Anda tahu suku apa
saja yang digunakan oleh KNIL (Koninkiljke Nederlandsche Indische Leger) dalam
menumpas berbagai perlawanan di tanah air? Rata-rata hampir semua suku di
Nusantara menjadi bagian dari pasukan KNIL, namun persentasenya berbeda-beda.
Hal ini merupakan salah satu politik Devide et Impera Belanda dalam
melemahkan perlawanan di tanah air. Selain itu, pasukan Belanda yang sebelumnya
bertugas menggempur perlawanan di daerah banyak yang gugur akibat terbunuh atau
menderita sakit kolera, sehingga prajurit pribumi diharapkan lebih tahan
terhadap penyakit tropis. Belanda juga tidak perlu mendatangkan prajurit
Belanda dalam jumlah banyak karena akan memboroskan anggaran.
Komposisi Prajurit
Pribumi dalam Pasukan KNIL
Menurut catatan Capt.
R.P. Suyono dalam bukunya yang berjudul Peperangan Kerajaan di Nusantara
terbitan Grasindo, sejak terbentuk (tahun 1830) pasukan KNIL sangat kekurangan
prajurit karena rata-rata kebutuhannya adalah 2.000 per tahun, namun prajurit
Belanda yang dikirm ke Hindia Belanda rata-rata hanya 1500 hingga 1600 per
tahun. Selisih 500 orang merupakan hal urgent mengingat sebagian pasukan yang
dikirim juga gugur dalam menjalankan tugas sehingga kebutuhan prajurit semakin
membengkak.
Tentu saja hal ini tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk menaklukan
daerah-daerah yang belum dikuasai –pada abad 19 daerah kekuasaan Hindia Belanda
masih kecil– serta menumpas pemberontakan di daerah-daerah yang bergejolak.
Melihat perbandingan
antara jumlah prajurit dan kebutuhan yang tidak seimbang maka perekrutan
prajurit pribumi merupakan satu-satunya solusi. Perekrutan ini memberikan
kemenangan pihak kompeni terhadap berbagai perlawanan di tanah air, terbukti prajurit
Ambon, Manado dan Jawa berhasil menumpas perlawanan di Bali pada tahun
1860. Seiring makin masifnya perekrutan parajurit pribumi serta bergabungnya
anak-anak prajurit KNIL yang lahir di tangsi maka jumlah prajurit pribumi di
dalam pasukan KNIL meningkat dari tahun ke tahun.
Suyono mencatat pada
tahun 1916, jumlah prajurit KNIL terdiri dari 17.854 orang Jawa, 1.792 orang
Sunda, 151 orang Madura, 36 orang bugis –menurut Maulwi Saelan (mantan Wakil
Komandan Tjakrabirawa), orang bugis dan Makasar jarang dijadikan prajurit KNIL
karena tingkat kesetiaan yang rendah– dan 1.066 orang Melayu. Adapun orang
Ambon yang berjumlah 3.519 orang, orang Manado 5.925 dan 59 orang Alfuru.
Jumlah pasukan pribumi ini dilengkapi dengan 8.649 orang Eropa sehingga kekuatan
pasukan KNIL menjadi kuat terutama pada awal abad ke 20 hingga sebelum Perang
Dunia (PD) II.
Komposisi suku dalam pasukan KNIL ini sangat dinamis dari tahun
ke tahun namun rata-rata orang Jawa tetap memiliki jumlah prajurit terbanyak
karena bisa mencapai 50 %. Orang Sunda 5 %, Manado 15 % dan justru orang Ambon
hanya mencapai 12 %. Sisanya adalah suku Timor 4 % dan suku-suku lain seperti
Aceh, Batak, Madura dan Bugis masing-masing 1 %.
Komposisi kesukuan
yang memiliki sifat dan karakter berbeda ini ternyata juga berpengaruh pada
organisasi berperang pasukan KNIL. Hal ini terbukti dari penempatan prajurit ke
dalam empat Kompi yang berbeda dalam satu batalyon infanteri.
Kompi pertama
adalah gabungan orang Eropa dan Manado yang difungsikan berhadapan langsung dengan
musuh, menyerang, menembak dan membuat lubang perlindungan. Mereka juga
bertugas untuk menghitung kekuatan musuh dengan mengintai.
Kompi kedua
yang terdiri dari orang Ambon dan Timor merupakan pasukan penggempur yang
bertugas melibas musuh namun harus segera ditarik kembali sebelum semuanya
hancur.
Setelah ditarik maka fungsi kompi ketiga dan keempat yang
terdiri dari orang Sunda dan Jawa yaitu melakukan pendudukan dan meciptakan
perdamaian. Tugas terakhir ini diberikan kapada prajurit Jawa dan Sunda karena
mereka memiliki sifat tenang dan mampu menahan diri.
Diskriminasi Dalam
Pasukan KNIL
Belanda selalu senang
menciptakan segregasi antara satu kelompok dan kelompok yang lainnya termasuk
antar suku di dalam pasukan
KNIL. Segregasi yang diciptakan berupa diskriminasi dalam bentuk penggajian dan
fasilitas. Orang Jawa yang merupakan mayoritas ternyata tidak serta merta
dihargai oleh Belanda, justru merekalah yang mengalami perlakuan diskriminasi.
Jika ada penghargaan
medali kuning untuk keberanian dan kesetiaan (Voor Moed en Trouw) maka
prajurit Ambon dan Manado akan mendapatkan tambahan gaji f10,9 (gulden),
sedangkan prajurit Sunda dan Jawa hanya mendapat f6,39. Hal ini juga berlaku
dalam berbagai fasilitas termasuk tingkat kelas jika bepergian. Sebelum tahun
1905 prajurit Jawa tidak mendapatkan fasilitas sepatu karena keunggulan
berperang dianggap tidak sebaik prajurit Ambon dan Manado. Prajurit Jawa yang
cenderung nrimo dengan perlakukan ini menyebabkan selalu mengalami
diskriminasi.
KNIL asal Ambon |
Nasib prajurit Jawa mengalami perbaikan setelah diprotes oleh J. van der Weiden –menantu Jendral van Heutsz (komandan pasukan Belanda yang berhasil menaklukkan Aceh)– yang mengatakan bahwa prajurit Jawa juga gagah berani –selain prajurit Aceh– terbukti dari perang Jawa yang sangat sulit dihentikan Belanda. Orang Belandalah yang berpikiran bahwa prajurit Jawa lebih lemah sehingga mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Kekuatan pasukan KNIL
mengalami penurunan setelah Perang Dunia II berakhir dan Belanda ingin
menguasai kembali Indonesia dengan melancarkan Agresi Militer I dan II.
Sebagian besar pasukan KNIL –antara lain A.H Nasution, Urip Sumoharjo, Alex
Kawilarang dan yang lainnya– pada masa ini sudah terpengaruh ide revolusi dan
kemerdekaan sehingga mereka berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia.
Sumber :
Yohanes
Apriano Fernandez, 25 February 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar