Kamis, 04 April 2013

Kiprah KNIL di Indonesia

Awal Pembentukan KNIL


Ketika berlangsung Perang Diponegoro, pada tahun 1826-1827 pemerintah Hindia Belanda membentuk satu pasukan khusus. Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat predikat "Koninklijk".

Namun dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak pernah digunakan selama sekitar satu abad, dan baru tahun 1933, ketika Hendrik Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri, secara resmi tentara di India-Belanda dinamakan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, disingkat KNIL.

Undang-Undang Belanda tidak mengizinkan para wajib militer untuk ditempatkan di wilayah jajahan, sehingga tentara di Hindia Belanda hanya terdiri dari prajurit bayaran atau sewaan. Kebanyakan mereka berasal dari Perancis, Jerman, Belgia dan Swiss. Tidak sedikit dari mereka yang adalah desertir dari pasukan-pasukannya untuk menghindari hukuman.

Namun juga tentara Belanda yang melanggar peraturan di Belanda diberikan pilihan, menjalani hukuman penjara atau bertugas di Hindia Belanda. Mereka mendapat gaji bulanan yang besar. Tahun 1870 misalnya, seorang serdadu menerima f 300,-, atau setara dengan penghasilan seorang buruh selama satu tahun.

Dari catatan tahun 1830, terlihat perbandingan jumlah perwira, bintara serta prajurit antara bangsa Eropa dan pribumi dalam dinas ketentaraan Belanda. Di tingkat perwira, jumlah pribumi hanya sekitar 5% dari seluruh perwira; sedangkan di tingkat bintara dan prajurit, jumlah orang pribumi lebih banyak daripada jumlah bintara dan prajurit orang Eropa, yaitu sekitar 60%.

Kekuatan tentara Belanda tahun 1830, setelah selesai Perang Diponegoro adalah 603 perwira bangsa Eropa, 37 perwira pribumi, 5.699 bintara dan prajurit bangsa Eropa, 7.206 bintara dan prajurit pribumi

Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.

Apabila meneliti jumlah perwira, bintara serta prajurit yang murni orang Belanda terlihat, bahwa sebenarnya jumlah mereka sangat kecil. Pribumi yang mencapai pangkat tertinggi di KNIL adalah Kolonel KNIL Abdoelkadir Widjojoatmodjo, yang tahun 1947 memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville, yang membuahkan Persetujuan Renville. Seorang Indonesia, Sultan Hamid II dari Pontianak, yang dididik oleh dua wanita Inggris, mencapai pangkat Mayor Jenderal dalam posisi Asisten Politik Ratu Juliana.

Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) serta diakui kedaulatannya oleh Belanda pada 27 Desember 1949, maka berdasarkan keputusan kerajaan Hindia Belanda tanggal 20 Juli 1950, mulai 26 Juli 1950 pukul 00.00, KNIL dinyatakan dibubarkan.


Surat pembubaran KNIL oleh Ratu Juliana


Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000 yang ingin masuk ke “Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat” (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Menjelang 26 Juli 1950, sekitar 26.000 prajurit KNIL digabungkan ke dalam angkatan bersenjata RIS, 18.750 dimobilisasi ke Indonesia dan 3.250 diberangkatkan ke Negeri Belanda.

Koninklijke Nederlandsch Indische Leger

KNIL adalah singkatan dari bahasa Belanda; Het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger. Meskipun KNIL melayani pemerintahan Hindia-Belanda, banyak di antara anggotanya adalah bumiputra di Hindia-Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, bukan orang-orang Belanda.

Sekumpulan pembela ratu Singa itu harus terima kenyataan pahit. Mereka harus dikalahkan oleh Diplomasi yang berpihak pada Indonesia. Padahal, mereka baru saja sukses mendesak kekuatan militer Indonesia pada 19 Desember 1948. Dimana Militer Indonesia hanya bisa bergerilya. Para pembela ratu Singa itu nyaris sukses dengan semakin luasnya wilayah pendudukan Belanda.

Di antara tokoh Indonesia yang pernah menjadi anggota KNIL saat menjelang kemerdekaan adalah :

1. Mangkunegara VII
2. Sultan Hamid II
3. Oerip Soemohardjo
4. A.E. Kawilarang
5. Abdul Haris Nasution
6. Gatot Soebroto
7. T.B. Simatupang
8. Muhammad Suharto

Koninklijke Nederlandsch Indische Leger atau disingkat KNIL adalah tentara Kerajaan Hindia Belanda yang anggotanya hampir 75% adalah pribumi Indonesia. Lebih dari 100 tahun mereka menegakan kekuasaan Hindia Belanda di nusantara. Dimana banyak pemberontakan suci kaum pribumi yang ingin bebas dari kekuasan asing ditindas. Itulah tugas tentara KNIL, ada pendapat yang menyebutkan KNIL itu hanyalah serdadu bayaran dari VOC walau sebenarnya KNIL adalah tentara regular.

Meski sempat vakum di Indonesia, semasa pendudukan Jepang, KNIL dibangun lagi dengan persenjataan lebih canggih dan kostum yang berbeda dibanding sebelum Jepang datang. KNIL dengan format pasukan baru yang terdiri dari orang rekrutan dari kamp tahanan Jepang dan lainnya, KNIL tampil lagi sebagai pembela Ratu Singa. Tugas mereka bukan melawan pemberontak, melainkan Negara baru.

Dengan dukungan lebih dari 3 divisi KL dari Negeri Belanda, yang sebagian ogah-ogahan bertempur lawan TNI, KNIL begitu bersemangat menghabisi kekuatan bersenjata Indonesia. KNIL jauh lebih bersemangat dan lebih bisa diandalkan daripada KL dari Belanda.

Mulai Gelisah

KNIL pun tampil sebagai musuh tentara dan orang Indonesia. Dimana banyak militer Indonesia dulunya juga mantan KNIL sebelum revolusi. KNIL asli Indonesia tampak lebih beringas daripada KL—yang Belanda asli. Hingga mereka kerap disebut Belanda Item. Selama beberapa tahun revolusi, KNIL cukup sukses bertempur.

Hingga datanglah KMB yang begitu menguntungkan Indonesia sebenarnya. Jadilah KNIL sebagai orang kalah secara politis. Ternyata kemenangan militer Belanda tidak diikuti kemenangan politis dalam diplomasi. Serdadu-serdadu KNIL lalu gelisah. Sebuah poin KMB adalah bahwa KNIL akan dimasukan dalam TNI. Padahal TNI adalah musuh KNIL selama hampir lima tahu revolusi Indonesia.

Parahnya lagi gaji mereka di TNI nantinya jauh lebih rendah daripada semasa mereka di KNIL. Di TNI mereka hanya terima upah f. 4 seminggu. Sementara di KNIL mereka bisa terima f. 140 sebulan. Sebuah kondisi yang makin pahit. Kalah secara politis dan terancam miskin. Belum lagi mereka akan bertemu orang-orang bekas musuh mereka yang sudah dipastikan akan memusuhi mereka di barak.

Para serdadu KNIL pun mulai gelisah. Masalah gaji dan kawan yang dulunya musuh yang masih sulit menerima kehadiran meraka. Kebiasaan buruk mereka pada minuman keras, dan sikap temperamental serdadu KNIL, yang tidak bisa diragukan lagi, tentu semakin tidak terkontrol atas kondisi buruk politik Indonesia. Mereka cenderung indisipliner.

Pasca penandatangan KMB, 27 Desember 1949, pikiran mereka terganggu. Hingga dengan mudah diajak oleh jaringan Westerling untuk bertindak rusuh. Tidak heran jika sebagian KNIL kemudian terlibat dalam aksi Angkatan Perang Ratu Adil binaan Westerling—yang tidak menjadi kapten KNIL yang pimpin pasukan khusus Belanda. Aksi APRA itu cukup kesohor di Bandung dan Jakarta.

Kekecewaan KNIL di Makassar pun tidak terbendung lagi. Sepasukan TNI yang terdiri dari satu batalyon pimpinan mayor Hein Worang dikirim ke Makassar. Pemerintah RI begitu bernafsu dan gegabah mengirimkan pasukan Worang. KNIL di Makassar itu menolak kedatangan pasukan pemerintah karena merekalah yang berwenang menjaga kota Makassar.

Peristiwa Andi Azis tentu tidak akan terjadi jika pasukan TNI tidak dikirim kesana. Pemerintah harusnya bersbar dan menunda pasukan Worang mendarat. Karenanya, bentrokan KNIL dan TNI disana tidak bisa dihindari.

Eks KNIL dijauhi

Agenda pembubaran KNIL 26 Juli 1950, tentu membuat banyak KNIL frustasi. Meski mereka diberi pilihan untuk masuk TNI atau masuk KL dan ikut ke Negeri Belanda. Selama masa penantian itu mereka biasa berbuat rusuh. Mereka begitu tempramentalnya dengan membuat keributan. Mereka tampak belum puas bertempur melawan tentara Indonesia.

Sebelum KNIL dinyatakan bubar pada 26 Juli 1950, beberapa kerusuhan antara KNIL dan TNI kerap terjadi. Seperti di Bandung, Jakarta, Bogor, Makassar dan Malang. Di Jakarta, Bandung dan Bogor masih terkait dengan peristiwa Westerling.

Saya menemukan nama Letnan Spier, mungkin Emile Spier kata Fredrick Willem kawan saya di Nijmegen, dalam arsif seputar Peristiwa Westerling yang saya temukan di Gedung Arsip Nasional Jakarta. Spier berasal dari KL. Dirinya memiliki beberapa pengikut yang terlibat dalam peristiwa Westerling. Dimana pengikut APRA Cibarusa dipersenjatai olehnya.

Pengikut Westerling yang lain adalah Adjudant Tanasale. Dia KNIL Ambon yang hnya berpangkat Spaandrig (serdadu kelas I) sebelum revolusi Indonesia. Dia anggota Batalyon X di Senen, Jakarta—yang kerkenal ganas dan kejam pada pemuda Pro Republik Indonesia yang mereka temui.

Tanasale konon telah membunuh beberapa orang Indonesia militan hingga pangkatnya dinaikan menjadi adjudant (setara pembantu letnan) di KNIL dimasa revolusi. Ada kabar yang menyebutkan bahwa Tanasale telah masuk TNI dengan pangkat Kapten.

Di Makassar adalah peristiwa Andi Azis. Dimana Kapten Andi Azis yang sudah masuk TNI harus terkena getah dari serdadu gelisah. Pengaruhnya atas pasukan KNIL di Makassar membuatnya terseret dalam masalah yang biangnya adalah pemerintah RI di Jawa yang memaksakan diri untuk mengirim pasukan TNI ke Makassar.

Dan di Malang tidak banyak diketahui. Setidaknya saya belum menemukan buku yang menyebut kerusuhan KNIL di Malang. Dimana sekelompok serdadu KNIL, dari suku Ambon, membuat keributan di Alun-alun Malang. Mereka beselisih dengan orang-orang China. Semula terjadi cek-cok di Bioskop REX Malang. Yang kemudian berlanjut dengan baku tembak di dekat restoran China dekat Alun-alun.

Begitu kata arsif yang saya temukan di arsip nasional Jakarta. Rupanya, banyak juga anggota KNIL dan KL di bioskop. Namun mereka memilih tidak ikut dalam keributan. Karena mereka mengakui kekalahan meraka dalam revolusi Indonesia. Mereka merasa Indonesia adalah negara merdeka. Sebagai militer mereka hanya mennggu nasib, ikut pulang bersama tentara KL ke Belanda atau masuk TNI.

Diantara serdadu gelisah itu. Banyak juga yang memilih tidak bersikap temperamental. Gelisah adalah hal yang biasa dialami di masa perang. Mereka gelisah soal masa depan mereka pasca perang. Inilah yang dialami banyak serdadu KNIL. Hilangnya pekerjaan. Hilangnya kehidupan yang sebelumnya nyaman. Mungkin masih banyak ketakutan akan kehilangan lagi.

Serdadu bawahan KNIL yang hidupannya keras, apalagi pasca revolusi Indonesia yang membuat mereka harus kalah, membuat mereka menjadi orang yang nampak berbahaya bagi banyak orang Indonesia. Mereka kerap dijauhi. Seperti dialami Geritz Kakisima, seorang mantan KNIL dan NEFIS yang masuk TNI. Letnan itu sangat dijauhi meski keahlian militer yang diperlukan TNI.

Dimasa lalu, jaman revolusi, mereka dicap sebagai pengkhianat dan musuh. Tidak heran jika kemudian mereka membuat iri para bekas pejuang yang tidak bisa diterima dalam TNI.

Begitulah nasib KNIL yang harus tumbang oleh revolusi Indonesia. Dan serdadu-serdadunya yang gelisah pun ikut tertelan sejarah di kemudian hari. Mereka hanya bisa timbulkan keributan-keributan menjelang mereka dibubarkan.

120 tahun bukan waktu singkat bagi KNIL berkiprah di Indonesia. Suka tidak suka KNIL juga punya kontribusi pada TNI meski sering dinafikan kaum nasionalis anti Belanda. Sementara itu, dari KNIL, petinggi TNI hanya bisa mengambil sisi buruk saja. Seperti hanya bersiap menindas bangsa sendiri daripada bertahan dari serangan luar. Sementara sisi professional KNIL tidak pernah bisa ditiru dengan baik kecuali jadi jargon.








sumber :

Petrik Matanasi
Istori Van Nusantara
Lazuardi Birru. org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar