Hijrah dan Long March Divisi Siliwangi
Usaha
untuk menyelesaikan persengketaan antara Republik Indonesia dan Belanda melalui
diplomasi atas desakan Inggris telah dilakukan sejak akhir 1945. Perundingan
pertama antara Inggris – Indonesia - Belanda diadakan di Jakarta dan
dilanjutkan di Kota Hoge Zweluwe negeri Belanda pada tanggal 14 April 1946.Perundingan-perundingan ini gagal tidak menghasilkan suatu keputusan apapun.
Lord Louise Mountbatten didepan Hotel Wilhelmina, Jalan Braga Bandung |
Hotel Wilhemina dijaladikan Markas Brigade V |
Perundingan-perundingan
dilanjutkan di Jakarta pada bulan Oktober 1946 dan menciptakan suasana yang
favourable untuk perundingan-perundingan, maka disepakati untuk diadakan
penghentian tembak menembak antara kedua belah pihak pada tanggal 14 Oktober
1946.
Tahap
akhir perundingan diadakan di daerah Linggarjati Kuningan, hasil naskahnya di
paraf pada tanggal 15 November 1946 sedangkan hasil perundingan ini ditanda
tangani 4 bulan kemudian pada tanggal 25 Maret 1947.
Perjanjian
Linggarjati pokoknya mengenai :
- Pengakuan De Facto Republik Indonesia di wilayah Jawa, Madura dan Sumatera oleh Belanda.
- Akan didirikan Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 1949.
- Dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan mahkota Belanda sebagai pimpinannya.
Sejak
September 1945 Belanda dengan menarik keuntungan dari kehadiran tentara Inggris
yang melakukan tugas-tugas Sekutu, khususnya di Jawa dan Sumatera terus
membangun kekuatan militernya. Selama Belanda belum cukup membangun kekuatan
militernya, Belanda memenuhi keinginan Inggris untuk melakukan
perundingan-perundingan diplomasi dengan pihak Indonesia. Jelaslah bahwa
Indonesia menganggap bahwa Inggris tidak bersikap netral, memihak kepada
Belanda karena dengan hadirnya Inggris di pulau Jawa memungkinkan
Belanda mendapat pancangan kakinya di pulau ini kembali dan kesediaan Belanda untuk melakukan perundingan Linggarjati adalah karena telah mempunyai titik pijak yang kokoh di pulau jawa dan telah mengkonsolidir kekuasaanya kembali dibagian-bagian lain dari bagian timur Indonesia.
Belanda mendapat pancangan kakinya di pulau ini kembali dan kesediaan Belanda untuk melakukan perundingan Linggarjati adalah karena telah mempunyai titik pijak yang kokoh di pulau jawa dan telah mengkonsolidir kekuasaanya kembali dibagian-bagian lain dari bagian timur Indonesia.
Pada
bulan April 1947 untuk melakukan operasi-operasi militer di pulau Jawa dan pulau
Sumatera militer Belanda telah siapkan kekuatan militernya terdiri dari :
- 51.000 orang KL (didatangkan langsung dari negeri Belanda)
- 6000 orang Marinir.(didatangkan langsung dari negeri Belanda)
- 32.000 orang KNIL (bekas tawanan perang Jepang dan merekrut didaerah setempat)
- 10 Skuadron Udara berbagai tipe pesawat
- Armada laut terdiri dari 6 Kapal artileri, 10 Korvet dan puluhan kapal pendarat
Pada awal 1947 kekuatan pertahanan Republik Indonesia sebagian besar terdiri dari kekuatan darat yang terdiri dari :
1. Kekuatan Angkatan Darat dengan kekuatan personil :
- Pulau Jawa kurang lebih 110.000 personil tentara
- Pulau Sumatra 64.000 personil tentara
- Laskar Perjuangan 94.000 personil tentara di pulau Jawa dan 73.000 personil di pulau Sumatera
3. Kekuatan Angkatan Udara (AURI) beberapa pesawat kecil dengan 5.000 personil pasukan darat.
Belanda
sangat menganggap rendah kekuatan tempur Tentara Republik Indonesia, tidak
terorganisir dan terlatih dengan baik, tidak mempunyai senjata-senjata bantuan,
tidak memiliki mobilitas yang tinggi untuk mempertahankan kemerdekaan yang
telah di Proklamasikan dan didukung oleh rakyat Indonesia sepenuhnya.
Pada
bulan April 1947 persiapan-persiapan militer Belanda secara strategis memasuki
tahap yang menentukan.
Persetujuan
Linggarjati yang telah ditanda tangani pada tanggal 25 Maret 1947, sedangkan
realisasi dari persetujuan ini secepat mungkin bagi Belanda teramat penting,
karena situasi finansialnya pada bulan Agustus 1947 akan sangat kritis. Kalau
kerjasama dibidang ekonomi tidak dapat segera diwujudkan Belanda, maka mereka
harus menyerahkan kekuasaannya di Indonesia untuk meminta bantuan dunia
internasional atau memaksakan suatu tindakan militer.
Tujuan
politik Belanda akhirnya adalah mewujudkan ketatanegaraan baru didalam bentuk
Negara Indonesia Serikat (RIS) dibawah Uni Belanda – Indonesia dengan Mahkota
Ratu Belanda sebagai pimpinannya, untuk mencapai tujuan itu Republik Indonesia
harus ditiadakan dengan melancarkan peperangan (aksi-2 polisionil) untuk
menghancurkan kekuatan bersenjata Republik Indonesia ialah Tentara Nasionalnya.
“IBU PERTIWI MEMANGGIL”
sandi yang diperintahkan Panglima Besar Soedirman pada tanggal 21 Juli 1947
melalui RRI di Yogyakarta yang menyatakan bahwa : Belanda telah menyerang kita dan kita pun harus melakukan perlawanan.
Pada awal 1947 pasukan-pasukan Belanda sudah menduduki pancangan-pancangan kaki (Bridge Heads) di enam tempat yaitu :
1. Divisi A terdiri dari Brigade Marinir
- Wilayah Surabaya dengan kekuatan dari Brigade X
- Wilayah Sumatera dengan kekuatan dari Brigade Z meduduki Kota Medan
- Wilayah Sumatera dengan kekuatan dari Brigade U menduduki Kota Padang
- Wilayah Sumatera dengan kekuatan dari Brigade Y menduduki Kota Palembang
Wilayah Jawa Barat dengan kekuatan dari Brigade V dan Brigade W
3. Divisi C
Wilayah Jawa Barat dengan kekuatan Brigade 7 December terdiri dari group 1,2 dan 3 menduduki :
- Kota Jakarta
- Kota Bogor
- Kota Bandung
Kosentrasi terbesar kekuatan besar Belanda di wilayah Jawa Barat.
Rencana
militer Belanda pada tahun 1947 adalah menduduki seluruh pulau Jawa dengan sasaran
utamanya Yogyakarta sebagai pusat kekuatan politik dan militer Republik
Indonesia. Didudukinya Yogyakarta akan meruntuhkan semua perlawanan Republik
maka dengan runtuhnya perlawanan ini akan memudahkan Belanda memaksakan
kehendaknya.
Setelah
pulau Jawa diduduki, Jendral Spoor sebagai Panglima tentara Belanda di
Indonesia memandang perlu untuk masih melakukan gerakan offensive di Sumatera
dengan pertimbangannya bahwa sekalipun Yogyakarta dan Surakarta telah menyerah,
belum diperkirakan Tentara Republik Indonesia juga akan menyerah secara
menyeluruh.
Untuk
melakukan gerakan ini Belanda mempersiapkan 5 Divisi, tetapi terpaksa harus
diadakan perubahan rencana karena Divisi D yang sedang didatangkan sebagai
perkuatan dari Eropa tidak dapat digerakan sebagai satu kesatuan Divisi karena alasan-alasan
finansial.
Dengan
menggunakan 4 Divisi, Jendral Spoor mempertimbangkan kembali masih memungkinkan
untuk menduduki sebagaian dari pulau Jawa dan Sumatera, terutama yang mempunyai
nilai ekonomis yang penting, secara politis diharapkan akan melunakan sikap
politik Republik Indonesia dan akan memperbaiki posisi finansial Belanda. Untuk
menjalankan operasi ini Belanda menyiapkan rencana-rencana operasi Product, Rotterdam
dan Amsterdam.
Operasi Product
adalah operasi terbatas dan ditujukan untuk menduduki sasaran-sasaran yang
mempunyai nilai ekonomis seperti perkebunan-perkebunan, pusat-pusat pembangkit
tenaga listrik, ladang-ladang minyak dan lain sebagainya.Daerah sasaran ini
adalah sebagian daerah Jawa Barat, ujung timur Jawa Timur dan ladang-ladang
minyak di Sumatera.
Operasi Rotterdam
adalah lanjutan dari Operasi Product
dengan meneruskan serangan untuk merebut Yogyakarta dan Surakarta. Rencana
Rotterdam ini baru dilancarkan kalau sebagai akibat dari operasi Product timbul
kekacauan disisa wilayah Republik Indoensia, seperti terjadinya penghancuran
objek-objek ekonomis strategis vital, goyahnya pemerintah Republik Indonesia
dan kekuatan militernya di Yogyakarta.
Operasi Amsterdam
adalah rencana alternative lainnya yang baru dilancarkan kalau situasi politik
benar-benar memungkinkan.
Divisi
1 Siliwangi di Jawa Barat menggelar kekuatannya didalam posisi pertahanan
melingkari garis demarkasi, membentuk garis pertahanan yang memanjang. Pertahanan
garis (linier) ini merupakan bentuk dari konsep perang yang kita anut ketika
itu, ialah pengembangan dari tekad : “Pertahankan setiap jengkal tanah”.
Dengan
semangat yang menyala-nyala pasukan-pasukan tempur kita dilandasi oleh
kesediaan berkorban yang tinggi bagi ibu pertiwi, mempertahankan setiap jengkal
tanah sepanjang garis pertahannya dan dengan persenjataanya, perlengkapan
perang serta pengetahuan kemampuan teknis militer yang tidak memadai. Konsepsi
perang linier ini pada hakekatnya lebih didasari atau berlatar belakang
emosional. Konsepsi ini berangkat dari suatu sikap yang beranggapan bahwa kita
tidak patriotik kalau setiap jengkal tanah dari garis pertahanan kita itu tidak
kita perhahankan secara mati-matian.
Kurang
lebih 80% dari persenjataan yang dimiliki Divisi ditempatkan di frontline,
sehingga untuk mempertahankan daerah belakang persenjataan kita sangat minim.
Pimpinan Divisi Siliwangi ketika itu didalam persiapan kemungkinan penyerbuan
Belanda, telah menyadari pentingnya organisasi teritorial untuk kerangka
ketertiban kedalam, untuk kepentingan logistik dan lain-lain.
Teritorial dalam arti yang lazim, ketika itu belum dalam arti sebagai penggerak perlawanan rakyat, sekalipun mulai dirasakan oleh Divisi Siliwangi bahwa peranan territorial sangat penting bagi landasan usaha-usaha pertahanan.
Pemikiran
Divisi tentang persiapan pertahanan daerah dengan menggerakan kemampuan
territorial ketika itu parallel dengan instruksi dari MBT Yogyakarta yang
menyebutkan dengan istilah “Wehrkreise” sebagai wujud swadaya pertahanan
daerah.
Tanggal
27 Mei 1947 Belanda menyampaikan Nota Ultimatum kepada Pemerintah Republik
Indonesia yang harus dijawab didalam waktu 14 hari. Seperti diduga sebelumnya
jawaban Pemerintah Republik Indonesia terhadap Nota Ultimatum Belanda,
Pemerintah Republik Indonesia menolak pembentukan gendarmerie bersama
didaerah-daerah Republik Indonesia yang belum dikuasai Belanda.
Tanggal
15 Juli 1947 Belanda menyampaikan Nota Ultimatum lagi, pasukan TNI harus mundur
dari garis demarkasi sejauh 10 km. Jawaban Republik Indonesia jelas menolak
ultimatum ini, sehingga akhirnya pemerintah Belanda di Den Haag pada tanggal 17
Juli 1947 malam hari mengambil keputusan untuk melakukan serbuan terbatas
terhadap Republik Indonesia. Jendral Spoor pada tanggal 18 Juli 1947
memerintahkan : “Product dag D 21 Juli”.
Akhirnya
pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serbuan mendadak terhadap wilayah
Republik Indonesia dengan alasan bahwa Belanda terpaksa menggunakan kekerasan
karena Republik Indonesia terus menerus melakukan pelanggaran-pelanggaran dari
perjanjian-perjanjian yang telah tercapai, karenanya Belanda tidak terikat lagi
oleh oleh Perjanjian Linggarjati.
Ajaran
Clausewitz berlaku, Belanda melakukan
tindakan militer untuk melanjutkan politiknya dengan cara-cara yang lain dan
tindakan militer Belanda ini ingin memaksakan kehendaknya untuk menundukan
Republik Indonesia.
Di
Jawa Barat Divisi Siliwangi menghadapi serbuan 2 Divisi Belanda. Dengan
berpangkal tolak dari pancangan kaki Jakarta – Bogor – Bandung, Brigade V Infantrinya
dengan keunggulan teknis militernya dengan mudah menembus garis-garis
pertahanan kita dan bergerak dengan mobilitas yang tinggi merebut
sasaran-sasarannya yang telah ditetapkan sampai Pekalongan dan Banyumas di Jawa
Tengah.
Siliwangi dengan peralatan dan tehnik sederhananya tidak dapat menandingi “military onslaught” lawan ini. Mengalami situasi yang parah, kacau balau, ditambah dengan upaya-upaya “psy-war” lawan dengan melancarkan berita-berita provokasi bahwa Panglima Siliwangi telah memerintahkan kapitulasi kepada jajaran Siliwangi.
Siliwangi dengan peralatan dan tehnik sederhananya tidak dapat menandingi “military onslaught” lawan ini. Mengalami situasi yang parah, kacau balau, ditambah dengan upaya-upaya “psy-war” lawan dengan melancarkan berita-berita provokasi bahwa Panglima Siliwangi telah memerintahkan kapitulasi kepada jajaran Siliwangi.
Ketika
mengembangkan rencana-rencana militernya pihak intelejen Belanda telah
menyimpulkan bahwa kelemahan Tentara Republik Indonesia tidak akan mampu
melakukan sesuatu peperangan konvesional. Namun pihak intelejennya juga
mengingatkan bahwa bila serangan-serangan Belanda tidak berhasil,
pasukan-pasukan Republik Indonesia akan melakukan perlawanan gerilya
didaerah-daerah yang telah diduduki.
Taktik
gerilya menempati tempat yang penting didalam doktrin tempur TRI, sedangkan
penghancuran-penghancuran jalan-jalan pendekat, garis-garis perhubungan
logistik, objek-objek ekonomis, taktik bumi hangus dan lain-lain merupakan
bagian dari doktrin gerilya nya.
Untuk
menghadapi aksi-aksi gerilya ini harus dipersiapkan suatu operasi tersendiri,
didalam “tahap pasifikasi” dengan memecah pasukan-pasukan didaerah-daerah yang
telah diduduki dengan melakukan operasi-operasi pembersihan dan patrol yang
intensif.
Jendral
Spoor menamakan strategi perebutan dan pendudukan pulau Jawa dan Sumatera
keseluruhan atau sebagian sebagai “speerpunten
strategie” (strategi ujung tombak). Strategi ini dibedakan adanya tahap
penyerangan dan pendudukan dan tahap pasifikasi. Didalam tahap pertama suatu
daerah diduduki dengan melancarkan kolone-kolone tempur bagaikan tombak-tumbak
yang ditujukan kepada sentra-sentra pimpinan musuh (pos-pos komando),
garis-garis perhubungan dan selanjutnya menyebarkan pasukan-pasukan untuk
menguasai posisi-posisi kunci militer yang terdapat didaerah operasi.
Didalam
tahap ini diperhitungkan bahwa karena kecepatan operasi-operasi ujung tombak
ini musuh akan mengalami desorganisasi dan demoralisasi. Tahap operasi
pendudukan dilanjutkan dengan tahap pasifikasi. Didalam tahap ini lawan yang
sudah mengalami desorganisasi dan demoralisasi dan sudah terkurung dihancurkan
secara total.
Operasi
ujung tombak juga diarahkan unjtuk memberikan pukulan yang menentukan dengan
serangan secara konvesional kepada kaum Republik sedemikian rupa sehingga mereka
tidak dapat melanjutkan perlawanan gerilya nya. Untuk ini Jendral Spoor
mengandalkan kemampuan pasukan-pasukannya yang lebih baik organisasinya,
latihan-latihannya, lebih unggul persenjataanya dan perlengkapannya untuk
melakukan peperangan teratur.
Pada
tanggal 4 agustus 1947 PBB menetapkan adanya gencatan senjata. Gerakan
offensive Belanda dihentikan, sekalipun pimpinan politik dan militer Belanda di
Indonesia masih ingin melakukan “doorstroot” gerakan lanjutan untuk merebut
Yogyakarta. Van Mook yakin bahwa dengan didudukinya Yogyakarta akan timbul
Pemerintah Republik Indonesia yang baru lebih moderat dan lebih kooperatif.
Di
jawa Barat, Belanda melakukan pelanggaran cease fire, pada tanggal 6 Agustus
1947 mereka melanjutkan aksi militernya ke Priangan timur yang belum dapat
dikuasainya, didalam rangka menduduki Jawa Barat secara keseluruhan sesuai
dengan sasaran yang telah ditetapkan pada rencana “operasi Product”
Divisi C 7 Desember selanjutnya menduduki Jawa Barat kecuali daerah Keresidenan Banten, menggelar Brigade-Brigadenya untuk mengamankan dan mengkonsolidasikan sasaran-sasaran yang telah direbutnya dan mengerahkan kesatuan-kesatuannya untuk melakukan operasi-operasi pembersihan dalam rangka “tahap pasifikasi” nya.
5th Indien Division menjaga tawanan pasukan Jepang |
Agresi Militer Belanda I dengan Kode "Operation Product" |
Sektor Jawa barat dilakukan dari arah Cirebon dan Jakarta menuju Bandung, mereka dapat bergrak dengan cepat karena jalan dan jembatan masih utuh, disebabkan karena pada waktu tentara Inggris belum ditarik dari Indonesia jalan-jaan ini dipergunakan untuk mengangkut tawanan tentara Jepang atas dasar persetujuan RI dan Inggris.
Divisi
1 Siliwangi tidak berhasil dihancurkan oleh agresi militer Belanda. Pada awal
serangan-serangan Belanda mengalami kekacauan, namun pasukan-pasukannya tidak
mengalami demoralisasi, malahan setelah mendapatkan pukulan-pukulan
digaris-garis pertahanan mereka mengundurkan diri secara berkelompok-kelompok
maupun perorangan kedaerah-daerah pegunungan di sebelah wilayah selatan Jawa Barat untuk selanjutnya berangsur-angsur
disusun kembali didalam kesatuan-kesatuan teknis semula.
Umumnya
pasukan-pasukan kita dapat menghindarkan diri dari pertempuran konvesional yang
menetukan (decisive battles) seperti yang diinginkan pihak Belanda. Resimen
perjuangan dibawah pimpinan Letkol Abdulah Saleh yang bertugas dipertahanan
Bekasi dapat mengundurkan diri secara utuh dengan selamat berserta keempat
batalyonnya ke daerah basisnya di Priangan timur, begitu pula dengan
Brigade-Brigade, Batalyon-Batalyon Siliwangi yang lainnya, menempati kedudukan-kedudukan
taktis untuk melanjutkan perlawanan.
Roda
Pemerintahan Republik Indonesia ditingkat Provinsi, Kabupaten menjadi lumpuh
akibat jaringan kedudukan dan pendudukan Belanda, tetapi pemerintahan pedesaan
masih tetap mampu berjalan dengan lancer menjalankan tugasnya sehari-hari.
Rakyat masih tetap menunjukan kesetiaannya kepada Republik Indonesia.
Dipedesaan-pedesaan dibawah kepemimpinan para Lurah, memelihara dan mendukung
pasukan-pasukan Siliwangi yang kemudian melancarkan operasi-operasi gerilya
melawan pasukan-pasukan Belanda.
Aksi
melawan tentara Belanda meningkat intensitasnya setelah selesai mengadakan
konsolidasi territorial, setelah ditetapkan adanya sistem pertahan “Wehrkreise”.
Pasukan-pasukan melakukan perubahan-perubahan dislokasi. Resimen 6 Brigade III
yang berada didaerah Darmaraja Sumedang dengan ketiga batalyon nya melakukan
aksi Wingate yaitu aksi suatu gerakan penyusupan kembali kedaerah asalnya,
Jakarta Timur.
Begitu pula pasukan-pasukan lainnya yang berada didaerah-daerah
pengunduran, mereka melakukan aksi wingate kembali menyebar kedaerah-daerah
penugasan asalnya. Sistem pertahan ini ditingkat taktis, berangsur-angsur
berkembang menjadi sistem pertahanan teritorial (wilayah) tingkat strategis.
Tidak
berhasilnya dihancurkannya pasukan-pasukan TNI merupakan suatu kesalahan yang
paling fatal bagi Belanda. Strategi ujung tombaknya memang berhasil menduduki
daerah yang cukup luas, yang secara ekonomis dapat menghasilkan devisa untuk
dapat selanjutnya membiayai aparat militernya, tetapi menempatkan penghancuran
kekuatan musuh pada prioritas yang kedua. Ajaran Von Clausewitz mengatakan bahwa penghancuran kekuatan musuh adalah
“die eigentliche wirksame handlung” artinya didalam suatu konflik bersenjata
dan menduduki suatu wilayah merupakan tindakan selanjutnya, kalau musuh belum
dapat dikalahkan, dia akan dapat mengalahkan saya, merupakan pula satu adagium
Von Clausewitz.
Sementara
itu KTN (Komisi Tiga Negara) dari PBB pada tanggal 27 Oktober 1947 telah tiba
di Jakarta dan mulai melaksanakan tugasnya menberikan jasa-jasa baiknya untuk
menyelesaikan pertikaian Indonesia – Belanda. Didalam sidangnya pada tanggal 9
Desember 1947 KTN mengajukan suatu skema mengenai Garis Demarkasi efektif untuk
mendapat persetujuan delegasi Indonesia – Belanda, yang mengakibatkan Belanda
harus mengosongkan semua daerah yang yang telah didudukinya, sedang pihak
Indonesia harus mengosongkan daerah-daerah kantong perjuangan. Belanda menolak
skema itu dan meminta pengakuan suatu garis demarkasi yang disebut “Garis Van
Mook” yang telah di sahkan tanggal 5 September 1947.
TRI berlatih baris berbaris, 21 Desember 1947 |
Jelas begitu pula dengan pihak Republik Indonesia tidak dapat menerima tuntutan mereka, Belanda mengeluarkan kartu truf nya untuk meng “unbalance” posisi Republik Indonesia dengan mengajukan suatu ultimatum bahwa Belanda akan melanjutkan aksi militernya ke Yogyakarta kalau Republik Indonesia tidak mau mengakui “Garis Van Mook”.
Pada
tanggal 17 Januari 1948 bertempat diatas kapal USS Renville oleh Indonesia dan
Belanda ditanda tangani perjanjian gencatan senjata, yang kemudian dikenal
dengan peristiwa “Perjanjian Renville”.
Berarti bahwa daerah dibelakang Garis Van Mook adalah Daerah kekuasaan Belanda
karenanya Indonesia harus mengosongkan daerah tersebut dari semua pasukan TNI.
Keputusan
politik ini tidak mendapat sambutan baik dari para pejuang yang berada
dilapangan, juga direspon oleh pihak Angkatan Perang sendiri. Hanya berkat
disiplin dan loyalitas kepada pimpinan Nasional, akhirnya keputusan itu dapat
diterima dengan berat hati terpaksa dilaksanakan.
SILIWANGI HIJRAH
Untuk
kedua kalinya terjadi, atas pertimbangan politik pasukan-pasukan TNI harus
mengosongkan suatu daerah yang masih dikuasainya, yang pertama adalah Kota
Jakarta pada tanggal 19 November 1947 yang kedua adalah Jawa Barat kecuali
Banten.
T.R.I memasuki Yogyakarta |
Yang pertama dilakukan oleh 1 Resimen TKR sedang yang kedua oleh 1 Divisi TNI. Pimpinan Angkatan Perang di Yogyakarta menyadari kemungkinan Siliwangi akan enggan pindah ke Jawa Tengah. Tetapi karena ini adalah suatu keputusan politik dari negara, maka perintah untuk Hijrah harus di taati oleh Siliwangi dimana pun mereka berada. Karena itu perintah kepada Siliwangi untuk Hijrah ke Jawa Tengah harus disampaikan oleh kurir – kurir khusus kepada para Komandan pasukan dari Divisi Siliwangi, selain sulitnya berkomunikasi, juga untuk menghindari kesalah pahaman yang tidak perlu pada pelaksan-pelaksanaannya nanti.
T.R.I dalam rangka menyambut kedatangan Soekarno-Hatta |
T.R.I dalam rangka menyambut kedatangan Soekarno-Hatta |
T.R.I dalam rangka menyambut kedatangan Soekarno-Hatta |
Para Perwira-Perwira kurir dari Panglima Besar ternyata tidak membawa perintah kepada Divisi Siliwangi untuk hijrah saja, mereka membawa juga membawa pesan khusus dari Panglima Besar agar tidak seluruh divisi di hijrahkan ke Jawa Tengah, meninggalkan pasukan-pasukan untuk tetap melakukan perlawanan gerilya terhadap Belanda dan memelihara kehadiran Merah Putih di Jawa Barat.
Siliwangi
meninggalkan Jawa Barat karena suatu keputusan politik, bukan karena kalah
dalam pertempuran. Sebelum berangkat hijrah, setiap prajurit Siliwangi
meninggalkan janji kepada rakyat Jawa Barat bahwa pasukan Siliwangi akan
kembali ke Jawa Barat. Belanda yakin bahwa Siliwangi tidak akan kembali secara
utuh ke Jawa Barat karena perhitungan strateginya, gerakan mundur ke Jawa
Tengah sama dengan mengiring pasukan-pasukan Siliwangi ke suatu “killing
ground” yang telah dipersiapkan.
Pelaksanaan hijrah ini dimulai pada tanggal 1 Februari 1948 dengan memindahkan pasukan-pasukan Siliwangi dari kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat sisa daerah kekuasaan Republik Indonesia di Jawa Tengah dan dapat diselesaikan pada tanggal 27 Februari 1948.
Tugas
Siliwangi di daerah hijrah adalah mengadakan reorganisasi jajaran tempurnya
dengan pertimbangan :
- Organisasi pasukan harus lebih diperbaiki agar formasinya penuh dan lengkap oleh personil terpilih.
- Setiap prajurit harus mempunyai senjata organiknya masing-masing menurut perkiraan 1:1 (sebelumnya kekuatan senjata pasukan rata-rata hanya 30% – 50%.
- Setiap anggota harus mempunyai keteranpilan militer
Dari
kekuatan 5 Brigade 42 Batalyon yang datang hijrah dari Jawa Barat direformasi
menjadi 2 Brigade 4 Batalyon lengkap personil dan persenjataanya. Kemudian
dibentuk lagi 1 Brigade tambahan yang terdiri dari Resimen perjuangan, sehingga
kekuatan Siliwangi menjadi 3 Brigade. Siliwangi setelah di re-organisir ini
tidak diberi tanggungjawab pertahanan daerah tetapi disusun kedalam Kesatuan
Reseve Umum X, sedangkan Brigade 1 / SLW B.S langsung dibawah pimpinan Angkatan
Perang.
Panglima
Siliwangi setibanya di Yogyakarta dari Jawa Barat, didalam laporannya kepada
Wakil Staff Umum menggambarkan pengalaman Divisi Siliwangi di Jawa Barat
melaksanakan perlawanan gerilya selama 7 bulan, berbagai kekurangan yang
dialami dan menunjukan pula “bagaima wujud sebenarnya dari pertahanan rakyat”.
Pengalaman-pengalaman berharga yang diperoleh divisi SLW sewaktu menghadapi
Aksi Militer Belanda di Jawa Barat antara lain adalah :
- Pertahanan yang disusun secara pertahanan garis oleh TNI ternyata tidak mampu membendung gerak maju musuh dan dimana-mana mudah diterobos mereka, karena musuh lebih terlatih dengan persenjataan yang lengkap sehingga dapat mengembangkan tehnik dan taktik tempur dilapangan.
- Mobilitas Belanda sukar dihambat hanya dengan memasang rintangan-rintangan dijalan-jalan pendekat karena memiliki kesatuan-kesatuan Zeni dengan peralatan modern.
- Dengan menggunakan taktik gerilya ternyata pasukan TNI lebih efisien dan efektif untuk memukul musuh dimana-mana.
Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) juga
diadakan ditingkat pusat, ditingkat Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia
Panglima Siliwangi diangkat menjadi Wakil Panglima Besar.
Markas Besar APRI menyusun rencana perang,
strategi pertahanan RI dalam menghadapi serangan Belanda yang akan datang.
Reorganisasi TNI menyusun pasukan-pasukan mobile,pasukan-pasukan teritorial dan
organisasi teritorial dari atas sampai ketingkat desa. Secara garis besarnya
adalah berdasarkan inti pengalaman Siliwangi di Jawa Barat.
Intinya adalah Perintah Siasat No. 1 /STOP/ 48
yang ditanda tangani didepan rapat para Panglima Divisi pada bulan Mei 1948.
Perintah siasat No 1 ini berisi konsep pertahanan
rakyat total, tahap-tahap yang dihadapi dan pembagian tugas daerah demi daerah
disebut wehrkreise-wehrkreise yang mandiri yang batu sendinya adalah adalah
pertahanan rakyat desa dibina oleh kader-kader teritorial. Pada tahap pertama
kita melakukan aksi-aksi penghambatan gerak maju musuh serta melakukan
tindakan-tindakan bumi hangus sambil mengundurkan diri, kepangkatan-kepangkatan
gerilya yang telah dipersiapkan, pasukan-pasukan yang berasal dari
daerah-daerah federal (Renville) kembali kedaerah-daerah tugasnya disana.
Dengan demikian digelarkan medan gerilya dari Banten
di Jawa Barat sampai Besuki di Jawa Timur dan menjamin de facto RI berdasarkan
pedesaan dikantong-kantong. Setelah melakukan konsolidasi dalam triwulan ke II
kita mulai dengan aksi-aksi taktis offensif terhadap garis-garis perhubungan
dengan posisi-posisi taktis Belanda dan telah ditentukan sasaran-sasaran
militer, politik, ekonomi dan sosial.
Konsolidasi yang dilakukan harus
mewujudkan “wehrkreise” yang mandiri, pangkalan-pangkalan gerilya diluar kota untuk
dapat melakukan perang rakyat sepanjang masa. Untuk menghadapi itu Belanda
tidak akan mungkin mempunyai tenaga yang cukup, sehingga akhirnya secara
strategis akan terjadi titik balik.”
