Rabu, 26 Juni 2013

Pengaruh Suku dalam Organisasi Pasukan KNIL


Anda tahu suku apa saja yang digunakan oleh KNIL (Koninkiljke Nederlandsche Indische Leger) dalam menumpas berbagai perlawanan di tanah air? Rata-rata hampir semua suku di Nusantara menjadi bagian dari pasukan KNIL, namun persentasenya berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu politik Devide et Impera Belanda dalam melemahkan perlawanan di tanah air. Selain itu, pasukan Belanda yang sebelumnya bertugas menggempur perlawanan di daerah banyak yang gugur akibat terbunuh atau menderita sakit  kolera, sehingga prajurit pribumi diharapkan lebih tahan terhadap penyakit tropis. Belanda juga tidak perlu mendatangkan prajurit Belanda dalam jumlah banyak karena akan memboroskan anggaran.

Komposisi Prajurit Pribumi dalam Pasukan KNIL
 
Menurut catatan Capt. R.P. Suyono dalam bukunya yang berjudul Peperangan Kerajaan di Nusantara terbitan Grasindo, sejak terbentuk (tahun 1830) pasukan KNIL sangat kekurangan prajurit karena rata-rata kebutuhannya adalah 2.000 per tahun, namun prajurit Belanda yang dikirm ke Hindia Belanda rata-rata hanya 1500 hingga 1600 per tahun. Selisih 500 orang merupakan hal urgent mengingat sebagian pasukan yang dikirim juga gugur dalam menjalankan tugas sehingga kebutuhan prajurit semakin membengkak. 

Tentu saja hal ini tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk menaklukan daerah-daerah yang belum dikuasai –pada abad 19 daerah kekuasaan Hindia Belanda masih kecil– serta menumpas pemberontakan di daerah-daerah yang bergejolak.

Melihat perbandingan antara jumlah prajurit dan kebutuhan yang tidak seimbang maka perekrutan prajurit pribumi merupakan satu-satunya solusi. Perekrutan ini memberikan kemenangan pihak kompeni terhadap berbagai perlawanan di tanah air, terbukti prajurit Ambon, Manado dan Jawa berhasil menumpas perlawanan di Bali  pada tahun 1860. Seiring makin masifnya perekrutan parajurit pribumi serta bergabungnya anak-anak prajurit KNIL yang lahir di tangsi maka jumlah prajurit pribumi di dalam pasukan KNIL meningkat dari tahun ke tahun.

Suyono mencatat pada tahun 1916, jumlah prajurit KNIL terdiri dari 17.854 orang Jawa, 1.792 orang Sunda, 151 orang Madura, 36 orang bugis –menurut Maulwi Saelan (mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa), orang bugis dan Makasar jarang dijadikan prajurit KNIL karena tingkat kesetiaan yang rendah– dan 1.066 orang Melayu. Adapun orang Ambon yang berjumlah 3.519 orang, orang Manado 5.925 dan 59 orang Alfuru. Jumlah pasukan pribumi ini dilengkapi dengan 8.649 orang Eropa sehingga kekuatan pasukan KNIL menjadi kuat terutama pada awal abad ke 20 hingga sebelum Perang Dunia (PD) II. 

Komposisi suku dalam pasukan KNIL ini sangat dinamis dari tahun ke tahun namun rata-rata orang Jawa tetap memiliki jumlah prajurit terbanyak karena bisa mencapai 50 %. Orang Sunda 5 %, Manado 15 % dan justru orang Ambon hanya mencapai 12 %. Sisanya adalah suku Timor 4 % dan suku-suku lain seperti Aceh, Batak, Madura dan Bugis masing-masing 1 %.

Komposisi kesukuan yang memiliki sifat dan karakter berbeda ini ternyata juga berpengaruh pada organisasi berperang pasukan KNIL. Hal ini terbukti dari penempatan prajurit ke dalam empat Kompi yang berbeda dalam satu batalyon infanteri. 

Kompi pertama adalah gabungan orang Eropa dan Manado yang difungsikan berhadapan langsung dengan musuh, menyerang, menembak dan membuat lubang perlindungan. Mereka juga bertugas untuk menghitung kekuatan musuh dengan mengintai. 
Kompi kedua yang terdiri dari orang Ambon dan Timor merupakan pasukan penggempur yang bertugas melibas musuh namun harus segera ditarik kembali sebelum semuanya hancur. 
Setelah ditarik maka fungsi kompi ketiga dan keempat yang terdiri dari orang Sunda dan Jawa yaitu melakukan pendudukan dan meciptakan perdamaian. Tugas terakhir ini diberikan kapada prajurit Jawa dan Sunda karena mereka memiliki sifat tenang dan mampu menahan diri.

Diskriminasi Dalam Pasukan KNIL

Belanda selalu senang menciptakan segregasi antara satu kelompok dan kelompok yang lainnya termasuk antar suku di dalam pasukan KNIL. Segregasi yang diciptakan berupa diskriminasi dalam bentuk penggajian dan fasilitas. Orang Jawa yang merupakan mayoritas ternyata tidak serta merta dihargai oleh Belanda, justru merekalah yang mengalami perlakuan diskriminasi.

Jika ada penghargaan medali kuning untuk keberanian dan kesetiaan (Voor Moed en Trouw) maka prajurit Ambon dan Manado akan mendapatkan tambahan gaji f10,9 (gulden), sedangkan prajurit Sunda dan Jawa hanya mendapat f6,39. Hal ini juga berlaku dalam berbagai fasilitas termasuk tingkat kelas jika bepergian. Sebelum tahun 1905 prajurit Jawa tidak mendapatkan fasilitas sepatu karena keunggulan berperang dianggap tidak sebaik prajurit Ambon dan Manado. Prajurit Jawa yang cenderung nrimo dengan perlakukan ini menyebabkan selalu mengalami diskriminasi.

KNIL asal Ambon

Nasib prajurit Jawa mengalami perbaikan setelah diprotes oleh J. van der Weiden –menantu Jendral van Heutsz (komandan pasukan Belanda yang berhasil menaklukkan Aceh)– yang mengatakan bahwa prajurit Jawa juga gagah berani –selain prajurit Aceh– terbukti dari perang Jawa yang sangat sulit dihentikan Belanda. Orang Belandalah yang berpikiran bahwa prajurit Jawa lebih lemah sehingga mendapatkan perlakuan diskriminasi.

Kekuatan pasukan KNIL mengalami penurunan setelah Perang Dunia II berakhir dan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia dengan melancarkan Agresi Militer I dan II. Sebagian besar pasukan KNIL –antara lain A.H Nasution, Urip Sumoharjo, Alex Kawilarang dan yang lainnya– pada masa ini sudah terpengaruh ide revolusi dan kemerdekaan sehingga mereka berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia.









Sumber  :
Yohanes Apriano Fernandez, 25 February 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar