gyuhei) sampai dengan pimpinan Batalyon (Komandan Batalyon-Dai Dancho) yang hanya ditugaskan di Indonesia (pulau Jawa dan Sumatera) saja untuk pengamanan daerah. Berbeda dengan Heiho (pembantu tentara Jepang) dan Kaigun Heiho (Pembantu tentara Jepang pada angkatan laut Jepang) yang dapat ditugaskan keseluruh Indonesia bahkan keluar Indonesia misalnya ke Burma dan Kepulauan Solomon. 


Tentara Belanda ditawan Tentara Jepang, 1942


Tentara Belanda tertangkap Tentara Jepang, 1942




Makna sesungguhnya usul Gatot Mangkupraja adalah supaya bangsa Indonesia pada kesempatan dijajah Jepang diberi kesempatan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan kemiliteran (sebagai kader) yang suatu ketika menjadi kader tentara Indonesia, tentara bangsa sendiri untuk bangsa Indonesia. Kemudian ternyata tujuan ini terbukti.


Diharapkan dari pendidikan keprajuritan yang modern bangsa Indonesia akan mendapat menambah ilmu dibidang keprajuritan sebagai pelengkap yang terlebih dahulu bangsa Indonesia telah memiliki watak dan semangat keprajuritan sejak jaman dulu kala.


Jepang akhirnya setuju terbentuklah PETA atau tentara Pembela Tanah Air dengan dikeluarkannya Osamu Seirei No. 44 (Pengumuman Nomor 44) oleh Letnan Jendral Kumichi Harada (Panglima tentara ke 16 Jepang di Indonesia) tanggal 3 Oktober 1943.


Dengan ini dapat ditarik kesimpulan pemanfaatan kepentingan perangnya Jepang, yang hakekatnya untuk kepentingan bangsa Indonesia (pemikiran Gatot Mangkupraja) dan terbukti mantan-mantan PETA dominan dapat menjadi pimpinan TNI, antara lain mantan Dai Dancho Sudirman yang menjadi Bapak TNI, seorang Panglima Besar). Jadi tersanggahlah pendapat bahwa : "orang-orang mantan PETA adalah "kolaborlator" dengan Jepang.


Pemuda Indonesia dilatih Jepang menjadi tentara yang profesional


Dalam sejarah pejuangan bangsa Indonesia selalu dapat ditemukan sifat-sifat watak dan semangat keprajuritan yang kemudian merupakan salah satu unsur pokok disamping jiwa kebangsaan dan jiwa kemerdekaan".


Bangsa Indonesia telah memiliki watak dan semangat keprajuritan sejak dahulu kala, hal ini telah dibuktikan oleh kebesaran-kebesaran kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Aceh, Pajang, Gowa dan masih banyak lagi lainnya. Kerajaan-kerajaan itu dapat berdiri tegak karena didukung oleh angkatan perang yang memiliki tradisi keprajuritan seperti yang banyak digambarkan didalam kesusastraan Indonesia khususnya didalam cerita-ceerita pewayangan dan hikayat yang hingga sangat ini sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia.


Demikianlah tradisi keprajuritan bangsa Indonesia secara idiil dan phisik telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dari kehidupan masyarakat yang tentu saja menentukan pula corak kepribadian keprajuritan Indonesia yang merupakan satu hal yang tak dapat diabaikan begitu saja oleh bangsa-bangsa lain.


Oleh karena itulah pada waktu Belanda menginjakan kaki dibumi Indonesia dan setelah kekuatan kolonialnya tertanam sepenuhnya, mereka berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara dan muslihat dengan politik kolonialnya untuk membinasakan keprajuritan bangsa Indonesia.


Jepang menyerah kepada sekutu tanpa syarat pada 14 Agustus 1945, kemudian tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan bangsa Indonesia.



Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945


Di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 1945 berdiri Badan Pembantu Keluarga Korban Perang (BPKKP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai bagian BPKKP diberlakukan berdirinya pada tanggal 30 Agustus 1945.


Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, batalyon-batalyon PETA dan Heiho juga Kaigun Heiho dilucuti dan dibubarkan, kecuali Polisi.


Beberapa hari setelah Batalyon IV PETA di Cimahi dibubarkan, mantan Shodanco Daeng Muhammad Ardiwinata mengumpulkan bekas anak buahnya sewaktu di PETA supaya bergabung ke dalam organisasi BKR yang dibentuk oleh BPKKP Kecamatan Cimahi dibawah pimpinan Erom seorang guru yang juga pengurus Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Kecamatan Cimahi.


Bersamaan dengan bergabunganya mantan Pleton PETA (Shodan) dibawah pimpinan mantan Schodanco Daeng Muhammad Ardiwinata, bergabung pula manata Heiho, Kaigun, Pelaut, KNIL dan pemuda-pemuda, pelajar dan dari berbagai golongan masuk kedalam BKR Cimahi. Sesuai perkembangannya BKR Cimahi menjadi TKR (Tentara Keamaman Rakyat).


TKR Kompi Daeng semula masuk jajaran Batalyon IV Momon Resimen 9 Gandawijaya selanjutnya Batalyon IV Momon menjadi Detasemen 9 Momon.


Waktu telah umum kesatuan-kesatuan tentara tidak dikenal tanda pengenalnya, misalnya seksi 1 Kompi II Batalyon V Resimen 9 yang dikenal masyarakat dan para anggotanya sendiri hanya nama pimpinannya saja. Seksi 1 Komandan seksinya Umar disebut dan dikenal dengan Seksi Umar dan selanjutnya bagi tingkat kesatuan apapun. Kompi II Komandan Kompinya bernama Daeng Muhammad Ardiwinata lalu dikenal dan disebut Kompi Daeng.

Setelah Kompi Daeng masuk jajaran Detasemen Momon, semula Detasemen ini berkekuatan :

  1. Staf Detasemen                 : Komandan Detasemen Momon.
  2. Kompi Daeng                   : Komandan Kompi Daeng
  3. Kompi Arifin                    : Komandan Arifin

(Kompi Arifin semula dari kesatuan Uyo yang pernah dibentuk pada tanggal 17 November 1945 dikantor Kawadanaan Cimahi selanjutnya bermarkas di Kandang Uncal. Kemudian Kesatuan Uyo disusun menjadi Kompi sebagai Komandan Kompi dijabat oleh Arifin. Sedangkan Uyo dipindahkan menjadi Komandan Batalyon di Purwakarta.


Sewaktu Staf Detasemen Momon bermarkas di Padalarang kekuatannya berkembang, terdiri dari Staf Detasemen dan 4 Kompi :
  1. Komandan Detasemen berikut Staf berkedudukan di Cipeundeuy Rajamandala.
  2. Kompi I/ Daeng berkedudukan di Cibabat-Cibeureum (Cimahi)sampai dengan Fokerweg (Jalan Garuda) Bandung.
  3. Kompi II/Arifin berkedudukan di daerah Cimahi sampai dengan Padalarang.
  4. Kompi III/Kosasih berkedudukan di Panglejar Cikalong Wetan
  5. Kompi IV/Toha berkedudukan di Cipatat

 Markas Resimen 9 Gandawijaya berkedudukan di Padalarang.

Sesuai dengan kondisi dan situasi waktu itu di Cimahi, dislokasi Kompi Daeng menyesuaikannya, untuk sementara berkedudukan sebagai berikut :
  1. Kelompok Komando Kompi di Jati Pasantren
  2. Seksi Saptari Kompi di Prapatan Cihanjuang
  3. Seksi Asam Afandi Kompi di Jati
  4. Seksi Rahmat Igo Kompi di gang Alpi Fokerweg (Jalan Garuda) Bandung kemudian pindah ke Cimahi).


Akhir tahun 1945 Komandan Kompi Daeng mengambil keputusan bahwa dislokasi Kompinya harus di tempat strategis dan kompak disatu komplek kemudian kedudukan sebagai berikut :
  1. Kelompok Komando Kompi di sebuah gedung Dinas Sosial Cibabat (Panti Asuhan Taruna Negara).
  2. Ketiga Seksinya dijalan Pesantren (sekarang) di Pesantran Cibabat.


MENDAPAT PULUHAN PUCUK SENJATA

Seperti pasukan-pasukan pejuang lainnya, Kompi Daeng melengkapi dirinya dengan denjata dan perlengkapan lainnya karena kelihaiannya dan semangat berkobar-kobar dengan jalan "O.S" alias Oesaha Sendiri.


Sejak semula terbentuknya kompi ini diantaranya dapat dikatakan terbanyak "anak kolong" murni, sebutan anak-anak serdadu Belanda KNIL sebelum Perang Dunia II meletus. Julukan "anak kolong" kemudian populer untuk sebutan atau ditujukan kepada pasukan-pasukan pejuang dari Cimahi. Julukan ini agak memadai untuk setiap pemuda Cimahi, walaupun bukan anak serdadu Belanda KNIL, karena Cimahi sebagai daerah konsentrasi tentara Belanda KNil dan KL sebelum Perang Dunia II, pemusatan tentara KNIL dan KL terbesar diseluruh Hindia Belanda tempo dulu.


Para Kompi "anak kolong" inilah yang telah membuktikan dirinya bahwa mereka sanggup dan telah terbukti dapat berhubungan dengan "oom-oom KNIL" yang ditawan tentara Jepang pada waktu tentara Hindia Belanda (Indonesia) menyerah kepada Jepang 8 Maret 1942, kemudian menjadi lagi KNIL ketika dibebaskan oleh tentara pendudukan Sekutu/ Inggris sewaktu Jepang menyerah ketika itu Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaanya.


Sebagai seorang anak kolong ini dengan segala kelihaiannya "ngarayu jeung ngolo" oom-oom KNIL, juga bila oom-oom KNIL nya lengah mereka mencuri senjata sehingga berbagai jenis senjata puluhan pucuk terkumpul. Sebagai resikonya banyak "anak kolong" yang ketahuan dan dihukum di Poncol atau di Kebon Waru (LOG) sebagai tempat tawanan para pejuang Indonesia yang mereka sebut dengan "extremisten". Bahkan banyak diantaranya "anak kolong" yang disiksa hingga cacat juga hilang tidak tentu rimbanya hingga sekarang.


Waktu itu kampemen Cimahi telah diduduki 1 resimen tentara sekutu/ Inggris dari Divisi India ke-23 (23rd India Division). Terdiri dari para pimpinannya bangsa Inggris, bawahannya bangsa Ghurka dan India (Hindu/ Budha) termasuk pula India muslim (India - Pakistan belum merdeka).


Minimal 2 batalyon infantri yang berpengalaman dan memenangkan perang, diperkuat kesatuan tank, bren carrier, batalyon artilery lapangan/ medan dan artilery serangan udara, Detasemen MO 8, Detasemen Genie tempur dan Detasemen Genie Konstruksi.


Resimen ini sebagian besar dari Divisi India ke 23 yang datang melalui jalan darat dari Jakarta melalui Bogor, Puncak, Cipatat, Padalarang lalu menghuni kampemen Cimahi. Mereka berkendaraan dalam 2 gelombang convooi dikawal pesawat pemburu, Mustang. Convooi mereka pernah diantaranya dicegat Kompi Daeng di Gunung Masigit. (Baca pencegatan tentara sekutu/ Inggris di Jembatan Rajamandala lama oleh Detasemen Abdul Hamid).


Dengan kekuatan puluhan pucuk senjata berbagai jenis yang sebagian hasil "ngolo" dan mencuri ini, Kompi Daeng terlibat pertempuran -pertempuran.


PERTEMPURAN DI CIBUNTU BANDUNG


Ketika Kompi Daeng berkedudukan di Cibabat sampai di Fokerweg (Jalan Garuda) menempatkan seksinya di Cibabat : Seksi Saptari, Seksi Rahmat Igo. Di Cibeureum : Seksi Asam Afandi terlibat pertempuran dengan tentara Sekutu/ Inggris ketika convoou mereka dari arah barat menuju Cimahi melalui jalan raya menuju lapangan udara militer Andir (Lanud Husen Sastranegara), separuh convooi belok ke utara masuk Fokerweg (jalan Garuda) terjadi tembak menembak.


Posisi pasukan pejuang berada di Warung Muncang (gedung Perdatam) Batalyon Hutagalung, Laskar Perjuangan, Kompi Batalyon Sumarsono, Kompi Batalyon Abdurahman. Di Situ Aksan Kompi dari Batalyon Hutagalung, Laskar Perjuangan, Kompi dari Batalyon Sumarsono, Kompi dari Batalyon Abdurahman.


Pencegatan yang tidak diduga dandilakukan dengan gencar mengakibatkan kerugian untuk mereka, beberapa orang tentara Inggris asal bangsa India menyerah dengan senjatanya dan kendaraan power kepada Batalyon Sumarsono dan Kompi Batalyon Abdurahman dari Resimen 8 Bandung. Komandan Kompi Daeng dengan Seksi Rahmat dapat merampas beberapa pucuk senjata hasil mencegat dekat SD Cibuntu.


Convooi tentara Sekutu/ Inggris lainnya dengan kecepatan penuh lansung menuju ke lapangan udara, akibat pencegatan yang berhasil ini beberapa menit kemudian tentara Sekutu/ Inggris "mengirimkan" peluru mortir ke posisi pasukan kita dengan gencar antara lain ke Fokerweg (Jalan Garuda), Situ Aksan dan Warung Muncang. Tidak diketahui kerugian kita.



MENYERANG PABRIK SENJATA ACW (Cabang Pabrik Senjata Jepang di Cibabat)


Akhir Desember 1945 setelah seluruh Saksi-Seksi Kompi Daeng berkumpul dalam suatu komplek, kelompok Komando Kompi disebuah gedung Dinas Sosial (Panti Asuhan Taruna Negara) Cibabat, ketiga Seksi di Pesantren (Jalan Pesantren) mengadakan serangan bersama Hizbullah ke ACW Cibabat. ACW ini cabang pabrik senjata yang pusatnya di Bandung (Pindad).


Sebenarnya serangan ini semula telah diatur sesuai perundingan antara Komandan Kompi Daeng dengan Komandan pabrik senjata cabang ACW yang akan menyerahkan senjata setelah terjadi pertempuran pura-pura (menembak keatas). Pelaksanaannya terjadi pertempuran sebenarnya karena pihak Jepang terlebih dahulu menembak, tidak menembak keatas tidak diketahui sebabnya. Diduga melepaskan dendam karena sebulan sebelum terjadi pertempuran ACW ini telah terjadi pertempuran di Tagog ketika itu 1 pick up Jepang lebih kurang 10 orang yang akan menuju ke arah barat tepat di Sukawargi beberapa meter sebelum mencapai jembatan Kali Cimahi, telah ditembaki oleh pasukan Polisi Negara Cimahi,anggota Banteng Cimahi, anggota kesatuan Uyo (sebelum menjadi Kompi Arifin) hingga mengakibatkan 3 orang tentara Jepang mati dan 3 senjatanya terampas dan serdadu Jepang ini berasal dari pabrik senjata ACW di Cibabat.


Dalam pertempuran ini seorang anggota Joko Sukirman tertembak dipunggung tembus ke pangkal lengan ketika bersama Komandan Kompi Daeng merayap setelah berada dibawah kubu karung yang diisi pasir akan "ngarawel" senapan mesin ringan yang larasnya "nyodor", tapi terlebih dahulu kelihatan oleh tentara Jepang yang kaget ada tangan yang akan mengambil senjatanya, lalu serdadu Jepang mengangkat dan menembakan senjatanya.


