Awal Pembentukan KNIL
Pejuang kemerdekaan RI angkatan 45 dan pelaku sejarah kariernya dimulai sejak mengikuti pendidikan PETA di Bogor, kemudian bergabung dengan TKR, TRI hingga TNI sampai tahun 1951. Kemudian menjalankan tugas negara sebagai anggota DPR-RI (1955), anggota DPA (1960), Kepala Perkebunan Dwikora II Subang (1965) dan Ketua Yayasan STHB Bandung sampai akhir hayatnya (2000)
Kamis, 04 April 2013
Konspirasi Belanda - Australia (Inggris) di Indonesia
Menyingkap
Sejarah Konspirasi di Indonesia
Pendahuluan
Akhir Februari 2012 yang lalu berbagai media di
Indonesia dan Australia memberitakan, bahwa sejumlah anggota parlemen Australia
mendorong dilaksanakannya referendum di Papua Barat. Langkah ini sangat jelas
bentuk intervensi terhadap masalah internal Indonesia. Dan tentu saja makin
memperkeruh situasi yang sedang memanas lagi di bumi cendrawasih.
Sikap Australia seperti ini bukan yang pertama kali
dilakukan terhadap Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana
Australia juga mendorong dilaksanakannya referendum di Timor Timur. Hasilnya
kita ketahui bersama, yaitu berdirinya Negara Timor Leste sebagai buah
referendum tahun 1999.
Demikian juga kita masih ingat, pemberian Temporary
Protection Visa (TPV), atau Visa perlindungan Sementara oleh
Pemerintah Australia kepada 42 orang warga Papua Barat, telah menimbulkan
reaksi yang sangat kuat dari Indonesia.
Hubungan Indonesia dengan Australia sejak
kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tidaklah pernah benar-benar
baik. Bahkan di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi
militer Belanda 1945 – 1949, semula pemerintah Australia mendukung Belanda.
Akan tetapi serikat buruh Australia ternyata tidak mendukung kebijakan
pemerintahnya. Para buruh pelabuhan menolak untuk memuat logistic yang akan
dikirim untuk kepentingan tentara Belanda di Indonesia.
Setelah menilai bahwa Republik Indonesia tidak
dapat ditaklukkan oleh Belanda dengan kekuatan militer, maka sejak akhir tahun
1947 Australia kemudian berbalik haluan dan bersikap seolah-olah membantu
Indonesia.
Bukanlah
rahasia, bahwa invasi TNI ke Timor Timur tahun 1976 –sehari setelah Presiden AS
Gerald Ford dan penasihatnya, Henry Kissinger meninggalkan Jakarta- adalah atas
persetujuan AS dan Australia, yang mengkhawatirkan Timor Timur yang merdeka
akan masuk ke kubu komunis.
Pada waktu itu, Indonesia sangat bergantung kepada kubu Amerika Serikat dan
IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia, 1967 – 1992). Blok Barat
tidak pernah mempermasalahkan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dan
bahkan memompakan bantuan dana yang besar serta perlengkapan militer, yang
digunakan untuk invasi ke Timor Timur. Dengan pengakuan dari John Perkins (Cofession
of an economic hit man), ternyata semua “bantuan” tersebut merupakan
jebakan untuk membuat Negara-negara berkembang seperti Indonesia, menjadi
sangat tergantung kepada Negara donor.
Setelah runtuhnya imperium Uni-sovyet, maka negara-negara barat melihat tidak
ada lagi kepentingan mempertahankan diktator-diktator boneka mereka yang anti
komunis. Negara-negara barat mulai melancarkan isu pelanggaran HAM untuk
memojokkan para diktator yang selama perang dingin melawan blok komunis, sangat
berguna bagi kepentingan blok kapitalis.
Singkatnya,
pendukung setia Amerika Serikat, Marcos dan Suharto, berhasil digulingkan oleh
rakyatnya. Namun kini, isu pelanggaran HAM masih terus digulirkan, dengan
kepentingan berbeda: Amerika Serikat tetap memerlukan “common enemy”,
musuh bersama untuk konsumsi politik dalam negeri mereka, Australia tidak
menginginkan tetangganya yang kuat, dan Belanda masih menyimpan dendam sejarah
atas “kehilangan“ koloni mereka yang kaya.
Yang hingga kini relatif paling sering melancarkan “serangan” terhadap
Indonesia sehubungan dengan pelanggaran HAM selain Amerika Serikat adalah
Australia, Belanda dan Jerman. Bahkan kini beberapa anggota Parlemen Amerika
Serikat dan beberapa institusi gereja di Jerman telah menyatakan sikapnya
secara terang-terangan dan sangat gamblang, bahwa mereka mendukung pemisahan
Papua dari NKRI.
Pemerintah
AS, Australia dan Belanda selalu bermuka dua, di satu sisi, secara resmi mereka
mengeluarkan pernyataan mendukung integritas RI atas wilayahnya, namun -baik
langsung maupun tidak langsung- ikut mendanai kegiatan-kegiatan yang merongrong
kedaulatan RI, termasuk dalam pembentukan opini negatif yang dilakukan oleh
berbagai LSM dan Institusi di negara-negara tersebut.
Kasus terbaru yang menunjukkan Pemerintah Belanda bermuka dua dalam masalah
kedaulatan wilayah NKRI adalah penugasan dan pendanaan kegiatan Prof. Dr.
Pieter Drooglever, seorang pakar sejarah di Belanda, untuk membongkar kembali
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Papua tahun 1969. Hal ini diungkapkan
secara terus terang oleh mantan Menlu Belanda J. Van Aartsen, karena Menlu yang
sekarang Ben Bot -dalam posisi terjepit- tidak mau mengakui, bahwa penelitian
yang dilakukan oleh Drooglever adalah atas penugasan dan pendanaan Pemerintah
Belanda.
Setelah melakukan penelitian lebih dari 5 tahun (!), termasuk mendatangkan
orang Papua ke Belanda untuk diwawancarai, pada bulan November 2005 Drooglever
meluncurkan buku setebal 740 halaman yang berisi hasil penelitiannya mengenai “Act
of Free Choice.” Dengan satu kalimat Drooglever menyebut bahwa “Hasil
Pepera adalah suatu kecurangan.” PEPERA tersebut telah berlangsung dengan
persetujuan dan di bawah pengawasan PBB, dan kemudian hasilnya juga disahkan
oleh PBB. Buku ini sekarang menjadi referensi bagi orang-orang Papua Barat yang
ingin memisahkan diri dari RI.
Perlu diingat, bahwa dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949,
Irian Barat tidak termasuk dalam Republik Indonesia Serikat, yang memperoleh
“pelimpahan kedaulatan” (soevereiniteitsoverdracht) dari Belanda
pada 27 Desember 1949. Oleh karena itu patut dicurigai, bahwa langkah Belanda
yang menugaskan dan mendanai kegiatan Prof. Drooglever ini, sebagai suatu usaha
untuk memisahkan Papua Barat dari NKRI. Dengan menugaskan dan mendanai kegiatan
ini saja sudah dapat dikatakan sebagai tindakan yang sangat tidak bersahabat.
Juga menjadi pertanyaan besar, mengapa pemerintah Belanda, setelah 31 (!) tahun
membuka kembali masalah PEPERA!
Juga perlu dicatat, bahwa hingga saat ini Pemerintah Belanda tetap tidak mau
mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah
Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “penyerahan
kedaulatan” (soevereniteitsoverdracht) dari Pemerintah Belanda kepada
Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dianggap sebagai kelanjutan
dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indië).
Dan
seperti disebut di atas, Papua tidak termasuk dalam RIS.
Latar belakang sejarah
Tahun
1945, dalam upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia sebagai jajahannya,
Belanda dibantu oleh 3 divisi tentara Inggris dan 2 divisi tentara Australia,
yang –sesuai dengan Civil Affairs Agreement (CAA)antara
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Inggris- “membersihkan” kekuatan bersenjata
Republik Indonesia, untuk kemudian “diserahkan” kepada Netherlands
Indies civil Administration (NICA).
Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke
Pulau Jawa tanggal 1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera
melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer
yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook,
mantan Letnan Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der
Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor,
menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara
Belanda di Indonesia.
Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia
hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang dari Suriname
dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan
Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang
termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL seperti Raden Abdul
Kadir Wijoyoatmojo.
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden
Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South
East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16
November, SEAC berada di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten.
Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera,
dan beberapa pulau kecil di Lautan India.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas India Belanda – Kalimantan, Sulawesi,
Papua, dll.- berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Supreme
Commander South West Pacific Area Command – SWPAC (Panglima Tertinggi
Tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya).
Semula, Belanda mengadakan perjanjian CAA dengan Amerika Serikat, yang
ditandatangani pada 10 Desember 1944 di pulau Tacloban, Filipina (2). Jenderal
MacArthur mewakili Amerika dan van Mook mewakili Belanda.
Pada 15 Agustus 1945 dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India
Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglimaSouth West Pacific
Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral
Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando
Asia Tenggara). Pada hari itu juga, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama
orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap
untuk segera berangkat ke Indonesia.
Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945, tentu sangat mengejutkan Pemerintah Belanda –termasuk van Mook dan
kawan-kawan yang mendengar melalui radio di Australia.
Setelah penyerahan wewenang dari Panglima Tertinggi South West Pacific
Area Command atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta
daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda kepada South
East Asia Command (SEAC) di bawah Lord Mountbatten, Pemerintah Belanda
melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24
Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani
Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya adalah:
“Nota tanggal 24 Agustus 1945
Musyawarah
yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang
perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan
pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Netherlands
Indies (India Belanda) yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima
Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai
persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.
Asas-asas
yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai
hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah
tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi sekutu dan pemerintah Belanda,
serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan
ini semata-mata hanya bersifat sementara tanpa mengganggu kedaulatan Belanda
dalam bentuk apapun juga.”
dto.
Ernest Bevin
(Menteri Luar Negeri Inggris – pen)
Azas-azas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan
sipil di wilayah India Belanda dalam Komando Asia Tenggara.
1. Di
daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan
peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka
Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium
pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima
Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara
Sekutu itu, perwira-perrwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah India Belanda yang telah
dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat.
Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap
kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan
rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari
wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer
menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu
diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan
tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah,
gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh
Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari
komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan
pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum India Belanda.
2. Telah tercapai
kata sepakat, bahwa Pemerintah India Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan
diberi kembali tanggung jawab sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah
India Belanda. Bila menurut pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka
Panglima Tertinggi Sekutu akan segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal
untuk kembali bertanggung jawab atas pemerintahan sipil. Pemerintahan India
Belanda, dinas-dinas administrasi serta peradilan Belanda dan India Belanda
akan dilaksanakan oleh pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum yang
berlaku di India Belanda.
Butir
yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah
“dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil
Administration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri
Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan
pemerintah Belanda.
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa
menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang
sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa.
Dalam
suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk
mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang
Desember 1941. Kesepakatan rahasia keduanya ini dipertegas dan diformalkan
dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Di sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting
adalah butir tiga yaitu “hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri” (Right
for selfdetermination of peoples)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan
Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar
propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib
negara-negara jajahan.
Namun
belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang
berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan
janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas
jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan
“dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah
Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang
dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.
Kolonel KNIL Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo tiba di Jakarta dari Australia,
bersama Mayor KNIL Santoso. Setelah tiba di Jakarta, Wijoyoatmojo segera
mengadakan sejumlah pertemuan yang sangat rahasia dengan teman-temannya dan
mantan perwira-perwira KNIL bawahannya. Mereka membantu Kolonel van der Post,
yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Militer Sekutu untuk Batavia dalam
tugas sehari-harinya.
Pada 1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Mountbatten di
Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan CAA antara
Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan
Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena
sehari setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal
2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5,
dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di
Surabaya. Isi perintah Mountbatten sebagai berikut:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East
Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and
to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In
keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish
civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in
a position to maintain services.
The
main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown
themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.(3)
Intelligence
reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which
affords a deep anchorage and repair facilities.
As
you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are
bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I
wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“...In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will
re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration,
when it is in a position to maintain services...”
dan kalimat berikutnya:
“…the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain
the status quo which existed before the Japanese Invasion...”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Setelah perang di Eropa usai dengan menyerahnya Jerman pada 8 Mei 1945, fokus
kekuatan tempur tentara Sekutu dialihkan ke Perang Pasifik untuk menghadapi Jepang.
Walau pun tanggal 11 Februari 1945 di Yalta telah disepakati ikutsertanya Uni
Sovyet dalam perang melawan Jepang, namun Amerika Serikat berusaha mencegah
terulangnya pemberian konsesi kepada Uni Sovyet seperti di Eropa, di mana
mereka praktis membagi Eropa dan Jerman menjadi dua bagian, yaitu Eropa Barat
dan Berlin Barat di bawah pengaruh kapitalisme Barat dan Eropa Timur serta
Berlin Timur, di bawah pengaruh komunis Uni Sovyet. Pasukan Uni Sovyet telah
memasuki Korea bagian utara dan bersiap-siap untuk memulai menyerang Jepang
dari arah utara.
Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di
Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa
MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan
komando atas wilayah India Belanda kepada Komando Asia Tenggara di bawah Vice
Admiral Lord Louis Mountbatten. Maka pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang
atas Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada
Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda
apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara
Inggris.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten
menulis:
“...Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the
South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no
hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of
course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and
that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had
suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no
information had been made available to me as to the fate of this movement under
the Japanese occupation.
Dr.
H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st
September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java
would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese...”
Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer
Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer.
Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim
salah satu stafnya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira
administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur. Untuk dapat memimpin
satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah
suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan pasukan
tempur.
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa
informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan
menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia,
namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49
di Surabaya bulan Oktober 1945, yang mengalami kehancuran total dalam
pertempuran dahsyat di Surabaya pada 28-29 Oktober 1945, dan juga kemudian
mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, perwira tinggi Inggris
pertama yang tewas dalam perang.
Secara resmi, sebenarnya tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied
Forces kepada Mountbatten adalah:
1. Melucuti
tentara Jepang serta mengatur pemulangan kembali ke negaranya (The
disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. Membebaskan
para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara
(RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees),
termasuk di Indonesia, serta
3. Menciptakan
keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun
di kemudian hari, ternyata ada hidden agenda (agenda rahasia) yang dilakukan
oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan
Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda, sebagaimana tertera secara gamblang
dalam surat perintah Mountbatten tertanggal 2 September 1945 kepada
komandan-komandan Divisi, sehari setelah kunjungan van Mook di markas Besar
Tentara Sekutu di Kandy, Sri Lanka.
Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan
konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi
kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941. Juga belum
diketahui adanya perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers
pada 24 Agustus 1945, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda.
Selain
itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip
Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta, bahwa Tentara Sekutu
hanya akan menjalankan tugas-tugas kemiliteran, telah membesarkan hati pimpinan
Republik Indonesia. Mungkin pada waktu itu pernyataan tersebut tulus
disampaikannya, namun dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin
Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh siasat Inggris dan Belanda.
Jalan sejarah mungkin akan menjadi lain, apabila waktu itu telah diketahui isi
surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan
Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda
di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui
pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari
garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak
tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI.
Paling
sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak
September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga
divisi Inggris -British-Indian Divisions- dengan persenjataan lengkap dan
moderen telah mendarat di Jawa dan Sumatera, dan dua Divisi Australia dapat
sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dari mulai
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan seterusnya ke timur.
Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda
Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah
dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih
terdapat lebih dari 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan
dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing.
Semula,
Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan
tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, Inggris hanya dapat menyiapkan 3
Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India
Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh
pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut,
seperti yang terjadi di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces
in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia
Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir
Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip
Christison, Panglima Tentara ke 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan
Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945.
Pasukan
yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah
Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor
Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan
Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
“Jasa” Australia kepada Belanda tahun 1945/1946
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi
Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morsehead, yang karena kekejamannya
mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun). Kedua Divisi
Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan
dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Ketika Perang Dunia II pecah, Morsehead ditugaskan di Afrika sebagai komandan
Brigade AIF 18, dan pada tahun 1941, dia menjadi Panglima Divisi 9. Tahun 1944
Morsehead diangkat menjadi Panglima Tentara Australia 1 (1st Australian
Corps), yang membawahi Papua sampai Kalimantan.
Jenderal MacArthur menugaskan Morsehead untuk menyerbu pertahanan Jepang di
Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh Indonesia kembali
sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam pertemuan di
pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi Oboe 1,
penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade 26 pada 1
Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya jatuh ke
tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang di seluruh
Pulau Tarakan berakhir.
Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia mendarat di Balikpapan. Pendaratan
ini merupakan pendaratan pasukan amphibi terbesar dan terakhir yang dilakukan
oleh tentara Australia pada Perang Dunia II. Sasaran utamanya adalah menguasai
ladang-ladang minyak yang sangat dibutuhkan untuk keperluan perang tentara
Sekutu.
Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan penghentian tembak-menembak
secara sepihak. Namun dokumen menyerah tanpa syarat Jepang kepada Sekutu baru
ditandatangani tanggal 2 September 1945 di atas kapal Missouri di Tokyo
Bay. Jadi antara tanggal 15 agustus 1945 sampai 2 September 1945,di seluruh
wilayah bekas pendudukan Jepang terdapat vacuum of power (kekosongan
kewenangan). Di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia
pada 17 agustus 1945 menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan pada 18
Agustus, Ir. Sukarno dan Drs. M. Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Sukarno-Hatta kemudian membentuk Kabinet Pemerintah
RI pertama.
Dengan demikian tiga syarat pembentukan suatu negara sesuai dengan Konvensi
Montevideo, telah terpenuhi, yaitu:
1. adanya wilayah,
2. adanya penduduk,
3. adanya pemerintahan
Pembentukan negara Republik Indonesia ini juga sejalan dengan butir tiga
dari Atlantic Charter (Piagam Atlantik), yang dicetuskan oleh
Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris winston
Churchill, pada 14 Agustus 1941, yaitu: “Right for self determination of
peoples" (hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri).
Pernyataan kemerdekaan ini bukan merupakan pemberontakan terhadap Pemerintah
Belanda atau India Belanda, karena pada 2 Maret 1942, Pemerintah India Belanda
telah menyerah kepada Jepang, dan pada 2 Maret 1942 di kalijati, Letnan Jenderal
ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di India Belanda, mewakili
Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Stachenborg-Stachouwer, telah
menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dan menyerahkan
seluruh wilayah India Belanda kepada Jepang. Juga bukan pemberontakan terhadap
Jepang, karena Je[pang telah menyatakan menyerah kepada Sekutu pada 15 agustus
1945.
Belanda yang “merasa” masih memiliki Indonesia sebagai jajahan, berusaha untuk
berkuasa kembali di Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya. Dalam
upaya untuk kembali menjadi penguasa di Indonesia, Belanda melobi –dan
berhasil- Pemerintah Inggris, yang kemudian menghasilkan Civil Affairs
Agreement (CAA). Pemerintah Inggris memerintahkan militernya untuk
melaksanakan perjanjian tersebut dan “menyelipkan hidden agenda (agenda
rahasia)” ini dalam tugas Allied Forces (Tentara Sekutu).
Untuk pelaksanaan hidden agenda tersebut, 3 divisi tentara Inggris dibantu oleh
2 divisi tentara Australia di bawah pimpinan Letnan Jenderal Leslie “Ming
the merciless” Morshead.
Pimpinan militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang
telah ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa. Tanggal 8
September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir dengan parasut di
bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Pada hari itu, Kapten
Nakamura memberikan informasi kepada Letnan Kolonel van der Post, bahwa 4 orang
parasutis telah mendarat di bandar udara Kemayoran dan langsung dibawa ke Hotel
des Indes.
Selain
Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll
van Seroskerken, dua orang prajurit Inggris dan tiga orang prajurit Belanda.
Mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan baru yang canggih untuk
berkomunikasi dengan dunia luar. Peralatan tersebut segera dipasang di markas
Letkol van der Post. Pada petang hari itu juga telah terjalin kontak langsung
dengan Markas Besar Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara di Kandy, Sri Langka.
Mayor Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken
mewakili suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya
adalah The Combined Services Organization for the Relief of all
Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara,
organisasi ini kemudian dikenal sebagai Recovery of Allied Prisoners of
War and Internees - RAPWI.
Tanggal 15 September 1945, Rear Admiral Sir Wilfred R. Patterson dengan kapal
perang H.M.S. Cumberland berlabuh di Jakarta. Petinggi Belanda yang ikut
bersama Patterson di kapal tersebut adalah van der Plas, mantan Gubernur Jawa
Timur sewaktu pemerintahan India Belanda, yang kini mewakili NICA dan sejumlah
orang Belanda, yang merupakan pejabat tinggiCivil Affairs. Letkol van
der Post, Mayor Greenhalgh dan Letnan van Tuyll segera ke pelabuhan untuk
menemui mereka di atas kapal.
Yang pertama dilakukan oleh van der Post adalah menyampaikan laporan yang telah
disiapkannya –terutama mengenai perkembangan di Indonesia sejak Jepang menyerah
pada 15 Agustus 1945- kepada Admiral Patterson, dengan diiringi permohonan agar
laporan tertulis tersebut dibaca, sebelum dia (van der Post) memberikan laporan
(lisan) dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Patterson terlihat sangat terkejut
membaca laporan tertulis dari van der Post tersebut, sedangkan orang-orang
Belanda tidak percaya dengan hal-hal yang disampaikan oleh van der Post.
Mengenai hal ini, dalam laporannya kemudian hari, van der Post menulis:
“ ...My intelligence report astonished even the Admiral, but the Dutch
contingent of high ranking civil affairs officers and representatives of other
services were filled with disbelief. I in my turn was astonished that their
ignorance of what had happening in Java, not just since their capitulation but
over the past three weeks, was even greater than I in my most extreme anxieties
had presupposed from listening to their radios…
… for the moment Mr. van der Plas suppressed his eagerness to go ashore and
hoist the Dutch flag over the government buildings in Batavia…”
Memang tidak bisa diharapkan, bahwa orang-orang Belanda itu bangun dari mimpi
panjang selama tiga setengah tahun, dan “Tuan Besar” van der Plas merasa sangat
wajar untuk mengibarkan kembali bendera si tiga warna, dan sudah barang tentu
dia ingin memangku jabatannya kembali sebagai Gubernur Jawa Timur. Rencana
pengibaran bendera itu tentu saja ditentang oleh van der Post. Admiral
Patterson kemudian mengangkat Letnan Kolonel Laurens van der Post menjadi
Gubernur Militer AFNEI untuk Batavia (Jakarta).
Pada
hari-hari berikutnya, dengan pesawat terbang dari Singapura, datang sejumlah
perwira Belanda di bawah pimpinan Kolonel Ir. D.L. Asjes, yang akan
diperbantukan ke pusat RAPWI.
Pada 18 September 1945, beberapa staf RAPWI diterjunkan dengan payung di
Gunungsari, Surabaya. Mereka ditugaskan untuk berhubungan dengan para
interniran Belanda dan Sekutu. Oleh Jepang, tim RAPWI ditempatkan di
Hotel Yamato (Oranje), di Tunjungan, tanpa persetujuan
pimpinan Republik Indonesia.
Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders (Batalyon Seaforth
Highlanders termasuk resimen yang lebih dari 200 tahun lalu, telah
mengharumkan namanya dalam operasi melawan Perancis dan Perancis- Belanda di
Jawa di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles) dari Divisi 23 tentara
Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 43 (!) hari setelah
pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia.
Berangsur-angsur
Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan
Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris
di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom
Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15 British Army Corps, memulai
karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang
oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI
(Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.
Setelah
memperoleh informasi dari perwira-perwira Inggris yang berada di Jakarta, Lord
Mountbatten mengemukakan kebijakan baru yang akan dilakukannya di Indonesia,
yaitu:
“Gagasan kami satu-satunya adalah membuat Belanda dan Indonesia saling
berciuman dan kemudian mengundurkan diri.”
Kebijakan ini jelas sangat berbeda dengan surat perintah yang telah
dikeluarkannya pada 2 September 1945, sehari setelah kedatangan van Mook dan
van der Plas di Markas Besarnya di Kandy, Sri Lanka. Nampaknya sejalan dengan
kebijakan baru dari Mountbatten tersebut, sebelum berangkat ke Jakarta, di
Singapura Letnan Jenderal Christison membuat pernyataan di muka pers yang
kemudian menjadi sangat kontroversial. Anderson mencatat:
"...Christison mengatakan, bahwa Inggris mempunyai tiga tujuan di
Indonesia:
- untuk melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang Sekutu dan
tawanan-tawanan lainnya;
- melucuti dan mengembalikan Jepang, dan
- memelihara hukum dan ketertiban.
Angkatan Darat Jepang ke 16 akan bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri
di daerah-daerah yang tidak diduduki Sekutu, sampai
“pengaturan-pengaturan tercapai bagi pejabat-pejabat setempat untuk
mengambilalihnya. Kemudian Jepang akan dilucuti …
…Inggris tidak mempunyai maksud untuk mencampuri urusan-urusan dalam negeri,
melainkan hanya untuk menjamin hukum dan ketertiban.”
Christison juga meminta kepada pemimpin-pemimpin Indonesia supaya memperlakukan
dia dan pasukannya sebagai tamu-tamu. Selanjutnya dia juga mengatakan: “Pasukan
Inggris tidak akan bergerak di luar daerah-daerah pendudukan yang telah
ditetapkan, yaitu Batavia (Jakarta), Surabaya, Medan dan Padang, untuk maksud
apapun…"
Tentu pernyataan ini –yang membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia-
menggoncangkan para petinggi Belanda, baik yang di Belanda, maupun yang telah
berada di Indonesia karena mereka menilai, dengan pernyataan Christison
tersebut, Inggris bermaksud tidak akan memenuhi perjanjian Chequers dan hasil
keputusan Konferensi Yalta serta Deklarasi Potsdam, mengenai pengembalian
situasi kepada status quo di Asia, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1942.
Reaksi keras dari Pemerintah Belanda membuat Pemerintah Inggris mengeluarkan
pernyataan, bahwa Inggris tidak bermaksud untuk keluar dari perjanjian –Civil
Affairs Agreement- yang telah ditandatangani di Chequers tanggal 24 Agustus
1945.
Atas desakan pihak Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta
kepulauan lain di bagian timur Indonesia -kecuali Bali dan Lombok- kepada
tentara Australia (Meelhuijsen, 2000, hlm. 31).
Mengenai sepak-terjang tentara Australia dalam membantu Belanda “membersihkan”
wilayah timur Indonesia, Anthony Reid mencatat (5):
“...Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya
yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan
Jenderal MacArthur.
Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan,
Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka
mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan
markas besar mereka di Morotai.
Dengan
demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris.
Pendaratan tentara Australia,
di
Kupang tanggal 11 September 1945
di
Banjarmasin tanggal 17 September
di Makasar tanggal 21 September
di
Ambon tanggal 22 September
di
Manado tanggal 2 Oktober
di
Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan
Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil
Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu
gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka
relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula
guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda...”
Setelah tentara Australia menguasai Bali, maka pada 2 Maret 1946, Belanda
mendaratkan sekitar 2.000 tentara di Bali.
Perlawanan hebat mereka hadapi terus di Sulawesi Selatan. Belanda masuk kembali
ke Sulawesi Selatan dengan membonceng tentara Australia pada pertengahan bulan
September 1945. Pada bulan Oktober 1945 Belanda dapat membentuk kembali KNIL
yang terdiri dari beberapa ratus orang tentara.
Sementara itu, pada bulan Juni/Juli 1946, timbul konflik internal Republik
Indonesia, dan Belanda memanfaatkan situasi ini dengan memperkuat posisi mereka
di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang telah “dibersihkan” oleh
tentara Australia.
Pada 3 Juli 1946, terjadi peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3
Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi Indonesia ditangkap dan dimasukkan ke
penjara. Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda memanfaatkan kemelut
internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik.
Di tengah-tengah kemelut internal Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 secara
resmi pimpinan tentara Australia “menyerahkan” wewenang pemerintahan atas
Kalimantan, Sulawesi serta daerah-daerah lain di luar Jawa dan Sumatera kepada
NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Belanda tidak berlama-lama menunggu, dan pada 16 – 25 Juli 1946, van Mook
menggelar “Konferensi Malino”, satu kota kecil di sebelah utara Makassar, yang
dihadiri oleh 39 orang “wakil-wakil” dari Indonesia Timur Indonesia pilihan
mereka. Dengan demikian Belanda dapat lebih leluasa menyusun strategi untuk
membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera.
Setelah menerima “pelimpahan” kekuasaan pemerintahan dari tentara Australia,
tentara Belanda mengadakan pembersihan terhadap pendukung Republik. Raja-Raja
atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan.
Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi
Gubernur Sulawesi pertama, ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Papua Barat
dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Para pendukung Republik, seperti Datu
Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang, bahkan Datu Suppa dibunuh.
Para pemuda pendukung Republik membentuk berbagai laskar dan pasukan. Salah
seorang pemuda Sulawesi, Robert Wolter Mongisidi, kelahiran Mamalayang, Manado
14 Februari 1925, bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan
(LAPRIS) dan pada 27 Oktober 1945 memimpin serangan terhadap pos tentara
Belanda di Makassar.
Sejak
itu Mongisidi terus mengadakan perlawanan, hingga tertangkapnya pada 28
Februari 1947, dan –di tengah-tengah perundingan Konferensi Meja Bunda di Den
Haag, Belanda- dieksekusi pada bulan September 1949.
Belanda terus memperkuat tentaranya di Indonesia hingga mencapai sekitar 80.000
orang, dengan persenjataan yang jauh lebih hebat dan moderen, dibandingkan
dengan yang dimiliki oleh tentara Indonesia, sehingga ketika Inggris menarik
seluruh tentaranya dari Jawa dan Sumatera pada 30 November 1946, tentara
Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda dengan kekuatan yang
sama. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta, Deklarasi
Potsdam dan perjanjian Chequers.
Demikian
“jasa” Australia dan Inggris dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah
tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang
terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum
mampu untuk bertempur.
Politik Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1947, setelah
terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai
jajahan. Australia memperhitungkan,
bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian
ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat,
Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik.
Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia
sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak mungkin dapat menguasai
seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tidak akan terjadi pembantaian ratusan
rakyat Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Westerling bersama anak buahnya
di Sulawesi Selatan antara 11 Desember 1946 – Februari 1947, dan di
tepat-tempat lain di Indonesia. Tidak akan terjadi peristiwa pembantaian di
desa Rawagede, Kranggan, Gerbong Maut Bondowoso, Jembatan Ratapan Ibu di
Payakumbuh, Sumatera Barat, dll.
Apabila berpegang pada hukum kausalitas, yaitu
hukum sebab-dan-akibat (bahasa Jerman: Ursache und Wirkung), maka yang harus
ikut bertanggungjawab atas terjadinya pembantaian terhadap ratusan ribu rakyat
Indonesia antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, adalah Inggris dan Australia!
sumber :
MONDAY, APRIL 10, 2006
Menyingkap
Sejarah Konspirasi Australia/Inggris – Belanda di Indonesia
Oleh Batara R. Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
------------------------------
Catatan kaki:
1. NEFIS didirikan pada bulan April 1943 di Australia. Pada 1944 dikembangkan
menjadi satu Direktorat dengan enam Seksi dan lima Dinas di mana bertugas
sekitar 200 orang militer KNIL Simon H. Spoor pada Februari 1945 naik pangkat
menjadi Kolonel. NEFIS mulai beroperasi di Batavia/Jakarta sejak bulan Oktober
1945.
2. Ini menurut Willy Meelhuijsen, namun menurut Laurens van der Post CAA antara
Belanda dengan Amerika Serikat ditandatangani di Brisbane, Australia.
3. Pertempuran di El Alamein, Afrika Utara pada Juni–Juli 1942 dan kemudian 23
Oktober – 6 November 1942 di mana akhirnya tentara Inggris di bawah Jenderal
Bernard Law Montgommery berhasil memukul mundur pasukan Jerman di bawah
pimpinan perwira legendaris Marsekal Erwin Rommel ke Libya..
4. J.G.A. Parrot, Who Killed Brigadier Mallaby? Dalam majalah
“Indonesia”, Cornell University, USA, Juli 1976, hlm. 91.
5. Anthony J.S. Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996, hlm. 76 – 77.
Revisi 8 April 2012
====================================
Sebagian dari tulisan ini merupakan cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung:
1. “10 November 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”, 482 halaman, penerbit
Millenium Publisher, Oktober 2001.
2. "Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidospok Sejarah Perjuangan
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. 742 halaman, penerbit LKiS, Yogyakarta
Febrtuari 2010.
Langganan:
Postingan (Atom)