Tugas SLW didalam strategi perang rakyat total ini
adalah melakukan perang gerilya didaerah asalnya ialah Jawa Barat. Untuk
memungkinkan pelaksanaan tugas ini SLW harus melakukan aksi wingate kembali ke
Jawa Barat, melakukan penetrasi jarak jauh terlebih dahulu dari pangkalan-pangkalannya
di daerah hijrah dan sesampainya didaerah-daerah operasinya masing-masing
kesatuan (Brigade, Batalyon) melakukan konsolidasi teritorial dan membentuk
wehrkreise-wehrkreise sebagai pangkalan-pangkalan perlawanannya.
Perbandingan tempur relatif didalam peperangannya
antara Belanda dan RI, Belanda mengandalkan kepada keunggulan kekuatan
militernya yang modern bertujuan sepenuhnya untuk meniadakan RI dengan
menghancurkan kekuatan angakatan bersenjata TNI. Strategi ini, meminjam teori
Hans Delbruck dinamakan strategi “Niederwerfungs
strategie” sedangkan perjuangan bersenjata RI adalah untuk mempertahankan
kemerdekaannya.
Dengan segala kelemahan dan kekurangannya,
keterbatasan sumber-sumber nasionalnya dan lain-lain TNI mengembangkan
kekuatannya secara terpadu dengan rakyat untuk dapat melakukan perlawanan yang
panjang, tidak terbatas kepada factor waktu. Hans Delbruck menamakannya sebagai
“Ermattungs strategie”.
Pemberontakan PKI di Madiun
Pada
tanggal 18 September 1948 meledak pemberontakan PKI di Madiun, Pidato Presiden
RI pada malam 19 September 1948 antara lain menyatakan :
”Kemarin pagi PKI pimpinan Muso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan disana suatu Pemerintahan Sovyet dibawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh Pemerintah RI. Nyata dengan ini, peristiwa Solo dan Madiun itu tidak berdiri sendiri melainkan adalah suatu rangkaian tindakan untuk merobohkan Pemerintah RI. Madiun harus lekas ditangan kita kembali".
Brigade
Kusno Utomo dan Brigade Sadikin dari SLW yang setelah melakukan reformasi dan
reorganisasi mempunyai daya tempur yang lebih dapat diandalkan digerakan untuk
menumpas pemberontakan ini.
Pada
tanggal 30 September 1948 Brigade Sadikin merebut kembali Madiun dan segera
melakukan link up dengan pasukan yang datang dari timur yakni pasukan dari
Divisi Narutama yang dipimpin oleh Mayor RM Yonosewoyo. Batalyon-batalyon
Nasuhi dan Achmad Wiranatakusumah bergerak ke Pacitan, Batalyon-batalyon Lucas,
Sentot Iskandardinata dan Dharsono melakukan pembersihan didaerah Madiun dimana
Letkol Sadikin menjadi Komandan Militer Daerah. Batalyon-batalyon Kosasih dan
Kemal Idris meneruskan aksi pembersihan ke Purwodadi dan Pati. Dua bulan
kemudian, sesudah pemberontakan terjadi, pasukan-pasukan SLW berhasil menawan
pemimpin-pemimpin tertinggi pemberontakan dengan menghadang induk kekuatan
pasukannya.
Setelah
selesai melaksanakan tugas ini kesatuan-kesatuan SLW kembali melanjutkan tugas
mempersiapkan aksi wingate nya, moril bertambah tinggi karena telah berhasil melaksanakan
tugas mengatasi suatu krisis nasional yang dibebankan kepadanya.
Belanda ingin melanjutkan starategi ujung tombaknya untuk menghancurkan RI
Setelah
aksi militernya yang pertama dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947, Jenderal
Spoor berkesimpulan bahwa, tidak cukup menduduki sebagaian Jawa dan Sumatra,
melainkan diperlukan aksi lanjutan untuk menduduki seluruh pulau-pulau
tersebut. Spoor menuduh bahwa ibu Kota Yogyakarta yang tetap bebas merupakan
sumber semangat perjuangan bagi pasukan-pasukan TNI yang tersebar karena
offensive Belanda untuk menlanjutkan perlawanan gerilya, meskipun pada tanggal
5 Agustus 1947 kedua belah pihak telah memaklumkan penghentian tembak menembak.
Guna
realisasi pendudukan sisa daerah Republik di Jawa, Jendral Spoor tetap
berpegang kepada strategi UJUNG TOMBAK.
Jendral Simon Hendrik Spoor |
Pada
pertengahan Agustus 1947 Spoor menyususn rencana operasi Cato yang berisi
rencana gerak maju kolone-kolone tempur mobile Belanda lewat darat ke
Yogyakarta, Solo, Kediri dan Jombang. Akhir
Agustus 1947 Kabinet Beel di Negeri Belanda memutuskan untuk melakukan kembali
perundingan dengan pihak RI, akan tetapi 16 bulan kemudian aksi polisionil
kedua dimulai lagi pada tanggal 19 Desember 1948. Operasi pendudukan Jawa
seluruhnya diberinama sandi “Operatie Kraai” yang sasaran utamanya adalah
Yogyakarta yang akan digempur oleh tiga gugus tempur.
Pada
hari H, satu-satunya kompi KNIL akan terjun dilapangan terbang Maguwo dan akan
disusul oleh Korps Speciale Troepen (KST) dan tiga batalyon infantri. Mereka
akan merebut Yogyakarta bersama satu batalyon dari Brigade T dari Semarang akan
bergerak lewat darat bersamaan dengan Brigade V dari Banyumas dan
pasukan-pasukan lain untuk sasaran-sasaran penting di Jawa Tengah dan Jawa
Timur serta khusus pendudukan Bukittinggi di Sumatera.
Pengalaman
sesudah PK 1 memberi kenyakinan kepada Jendral Spoor bahwa setelah pulau Jawa
diduduki seluruhnya, tentara Belanda dapat melaksanakan kontra gerilya dengan
hasil yang baik karena diperkirakan pasukan-pasukan TNI tidak akan dapat
melanjutkan perang gerilya yang lama yang disebabkan demoralisasi TNI setelah
pemimpin-pemimpinnya ditangkap.
Operatie
Kraai kemudian tidak jadi dilaksanakan karena persetujuan Renville pada 17
Januari 1948 RI harus mengakui garis demarkasi Van Mook dan kurang lebih 30.000
pasukan gerilya akan ditarik dari kantong-kantong gerilya didaerah-daerah yang
diduduki Belanda.
Setelah
dilakukan beberapakali revisi rencana Operasi Kraai, maka akhirnya pada bulan
Oktober 1948 tujuan strategis militer dari tindakan militer Belanda disusun
dalan petunjuk-petunjuk operasional sebagai berikut:
- Pusat-pusat Pemerintah Yogyakarta dan Bukuttinggi (Fort de Kock)
- Daerah-daerah di Jawa yang belum diduduki oleh tentara Belanda
- Wilayah sebesar mungkin dari Sumatra
Didalam
Operasi Kraai ini pendudukan Jawa dan Sumatra tidak dianggap sebagai sasaran
strategis akhir yang harus dilakukan tetapi sebagai sarana untuk meniadakan RI
dan untuk menghancurkan TNI. Untuk melaksanakan tugas strategis ini kekuatan
Belanda diorganisir didalam kolone-kolone tempur untuk melakukan penyerangan
denganterlebih dahulu melumpuhkan Pemerintah RI dan pimpinan Angkatan
Perangnya, kemudian sentra-sentra pimpinan tentara dan posisi-posisi penting
militer lainnya.
Pengalaman-pengalaman
Belanda selama aksi politionilnya yang pertama mengajarkan bahwa bukan
perebutan dan pendudukan wilayah yang harus diutamakan, tetapi penghancuran
kekuatan bersenjata musuh terlebih dahulu dijdikan prioritas yang pertama untuk
kenudian dapat dicapai tujuan politik yang dikehendaki dan dilakukan
pembangunan ekonomi.
Pengalaman Siliwangi
tentang perang melawan para penjajah sudah matang, apalagi setelah mendapat
penggodogan oleh pemimpin kita di Markas Besar di Yogjakarta, kemudian
penggodogan itu dijadikan garis kebijaksanaan dalam rangka menghadapi
kemungkinan agresi Belanda yang berikutnya, yang oleh pemimpin Angkatan Darat
dinyatakan pasti akan terjadi pada suatu waktu, walaupun belum diketahui kapan
terjadinya.
Pimpinan
APRI antara lain Kolonel A.H Nasution yang pada waktu itu menjabat sebagai
Kepala Staf Operasi MBAP yang sekaligus merangkap sebagai Wakil Panglima Besar
dengan seksama telah menyusun suatu rencana mengenai persiapan ”Aksi
Wingate” untuk ke Jawa Barat dan karena berdasarkan pengalaman masa perang
kemerdekaan pertama yakni dalam menanggulangi agresi Militer Belanda Pertama
dulu, maka disusunlah Rencana Operasi Militer dalam Perintah Siasat No.1 yang
kita kenal dengan “Perintah Siasat
No.1 “ atau “Perintah Panglima Besar
No.1” yang isinya tentang Instruksi Panglima Besar Sudirman tertanggal
Yogjakarta 9 November 1948 yaitu antara lain :
- Tidak lagi menggelar pertahanan linier di dalam menanggulangi agresi militer Belanda.
- Meniadakan politik bumi hangus.
- Meniadakan pengungsian yang ditulangpunggungi oleh politik non kompromi sepenuhnya.
- Pembentukan wehrkreise wehrkreise sebagai basis perlawanan gerilya dan pemerintahan gerilya.
- Kesatuan-kesatuan yang telah berhijrah, harus bergerak menyusup kembali ke kedudukannya sebelum dihijrahkan, untuk menyusun wehrkreise - wehrkreisenya.
Panglima Besar Jendral Sudirman |
Pada tanggal 29 Oktober 1948 karena berita tentang kasus korupsi Gubernur Jenderal Van Mook semakin melebar, akhirnya pemerintah Belanda mengganti Van Mook dengan Gubernur jenderal yang baru oleh Louis Joseph Maria Bell.
Setelah proses pengkajian yang cukup intensif dan panjang antara pihak pemerintah dan militer Belanda di Indobesia dengan perintah Belanda di Den Haag serta pembahasan-pembahasan dalam kabinet Belanda, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1948 Menteri Sessen atas nama Pemerintah Belanda mengirim kawat lewat Dinas Sandi Angkatan Laut yang berisi perintah kepada Beel (pengganti Van Mook) untuk melaksanakan “aksi bersenjata total” yang sedapat mungkin tin sebelum tanggal 18 Desember 1948 (perlu dicatat bahwa Dewan Keamanan PBB akan reses pada tanggal 15 Desember, sehingga Dunia Internasional dapat di fail accomplitkan).
Setelah proses pengkajian yang cukup intensif dan panjang antara pihak pemerintah dan militer Belanda di Indobesia dengan perintah Belanda di Den Haag serta pembahasan-pembahasan dalam kabinet Belanda, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1948 Menteri Sessen atas nama Pemerintah Belanda mengirim kawat lewat Dinas Sandi Angkatan Laut yang berisi perintah kepada Beel (pengganti Van Mook) untuk melaksanakan “aksi bersenjata total” yang sedapat mungkin tin sebelum tanggal 18 Desember 1948 (perlu dicatat bahwa Dewan Keamanan PBB akan reses pada tanggal 15 Desember, sehingga Dunia Internasional dapat di fail accomplitkan).
|
Pada
tanggal 14 Desember 1948 Beel mengirimkan kawat kepada Sassen bahwa jam D
adalah pukul 00.01 tanggal 18 Desember, Jendral Spoor memerintahkan kepada
jajarannya : “Kraai dag Dirk zaterdag achttien December”.
Perintah Kilat No 1 Panglima
Besar Soedirman
Pada
tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 Angkatan Perang Belanda menyerang wilayah Republik
Indonesia “zwaartepunt” (titik berat) serangan Belanda diutamakan di Jawa
Tengah, yang dengan serangan mendadak merebut dan menduduki Yogyakarta dengan
tujuan untuk meniadakan Pemerintah RI, menangkap pimpinan Pemerintah dan
pimpinan angkatan perang. Serangan menduduki lapangan terbang Maguwo
dilaksanakan tanpa hambatan yang berarti. Dua Kompi Para Belanda melakukan
serbuan udara dengan perlindungan udara yang kuat. Dalam waktu yang cepat
sebagai follow up didaratkan pasukan-pasukan Komando (KST) dan dua Yonif. Tujuh
jam kemudian ibu kota Yogyakarta diduduki oleh pasukan-pasukan Belanda.
KST mengusasi Lapangan Terbang Maguwo 19 Desember 1948 |
Sesaat akan memasuki Kota Yogyakarta |
Menguasai Kota Yogyakarta |
Pimpinan
Pemerintah RI sebagian besar ditawan oleh Belanda tetapi Panglima Besar
Angkatan Perang RI didalam keadaaan sakit berhasil menuju kearah selatan ibu
kota untuk dapat melanjutkan perjuangan. Didaerah-daerah
lain secara serentak Belanda menggerakan tiga Brigade menuju daerah pedalaman
untuk merebut Wonosobo, Magelang, Surakarta. Satu Batalyon diperkuat
unsur-unsur Kavaleri bergerak dari Demak untuk merebut Cepu. Di Jawa Barat satu
Brigade dari Brigade C “7 Desember” pada tanggal 23 Desember 1948 menyerbu
untuk menguasai Banten dan di Jawa Timur Brigade Marinir Belanda dan
kesatuan-kesatuan lainnya dari Divisi A merebut dan menduduki kota-kota RI yang
masih tersisa.
Umumnya
pasukan-pasukan Belanda menduduki kota-kota didalam keadaan dibumi hanguskan
dan mendpat perlawanan pasukan-pasukan TNI yang ditugaskan melakukan
pertempuran-pertempuran penghambat untuk memberikan waktu dan ruang kepada
induk pasukan-pasukan TNI bersama unsur-unsur pemerintah daerah menghindarkan
pertempuran-pertempuran yang menentukan untuk menuju ke pangkalan-pangkalan
perlawanan “wehrkreise-wehrkreise” yang telah dipersiapkan untuk beralih ke
pertempuran gerilya.
Brigade-Brigade
SLW telah berada dipangkalan-pangkalan awalnya yang telah ditetapkan sebelum melakukan
tugasnya melakukan aksi wingate ke Jawa Barat. Ketika itu Brigade dengan
Batalyon-batalyon nya sedang dalam konsolidasi setelah selesai melaksanakan
tugas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Moril pasukan berada dalam
keadaan tinggi karena didalam operasi-operasinya penumpasan PKI mendapatkan
kemenangan-kemenganan dan rampasan senjata yang cukup banayak dan diliputi oleh
perasaan bahwa waktu untuk kembali ke Jawa Barat sudah dekat.
Brigade-Brigade
SLW telah berada didalam keadaan siap berangkat. Rencana-rencana operasi sudah
disusun antara lain penentuan route perjalanan, daerah-daerah sasaran tiap
batalyon di Jawa Barat rencana Logstik; Divisi memberikan arahan-arahan
strategis, sedangkan pada operasi dan taktiknya masing-masing.
Rencana operasi tiap kesatuan:
1.
Brigade
12
dibawah pimpinan Letnan Kolonel Kusno Utomo, terdiri dari :
- Batalyon R.A Kosasih bergerak dari Magelang menuju Sukabumi, Bogor
- Batalyon Achmad Wiranatakusumah bergerak dari Solo menuju Bandung Selatan
- Batalyon ini ditugaskan terlebih dahulu untuk mengawal Staf Divisi Siliwangi (SDS) sampai daerah Tasikmalaya Utara, untuk kemudian lanjut kedaerah tujuan tugasnya
- Batalyon Kemal Idris, bergerak dari Yogyakarta menuju Cianjur
- Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata, bergerak dari Yogyakarta menuju Garut.
2.
Brigade
13
dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin, terdiri dari :
- Batalyon Rukman : telah berangkat terlebih dahulu dan sudah menyusun wehrkreise didaerah Kuningan, Cirebon.
