Setelah kegagalan "kudeta" yang juga sangat memalukan itu, pemerintah
Belanda memutuskan untuk secepat mungkin mengevakuasi pasukan RST. Pada sidang
kabinet tanggal 6 Februari dipertimbangkan, untuk memindahkan pasukan RST ke
Papua Barat, karena membawa mereka ke Belanda akan menimbulkan sejumlah masalah
lagi. Pada 15 Februari 1950 Menteri Götzen memberi persetujuannya kepada
Hirschfeld untuk mengirim pasukan RST yang setia kepada Belanda ke Belanda, dan
pada hari itu juga gelombang pertama yang terdiri dari 240 anggota RSTdibawa ke
kapal Sibajak di pelabuhan Tanjung Priok. Komandan RST Letkol Borghouts terbang
ke Belanda untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
|
Rakyat yang dikumpulkan oleh tentara Westerling |
Disediakan tempat penampungan di kamp Prinsenbosch dekat Chaam, 15 km di
sebelah tenggara kota Breda. Pada 17 Maret 1950 gelombang pertama pasukan RST
tiba di tempat penampungan, dengan pemberitaan besar di media massa. Pada 27
Maret dan 23 Mei 1950 tiba dua rombongan pasukan RST berikutnya. Keseluruhan
pasukan RST bersama keluarga mereka yang ditampung di Prinsenbosch sekitar 600
orang. Sekitar 400 orang telah didemobilisasi di Jakarta, dan di Batujajar
sekitar 200 orang pasukan RST, sedangkan 124 orang pasukan RST yang terlibat
dalam aksi Westerling, ditahan di pulau Onrust menunggu sidang pengadilan
militer.
Jumlah tentara Belanda yang ditahan untuk disidangkan jelas sangat kecil,
dibandingkan dengan yang tercatat telah ikut dalam aksi kudeta Westerling,
yaitu lebih dari 300 orang.
Demikianlah akhir yang memalukan bagi pasukan elit Reciment Speciaale
Troepen (RST) yang merupakan gabungan baret merah (1e para
compagnie) dan baret hijau (Korps Speciaale Troepen) yang pernah menjadi kebanggaan
Belanda, karena "berjasa" menduduki Ibukota Republik Indonesia,
Yogyakarta.
Namun bagi Westerling dan anak buahnya yang tertangkap, ceriteranya belum
berhenti di sini. Westerling sendiri masih membuat pusing pimpinan Belanda,
baik sipil mau pun militer di Jakarta. Dia merencanakan untuk lari ke
Singapura, di mana dia dapat memperoleh bantuan dari teman-temannya orang Cina.
Maka dia kemudian menghubungi relasinya di Staf Umum Tentara Belanda di
Jakarta.
Sejak kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan
mendatangkan isteri dan anak-anaknya ke Jakarta. Dia selalu berpindah-pindah
tempat, antara lain di Kebon Sirih 62 a, pada keluarga de Nijs.
Pada 8 Februari 1950 isteri Westerling menemui Mayor Jenderal van Langen, yang
kini menjabat sebagai Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling
menyampaikan kepada van Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya.
Hari itu juga van Langen menghubungi Jenderal van Vreeden, Hirschfeld dan Mr.
W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga sedang berada
di Jakarta. Pokok pembicaraan adalah masalah penyelamatan Westerling, yang di
mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan.
Dipertimbangkan antara lain
untuk membawa Westerling ke Papua Barat. Namun sehari setelah itu, pada 9
Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda berhasil menangkap
Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan agar Westerling diserahkan
kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka tidak mungkin menolong
Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat memalukan Pemerintah
Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda untuk
mengurungkan rencana menyelamatkan Westerling.
Namun tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10 Februari Mayor Jenderal van
Langen memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk
menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari
Indonesia. Dengan bantuan Letkol Borghouts -pengganti Westerling sebagai
komandan pasukan elit KST- pada 16 Februari di mess perwira tempat kediaman
Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung pertemuan dengan
Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan
pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang
kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada Mayor Jenderal van Langen.
Westerling pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa hari
di tempat Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada Mayor
van der Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van Langen
dan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi Tentara Belanda. Dan
selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada
Sekretaris Negara Andreae Fockema.
Dengan demikian, kecuali Hirschfeld, Komisaris
Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta –baik
militer maupun sipil- mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi
menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae
Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggungjawab.
Pada 17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor van der Veen ditugaskan untuk
menyusun rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar
Indonesia dengan pesawat Catalina milik Marineluchtvaartdienst - MLD (Dinas
Penerbangan Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral J.W.
Kist.
Rencana ini disetujui oleh van Langen dan hari
itu juga Westerling diberitahu mengenai rencana ini. Van der Veen membicarakan
rincian lebih lanjut dengan van Langen mengenai kebutuhan uang, perahu karet
dan paspor palsu. Pada 18 Februari van Langen menyampaikan hal ini kepada
Jenderal van Vreeden.
Van der Veen menghubungi Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan
rencana tersebut. Vroon menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan
dari pihak KNIL untuk menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist
memberi persetujuannya, walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan
sesungguhnya. Jenderal van Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya
menjelaskan, bahwa diperlukan satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang
perwira tinggi ke kepulauan Riau. Tak sepatah kata pun mengenai Westerling.
Kerja selanjutnya sangat mudah. Membeli dolar senilai f 10.000,- di pasar
gelap; mencari perahu karet; membuat paspor palsu di kantor Komisaris Tinggi
(tanpa laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor adalah Willem Ruitenbeek,
lahir di Manila.
Pada hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah "kudeta" yang
gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh van der
Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di pelabuhan Tanjung Priok.