Ketika badan Joko Sukirman setengah terangkat Komandan Kompi Daeng tepat berada dibawahnya jadi terlindung badan Joko Sukirman, beliau tidak tertembak. Anggota lainnya segera memberikan tembakan bantuan sehingga tentara Jepang yang sedang menembak terjungkal jatuh kedalam kubu. Lalu Joko Sukirman dan Komandan Kompi Daeng merayap dengan susah payah kebelakan atau mundur mendekat teman anggota lainnya. Tidak lama kemudian tembakan berhenti dan Kompi Daeng mengundurkan diri menuju markasnya, begitu juga anggota Hizbullah.



PERTEMPURAN DI ALUN-ALUN CIMAHI


Awal bulan Februari 1946 regu Belayar dari Kompi Daeng yang sedang bertugas di alun-alun Cimahi bersama beberapa anggota Banteng Cimahi, anggota BARA, anggota Detasemen Abdul Hamid terlibat pertempuran. Waktu pasukan pejuang kita yang menduduki pos Kebon Kopi (Cimek), Kantor Kewadanaan dan di SD utara Mesjid Agung Cimahi, melintas belasan truk yang diisi tentara Sekutu/ Inggris dari arah timur, ketika truk terdepan tepat berada  didepan Toko Johor terjadi tembakan dari pihak pejuang, pada saat iring-iringan truk berhenti juga truk yang paling belakang berhenti berada didepan apotik Abadi sekarang berhenti. Para penumpangnya turun dan naik truk lainnya yang segera truk-truk ini memutar haluan lalu kembali kearah semula.


Para pejuang kita mendekati kedua truk ternyata bak truk terdepan penuh darah dan ada 2 pucuk karaben Kirop, diam-diam sepucuk diambil oleh anggota Banteng Cimahi sepucuk lagi diambil oleh anggota Regu Belayar dari Kompi Daeng.


Seorang anggota dari Banteng Cimahi mantan tentara Sekutu/ Inggris kebangsaan India menghidupkan mesin truk setelah mesinya hidup diserahkan kepada Endang anggota Regu Belayar kemudian dikemudikan dibawa ke Citeureup. Sedangkan truk yang satunya lagi dikerumuni anggota BARA dan anggota Detasemen Abdul Hamid yang ternyata isi truk itu berisi beberapa stel seragam lalu dibagi rata kepada empat pasukan pejuang yang ikut menghadang.


MELUCUTI API (Angkatan Pemuda Indonesia)

Masih terjadi pada bulan Februari 1946, sesuai perintah Kompi Daeng melucuti API di Tagog Apu merampas 5 pucuk senjata karaben kemudian API di bubarkan.



GUGURNYA DOKTER DUSTIRA


Kompi Daeng kemudian diperintahkan menuju Ngamprah, Gedunglima depan Statsiun Kereta Api Padalarang, disini pula kedudukan Markas Resimen 9.


Keesokan harinya Padalarang dan sekitarnya termasuk Gedung Lima mendapat gempuran meriam tentara Sekutu/ Inggris dari Cimahi selama kurang lebih satu jam. Kerugian kita seorang dokter Resimen gugur, dokter Dustira.


PERISTIWA PENCEGATAN DI GUNUNG MASIGIT

Setelah Kompi Daeng mendapatkan senjata sebagian hasil anggotanya "anak kolong" dan tambahan dari rampasan kelopok API juga hasil pertempuran di Cibuntu, bertugas mencegat convooi tentara Sekutu/ Inggris ditempat strategis Gunung Masigit. Kekuatan ternyata tidak seimbang, tentara Sekutu/ Inggris yang dicegat ini ternyata berkekuatan 1 Batalyon Infantri diperkuat puluhan Tank, Artileri yang ditempatkan di Cimahi.


Salah seorang anggota Kompi Daeng yang bernama Endang Suwita yang posisinya ketika itu masih dipinggir jalan belum sempat naik ke tempat steling seperti anggota Kompi lainnya diatas jalan tewas tertembak. Dengan disaksikan anggota lainnya yang menempati diatas jalan dan tidak mampu menolong atau mengangkat keatas karena ditekan dengan tembakan senapan mesin yang gencar dari musuh, mayat Endang Suwita digusur tentara Sekutu/ Inggris kemudian digilas tank baja.


Karena pertempuran sengit yang tidak seimbang Kompi Daeng mundur ketempat yang lebih tinggi lagi, selanjutnya setelah convooi berjalan lagi menuju Cimahi, mayat Endang Suwita dinyatakan hilang.



MEMBANTU POLISI UNTUK KEAMANAN DAN KETERTIBAN


Laporan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah Ngamprah diterima Wedana Sabri dilaporkan bahwa gerombolan pengacau keamanan Suma telah bertindak merugikan masyarakat yang sedang membantu menegakan dan mempertahankan kemerdekaan dari gangguan Belanda yang membonceng tentara Sekutu/ Inggris hingga membentuk tentaranya yang dikenal tentara Andjing NICA. Pihak gerombolan Suma di Nagmprah bukan membantu berjuang mengusir perongrong kemerdekaan RI malah merampok harta rakyat dan membunuh rakyat yang tidak mau menyerahkan hartanya.


Wedana Cimahi Sabri meminta bantuan dari Kompi Daeng untuk membantu Polisi Negara Cimahi dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban, karena Polisi Cimahi telah terbagi kekuatannya untuk menumpas gerombolan garong di tiga tempat yang luas wilayahnya, seperti : gerombolan Suma di daerah Ngamprah, gerombolan Bakri didaerah Pasirlangu dan sekitarnya dan gerombolan Suta disekitar Ciledug hingga utara Ngamprah.


Pasukan Kompi Daeng membantu pasukan Polisi yang dipimpin oleh S. Wardoyo menuju Ngamprah, basis gerombolan Suma.


DARI CIMAHI SEBELAH UTARA KE FRONT CIMAHI SELATAN


Akhir Maret 1946 situasi dan kondisi Cimahi sangat genting, lebih kurang sejak pertengahan Maret 1946 pejuang-pejuang di Cimahi sering mendapatkan gempuran mortir dan meriam tentara musuh, sedangkan pihak pejuang lebih sering lagi menyerang penghuni kampemen terutama pada malam hari. Karena kekuatan pasukan pejuang lebih besar berada disebelah utara kampemen daripada arah lain, dapat melakukan penyerangan hingga mendekati kubu musuh di pertigaan ujung jalan Gedung Empat sebelah timur  (Subdenpom) dan ujung Jalan Gedung Empat sebelah barat di Segitiga Pasar Antri.


Bersama pasukan lainnya Kompi Daeng terlibat dalam penyerangan ini, antara lain dengan Detasemen Abdul Majid.


Akhirnya pada jam 04.00 akhir Maret 1946 setelah semalam penuh kampemen Cimahi yang dihuni tentara Sekutu/ Inggris dan Tentara NICA diserang dan dikurung pasukan Pejuang Cimahi. Disekitar Gang Rangsom, Gang Lurah (Gang Kapten Isha), Gang Sobari, Gang Balong, Kebon Kalapa, Kebon Kembang, Kalidam, Baros, Nyontrol, Contong, Jalan Cibeber sekarang, deretan toko-toko di jalan Raya Tagog dibumi hanguskan, terdengarlah dentuman-dentuman mortir dan meriam musuh yang diarahkan ke semua arah Cimahi.


Setelah beberapa jam istirahat menembakannya, sementara itu dengan didahului tank-tank tentara NICA dibantu tentara Sekutu/ Inggris, tentara Jepang juga dipaksa ikut membantu gerakan tentara NICA. Terlihat pula segolongan P.A.T lengkat bersenjata yang anggotanya terdiri daru golongan yang ketika kampemen sering diserang pejuang, malah golongan ini masuk ke kamp, sekarang waktu tentara NICA menyerang pejuang kita mereka (P.A.T) ikut serta. Keluarlah dari sarangnya. Kekuatan persenjataan pasukan pejuang tidak seimbang dengan musuh yang dihadapi, tentara-tentara musuh yang berpengalaman dalam perang di Eropa. Pasukan pejuang kita mengundurkan diri sambil memberikan perlawanan kearah yang telah direncanakan semula. Begitu pula Kompi Daeng pada peristiwa ini tidak mengalami kerugian apapun baik anggota maupun senjata.


Kompi Daeng menuju Padalarang bergabung dengan Kompi lainnya dalam jajaran Detasemen Momon, karena markas Resimen 9 telah lebih dahulu mundur ke Cililin jadilah terputus hubungannya dengan Detasemen Momon.


Sesuai perintah yang diterima seluruh anggota Detasemen Momon dengan naik kereta api dari Padalarang menuju Soreang lewat Cikampek, Cirebon, Kroya, Cicalengka. Tidak mungkin memakai jalan Raya Cililin karena sepanjang jalan itu telah dikuasai musuh. Komandan Detasemen Momon terluka dan dirawat di RS Purwakarta.


Perjuangan dengan Kereta Api hanya sampai Cicalengka, kemudian meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki menuju Soreang lalu ke Cililin selanjutnya ditugaskan di front Bandung Selatan dan Cimahi Selatan sejak daerah Cilampeni Katapang sampai ke Cipatik sepanjang kali Citarum sisi selatan.


BATALYON DAENG


Terbentuknya Batalyon 25 dan menjabat sebagai Komandan Batalyon 25 yang dikenal sebagai Batalyon Daeng.


Lebih kurang bulan Mei 1946 Detasemen 9 Momon telah berkedudukan di Cililin. Resimen 9 melakukan Re-Ra pertama, antara lain Kapten Daeng Muhammad Ardiwinata dan Kapten Hasan Kosasih di mutasikan ke Batalyon V/ Kohar kemudian Kapten Daeng dimutasikan kembali ke Batalyon III/ Surjo.
Susunannya adalah sebagai berikut :
  1. Komandan Batalyon      : Surjo
  2. Kepala Staf                     : ?
  3. Komandan Kompi I         : Momon
  4. Komandan Kompi II        : Sutisna
  5. Komandan Kompi III       : R. Moh. Syafei
  6. Komandan Kompi IV      : Daeng Muhammad Ardiwinata

Komandan Batalyon menderita sakit setelah pertempuran di Cilampeni, jabatan Komandan Batalyon diserahkan kepada Komandan Kompi I Momon. Kemudian jabatan Batalyon diserah terimakan kepada Komandan Kompi IV Kapten Daeng Muhammad Ardiwinata karena Komandan Batalyon Kapten Momon berangkat ke Jogyakarta.


Batalyon III akhirnya mendapat tanda pengenal baru : Batalyon 25, setelah Resimen 8 dan Resimen 9 dilebur menjadi BRIGADE GUNTUR II SILIWANGI.


Setelah dengan liku perjuangannya Kompi Daeng yang dikenal sejak perjuangannya di Cimahi yang terbanyak anggotanya "anak kolong" anu tukang ngolo mamang-mamang na KNIL tukang maok bedil (tukang ngerayu oom-oom KNIL mencuri senapan) tidak lagi terdengar, raib hilang lenyap entah kemana.


Nanti dulu !


Leungit lain leungit saleungit-leungitna, tapi jadi "MAUNG SILIWANGI" nu tangguh. (Hilang bukan karena hilang begitu saja, tapi menjadi MACAN SILIWANGI" yang tangguh"). Muncul menjadi BATALYON DAENG, itu sebutan umumnya ketika itu karena tidak dikenal tanda pengenalnya. Sebutan untuk kesatuan atau pasukan ialah sebutan nama Komandannya.


Secara kebetulan sekali walaupun Kapten Daeng Muhammad Ardiwinata pernah di mutasikan ke Batalyon V/ Kohar akhirnya dimutasikan ke Batalyon III/ Surjo yang terbanyak berasal dari jajaran Detasemen 9/ Momon yang juga mantan Kompi Daeng yang anggotanya dulu ketika Prahara Cimahi bersama-sama mengalami "pait peuheurna" menegakan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bersama mengalami "ti mimiti ngan boga peureup jeung samangat kahayang merdeka wungkul hingga punya bedil yang lumayan". Sekarang bertemu lagi antara bapak dan anak-anaknya, Selamat bertemu lagi Pak. 


"Hayu urang babarengan jeung dulur-dulur Maung Siliwangi sejena, urang tanjeurkeun kamerdekaan, urang usir nu ngarongrong kamerdekaan Indonesia, ku jalan kumaha oge. Pan urang mah geus boga conto, tina ngan boga peureup ayeuna lumayan geus boga bedil. Hayu urang babarengan, dur panjak urang padungdung, lalakon lila keneh".


Begitulah kira-kira getar dalam hati para pejuang kita asal "anak kolong" yang bertemu lagi dengan bapaknya.


Selanjutnya Batalyon 25/ Daeng ditugaskan sebagai Batalyon Cadangan Brigade Guntur II Siliwangi.


Ketika Belanda melakukan apa yang mereka sebut dengan Politioneele Actie sedang pihak Indonesia menyebutnya dengan Perang Kemerdekaan I tanggal 21 Juli 1947 Batalyon Daeng diperintahkan memperkuat garis pertahanan di Cikalong, Kiangroke, Ciluncat, Babakan Cianjur dan Markas Batalyon di Cikuda.


Saat Belanda menyerang front Banjaran yang dipertanggungjawabkan kepada Batalyon 23/ Totong Sahri, tidak dapat menahan serangan musuh karena tidak seimbang persenjataanya. Tentara Belanda terus bergerak tidak melalui pertahanan Batalyon 25/ Daeng tetapi memotong dibelakang pertahanan terus maju dan menduduki COP Brigade Guntur II di Lamajang dan berhasil menawan Kepala Staf Brigade Kapten Daeng Kosasih dan Letnan Entang Rukmana.


Batalyon 25/ Daeng terkepung, sambil mengadakan perlawanan dan melakukan gerakan mundur, diperintahkan mundur ke selatan untuk beralih kepada perang gerilya menuju Pangalengan, Cileunca, Cukul, Cilaki, daerah Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut, Cisewu.


Kemudian ditugaskan digaris pertahanan Arjuna, Sumbadra dan Pakenjeng sebelah timur Bungbulang Kabupaten Garut.


Sesuai perintah Batalyon 25/ Daeng melepaskan daerah yang diduduki dan dipertahankan untuk menyusup ke belakang daerah musuh :
  1. Kompi I dengan beberapa anggota Staf Batalyon menyusup ke daerah Cikalong, Banjaran.
  2. Kompi II dan IV dengan beberapa anggota Staf menyusup ke daerah Maruyung, Ciparay Majalaya.
  3. Kompi III dan Kompi Cadangan ditempatkan di daerah Caringin-Bihbul Kecamatan Cisewu.
  4. COP (Commando Post) Batalyon berkedudukan di Cimanggu-Cisewu.


Sesuai perintah Pemerintah Republik Indonesia Batalyon 25/ Daeng ditarik untuk hijrah ke daerah Republik.




Kantung perjuangan di Ciwidey siap berangkat Hijrah









sumber :

Prahara Cimahi Pelaku dan Peristiwa (Mayor Purn. S.M Arief : 1989)