Westerling hanya membawa dua tas yang kelihatan berat. Van der Veen menduga isinya
adalah perhiasan.
Pesawat Catalina hanya singgah sebentar di
Tanjung Pinang dan kemudian melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Mereka
tiba di perairan Singapura menjelang petang hari. Kira-kira satu kilometer dari
pantai Singapura pesawat mendarat di laut dan perahu karet diturunkan.
Dalam bukunya De Eenling, Westerling memaparkan, bahwa perahu karetnya ternyata
bocor dan kemasukan air. Beruntung dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap
ikan Cina yang membawanya ke Singapura. Setibanya di Singapura, dia segera
menghubungi teman-teman Cinanya, yang pernah membantu ketika membeli
persenjataan untuk Pao An Tui. Dia segera membuat perencanaan untuk kembali ke
Indonesia.
Namun pada 26 Februari 1950 ketika berada di tempat temannya, Chia Piet Kay,
Westerling ditangkap oleh polisi Inggris dan dijebloskan ke penjara Changi.
Rupanya, pada 20 Februari ketika Westerling masih di Jakarta, Laming, seorang
wartawan dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan bahwa
Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan melanjutkan
ke Eropa.
Pada 24 Februari Agence Presse, Kantor Berita
Perancis lah yang pertama kali memberitakan bahwa Westerling telah dibawa oleh
militer Belanda dengan psawat Catalina dari MLD ke Singapura. Setelah itu
pemberitaan mengenai pelarian Westerling ke Singapura muncul di majalah
mingguan Amerika, Life.
Pemberitaan di media massa tentu sangat memukul dan memalukan pimpinan sipil
dan militer Belanda di Indonesia,. Kabinet RIS membanjiri Komisaris Tinggi
Belanda Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan. Hirschfeld sendiri semula tidak
mempercayai berita media massa tersebut, sedangkan Jenderal Buurman van Vreeden
dan Jenderal van Langen mula-mula menyangkal bahwa mereka mengetahui mengenai
bantuan pimpinan militer Belanda kepada Westerling untuk melarikan diri dari
Indonesia ke Singapura.
Keesokan harinya, tanggal 25 Februari
Hirschfeld baru menyadari, bahwa semua pemberitaan itu betul dan ternyata hanya
dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh van Vreeden, van Langen dan
Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk menyelamatkan Westerling dari
penagkapan oleh pihak Indonesia.
Fockema segera menyatakan bahwa dialah yang bertanggung- jawab dan menyampaikan
kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali
tidak mengetahui mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang
sangat memalukan Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara
Hirschfeld dengan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik
nol.
Pada 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap atas tuduhan terlibat dalam
"kudeta" Westerling bulan Januari 1950.
Pada 7, 8, 10 dan 11 Juli 1950 dilakukan sidang Mahkamah Militer terhadap 124
anggota pasukan RST yang ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pada 12
Juli dijatuhkan keputusan yang menyatakan semua bersalah. Namun sebagian besar
hanya dikenakan hukuman yang ringan, yaitu 10 bulan potong tahanan, beberapa
orang dijatuhi hukuman 11 atau 12 bulan, satu orang kena hukuman 6 bulan dan hanya
yang Titaley diganjar 1 tahun 8 bulan.
Tidak ada yang mengajukan banding, hukuman yang
sangat ringan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Belanda terhadap tentara
Belanda yang telah membantai 94 anggota TNI, termasuk Letkol Lembong,
menunjukkan, bahwa Belanda tidak pernah menilai tinggi nyawa orang Indonesia.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Eropa,
tentara Jerman yang terbukti membunuh orang atau tawanan yang tidak berdaya
dijatuhi hukuman yang sangat berat, dan bahkan para perwira yang memerintahkan
pembunuhan, dijatuhi hukuman mati.
Kemudian bagaimana dengan nasib KNIL sendiri? Berdasarkan keputusan kerajaan
tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar
120 tahun, Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau KNIL dinyatakan
bubar.
Sementara itu, setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi
Inggris di Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di
Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15 Agustus 1950,
dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan, bahwa
Westerling sebagai warganegara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia.
Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7
Agustus telah memutuskan, bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera
ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas
dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal
Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang pendukung Westerling.
Westerling sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda di mana dia akan
segera ditahan, namun –dengan izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia.
Dia segera dikunjungi oleh wakil-wakil orang Ambon dari Den Haag, yang
mendirikan Stichting Door de Eeuwen Trouw - DDET (Yayasan Kesetiaan Abadi).
Mereka merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk menggerakkan pemberontakan di
sana. Di negeri Belanda sendiri secara in absentia Westerling menjadi orang
yang paling disanjung.
Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya
tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April Westerling
ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan
Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda
Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh
Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada
13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Puncak pelecehan Belanda terhadap
bangsa Indonesia terlihat pada keputusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober
1952, yang menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga
tidak akan diekstradisi ke Indonesia.
Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam
berbagai pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan dia
ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab:
"Orang
Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak
sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan."
Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet
Belanda atas penghinaan tersebut.
Pada 17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di
Amsterdam di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan
tidak terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955
Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis.
Dengan demikian, bagi orang Belanda pembantaian ribuan rakyat di Selawesi
Selatan tidak dinilai sebagai pelanggaran HAM, juga "kudeta' APRA pimpinan
Westerling tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau pemberontakan
terhadap satu negara yang berdaulat.
Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires yang terbit
tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku
Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa
Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan
menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur
strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di
negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika.
Westerling meninggal dengan tenang pada 26 November 1987.
Sumber :
Gagasan Nusantara SENIN, OCTOBER 26,
2009
Batara R. Hutagalung