- Batalyon Abdurachman, bergerak dari Wonosobo menuju Sumedang
- Batalyon Lucas, bergerak dari Banjarnegara menuju Karawang, Purwakarta.
- Batalyon Dharsono, bergerak dariBanjarnegara menuju Gunung Sanggabuana.
3.
Brigade
14
dibawah pimpinan pimpinan Mayor Syamsu, terdiri dari :
- Batalyon Nasuhi, bergerak dari Temanggung menuju Ciamis Utara
- Batalyon Husensyah, bergerak dari Purworejo menuju Tasikmalaya Utara
- Batalyon Sudarman, bergerak dari Magelang menuju Ciamis Selatan
- Batalyon Rivai, bergerak dari Muntilan menuju Tasikmalaya Selatan
4.
Kesatuan-kesatuan lain yang bergerak
ke Jawa Barat tidak dalam hubungan Brigade/ Batalyon adalah :
- Co-Troeps dibawah pimpinan Mayor Umar Wirahadikusumah
- Kompi Tentara Pelajar dibawah Kapten Solihin Gautama Purwanegara
- Kompi CPM dibawah pimpinan Kapten A.J Kusno
- Kompi CPM dibawah pimpinan Lettu Emon Suparman
- Batalyon Depot Pendidikan
- Dan lain-lain
5.
Dari unsur MBKD berangkat suatu tim
perwira dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala wakil Kepala Staf
Teritorial untuk membentuk Pos X MBKD di Jawa Barat.
Batalyon-Batalyon
SLW umumnya mengetahui apa yang harus dilakukan pada tanggal 19 Desember 1949
begitu mengetahui Belanda menyerang tanpa menunggu lagi kode “Aloha” segara berangkat melakukan aksi
wingate menyusup ke Jawa Barat. Didalam melakukan penyusupan-penyusupan SLW
diperintahkan untuk menghindarkan pertempuran-pertempuran dengan pihak Belanda
untuk menghemat tenaga tempur dan mesiu kecuali bilamana situasi taktis
menghendaki.
Perintah Kilat Nomor 1 Panglima Besar mulai dilaksanakan terutama yang berbunyi : “Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”.
“Speerpunten Starategie”
Belanda berhasil, sebagian ibu kota berhasil didudukinya dan menangkap dan
menawan sebagian pimpinan Pemerintah RI. Tetapi Belanada tidak berhasil
menangkap pimpinan Angkatan Perang RI. Dan Kolone-kolone tempurnya yang
menyerang bagaikan tombak-tombak yang dilancarkan untuk menyerang sentra-sentra
pimpinan TNI dan mengepung daerah-daerah pemusatan TNI tidak berhasil untuk
menghancurkannya. TNI beralih ke offensive, baginya perang baru dimulai.
satu per satu otoritas Republik ditahan tentara Belanda |
satu persatu otoritas Republik ditahan tentara Belanda |
Overste Van Langen saat penangkapan Soekarno-Hatta |
Pasukan-pasukan
SLW bergerak menyusup ke Jawa Barat, begitu pula pasukan-pasukan TNI lainnya
memasuki daerah-daerah yang telah diduduki Belanda (daerah federal) antara lain
dari Divisi Diponegoro:
- Brigade Bachrun, menyusup kedaerah Pekalongan
- Brigade Hayam Wuruk, telah berhasil menyusup kedaerah Surabaya
- Brigade Damarwulan, telah berhasil menyusup ke daerah Jember
Kesatuan-kesatuan
TNI yang sebelum Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua terpusatkan
didalam daerah RI yang relatif tidak luas, setelah serangan Belanda melakukan
outbreaks karena tidak ada garis demarkasi, garis-garis front lagi dan
melakukan penyebaran mengambil posisi untuk melakukan perlawanan gerilya.
Ketidakpuasan
Belanda dinyatakan oleh Mayor Jendral Meyer, Panglima Divisi B pada tanggal 30
Desember 1948:
“Nampaknya makin jelas apa yang direncakanan oleh bekas Republik Indonesia yaitu setelah Belanda melakukan doorstootnya sebanyak mungkin menimbulkan kekacauan didaerah belakangnya dengan melakukan penyerangan terhadap pos-pos kecil, patrol-patroli, mengganggu jalan-jalan perhubungan, pendeknya untuk melakukan perlawanan gerilya seluas mungkin. Bekas Tentara Republik akibat offensif Belanda tersebar, tetapi masih memiliki senjata secara utuh dan sama sekali tidak hancur.”
(Didalam
pernyataan aslinya bekas RI disebut sebagai “de
voormalige republiek” dan bekas Tentara Republik disebut sebagai “het ex-Rep leger”)
Aksi
Wingate SLW didalam pelaksanaannya tidak dilakukan dalam hubungan divisi yang
secara sentral dipimpin oleh Panglima Komandan Brigade tetapi di
desentralisasikan pada tingkat batalyon-batalyon nya. Sehingga dengan demikian
gerakan dapat dilakukan dengan cepat, lebih kenyal, mobile, memudahkan komando
dan pengendalian, bantuan logistic lebih menguntungkan dll.
Umumnya
batalyon-batalyon SLW didalam gerak penyusupannya menggunakan dua poros gerak
yaitu :
- Poros gerak Wonosobo – Lembah Serayu – Gunung Selamet (lereng selatan) – Bumiayu – Salem – Perbatasan Jawa Barat
- Poros gerak Wonosobo – Karangkobar – Pegunungan Dieng – Gunung Selamet (lereng utara) – Bumiayu – Salem – Perbatasan Jawa Barat.
Situasi
taktis yang berkembang dilapangan yang dihadapi tipe batalyon tidak sama.
Batalyon Tajimalela/ 13 melakukan pertempuran perjumpaan di Banjarnegara dengan
batalyon Belanda yang melakukan gerak maju dari Purwokerto untuk menduduki
Wonosobo, dan berhasil menahan Belanda selama 24 jam.
Sekalipun Belanda mendapatkan bantuan dari udara dan perkutan 1 batalyon, Batalyon Sudarman/ 14 dapat menembak jatuh pesawat terbang Belanda di daerah Kaliangkrik. Sedangkan batalyon-batalyon Suryakencana/12 dan Batalyon Tengkorak/ 14 dapat menghadang konvooi Belanda diantara Magelang dan Tempel juga mendapatkan rampasan-rampasan senjata.
Sekalipun Belanda mendapatkan bantuan dari udara dan perkutan 1 batalyon, Batalyon Sudarman/ 14 dapat menembak jatuh pesawat terbang Belanda di daerah Kaliangkrik. Sedangkan batalyon-batalyon Suryakencana/12 dan Batalyon Tengkorak/ 14 dapat menghadang konvooi Belanda diantara Magelang dan Tempel juga mendapatkan rampasan-rampasan senjata.
Dalam
perjalanan selanjutnya mengalami pemboman udara dan tembakan-tembakan artileri
di dekat perbatasan Jawa Barat. Batalyon Abdurachman melakukan melakukan
pertempuran perjumpaan dengan usaha Belanda yang berusaha menghadangnya.
Batalyon
Kiansantang/ 13 bertindak agresif sepanjang perjalanannya sampai didaerah
tugasnya di Jawa Barat menyerang setiap sasaran yang dijumpai, mulai dari
penghadangan konvooi didaerah Bobotsari, penyerangan pos Belanda di Ajibarang
dan lain-lain.
Tetapi
SLW juga mengalami kerugian yang amat besar dengan tertawannya Letnan Kolonel
Daan Yahya sebagai Staf merangkap Panglima Divisi SLW bersama Komandan Batalyon
Daeng Mayor Daeng Muhammad Ardiwinata dari Brigade 13 SLW oleh Brigade Infantri
V (Andjing Nica) Belanda. Prahara Long March Siliwangi ini, dikarenakan Panglima Letkol Daan Yahya tertangkap maka jabatan beliau digantikan Letkol Sadikin, namun karena sulitnya komunikasi dilain tempat diangkat juga Letkol Abimayu sebagai panglima. Karena terjadinya dualisme kepemimpinan maka akhirnya diputuskan dibagi menjadi dua kekuasaan daerah militer panglima.
Koleksi pribadi Daeng Muhammad Ardiwinata |
Brigade
W dari Divisi B Belanda yang menempati suatu “grendelpositie” didaerah
perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat tidak dapat menggagalkan dan menahan maju
kearah barat 1 divisi TNI yang terdiri dari 14 batalyon yang sebagian besar
diikuti oleh rombongan keluarganya.
Setelah
menyebrang perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat umumnya batalyon-batalyon
menyebar menuju pangkalan gerilya nya masing-masing. Brigade 12 dan 13 sampai didaerah tugasnya masing-masing praktis dalam keadaan utuh hanya mengalami
kerugian personil/ materiil kurang dari 5%.
Kerugian
yang terbesar dialami oleh Brigade 14 yang ditugaskan untuk menyusun wehrkreise
di Priangan Timur yaitu Batalyon Siluman/ 12. Staf Divisi SLW, Co Troeps yang
tidak terduga ialah kekuatan DI/TII yang menghadang pasukan-pasukan SLW ini.
Dari
keempat Batalyon Brigade 14 hanya tinggal Batalyon Tengkorak dibawah pimpinan
Mayor Nasuhi yang utuh dan tetap bertugas di Ciamis utara sedangkan Batalyon
Garuda Hitam dibawah pimpinan Mayor A. Rivai yang seharusnya menempati daerah
Tasikmalaya selatan setelah mengalami pertempuran besar dengan pasukan DI/TII
di Antralina pada tanggal 25 Januari 1949 melanjutkan perjalanannya ke daerah
Majalaya, bandung selatan.
Laporan-laporan
situasi Divisi C “7 Desember”, menyatakan :
“ tidak dbahwa pada bulan-bulan Januari dan Februari 1949 Divisi Siliwangi secara infiltrasi in companies gewijs memasuki Jawa Barat dari Jawa Tengah melalui gunung Selamet. Pasukan-pasukan infantri Belanda dibantu oleh kekuatan udara berhasil memberikan masing-masing kerugian yang besar kepadanya, tetapi tidak berhasil menghentikan pergerakannya. Pada awal Februari operasi-operasi pembersihan dan patrol-patroli yang intensif dibantu oleh angkatan udaraapat mencegah ketiga Brigade SLW yang menyebar kedaerah wehrkreise-wehrkreise nya yang telah ditetapkan.”
Perlawanan-perlawanan
gerilya TNI di Jawa Barat mulai meningkat, di Banten Brigade 15 mulai
pertengahan Januari 1949 sesudah mengadakan konsolidasi didaerah selata mulai
mengadakan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda, garis-garis perhubungan
dan lain-lain.
Brigade
13 di Jawa Barat utara masing-masing batalyonnya telah membentuk
wehrkreise-wehrkreise nya didaerah tugasnya masing-masing bertindak offensif
melakukan aksi-aksi gerilya terhadap Belanda.
Brigade
12 didaerah Priangan Barat, pasukan-pasukan SLW mengarahkan
serangan-serangannya terhadap perkebunan-perkebunan, pos-pos Belanda yang
terpencil, garis-garis perhubungan, konvooi-konvooi militer, penghancuran
jembatan-jembatan.
Divisi
C “7 December” berada didalam posisi
yang sulit. Pasukan-pasukan lawannya tidak berhasil dihancurkan didalam
agresi militer yang pertama di Jawa Barat, telah kembali berhadapan dalam
keadaan yang lebih berpengalaman tertempa berbagai pertempuran dan bermotivasi
yang sedang tinggi-tingginya.
Sekalipun
dinyatakan oleh Jendral Spoor pada tanggal 25 Desember 1948, bahwa TNI sudah
dapat disapu bersih dari muka bumi, ternyata merupakan suatu organisasi
ketentaraan yang tangguh, yang melaksanakan operasi-operasinya berdasarkan suatu
rencana strategi yang sentral.
Tersebarnya
pasukan-pasukan TNI disatu wilayah yang relatif luas di Jawa Barat yang
melakukan aksi-aksi gerilyanya yang agresif, memaksa Divisi C “7 December”
untuk tidak berperang dengan mengandalkan keunggulan teknis militernya didalam
hubungan brigade – batalyon, tetapi menggelar kekuatannya sampai tingkat kompi
dan peleton untuk selanjutnya dipecah didalam pos-pos kecil tersebar untuk
mengamankan objek-objek ekonomis yang penting baginya.
Bantuan
rakyat didalam peperangan gerilya merupakan faktor yang sangat menentukan,
batuan rakyat memungkinkan pasukan-pasukan TNI sebagai suatu tentara gerilya
dapat hidup dan melakukan peperangan gerilya dalam jangka waktu yang lama
dikarenakan mendapatkan bantuan logistik, bantuan intelejen, penyebaran
desinformasi dan lain sebagainya. Dengan adanya sistem pager desa didalam
rangka pertahanan rakyat total yang di instruksikan oleh Panglima Komando Jawa
Barat Kolonel A.H Nasution ditiap-tiap desa memungkinkan pasukan-pasukan TNI
mendapat sumber tenaga pengganti dari rakyat yang terlatih.
“Bahwa karena medan operasi yang berat, jumlah pasukan terbatas, sistem pemberitahuan (warning system) musuh yang baik, serangan-serangan udara yang tidak dilanjutkan serangan-serangan darat menyebabkan kita tidak berhasil untuk mengepung dan menghancurkan sejumlah besar pasukan musuh.”
(Laporan aslinya menyebut “gewapende benden”
–gerombolan bersenjata)
Aksi-aksi
gerilya SLW secara taktis dan terus menerus memberikan tekanan-tekanan kepada
pihak lawan tetapi tidak dapat merebut kota-kota yang diduduki Belanda,
sebaliknya Divisi “7 “December” tidak dapat hancurkan wehrkreise-wehrkreise
TNI.
Moril
pasukan Belanda benar-benar menurun, karena kerugian-kerugian personilnya yang
terus-menerus meningkat, tugas-tugas dilapangan yang makin berat dan
melelahkan, perspektif untuk memenangkan peperangan melawan gerilya makin tidak
jelas.
Akhirnya
Belanda dihadapkan kepada kebuntuan militer (military impasse). Perlawanan
gerilya TNI diseluruh kepulauan Jawa dan Sumatera oleh TNI intensif, sehingga
Belanda menyebutkannya bagaimana menghadapinya sebagai “uitzichtloos”.
Pemerintah
Belanda akhirnya berkesimpulan bahwa untuk melakukan operasi-operasi pasifikasi
terhadap gerilya TNI bukan masalah untuk dapatnya diselesaikan didalam waktu 6
bulan, tetapi paling tidak memerlukan investasi militer yang besar untuk jangka
waktu 1.5 tahun kedepan sedangkan Amerika Serikat mengancamnya dengan akan
menghentikan bantuan militer dan ekonominya.
Pertahanan
rakyat total sebagai strategi pertahanan RI berhasil membuntukan strategi
militer Belanda yang hendak menghancurkan RI dan ini ternyata cukup kuat untuk
memaksa Pemerintah Belanda mencari penyelesaian dibidang politik, tetapi kali
ini posisi RI berada didalam keadaan yang tidak dapat ditekan oleh Belanda.
Mayor Jenderal Engles, Panglima Divisi C “7 December sejak pertengahan Februari 1949 telah mengingatkan bahwa :
“Perbandingan kekuatan antara mereka dan kekuatan pasukan-pasukan infantry kita yang tidak seimbang, sekalipun dibantu oleh keunggulan artileri dan bantuan udara, dikompensasikan dengan pengetahuan mereka tentang medan yang baik dan mendapatkan bantuan dari rakyat sudah dapat disimpulkan bahwa bilamana ditingkat politik diatas tidak dilakukan sesuatu akan menimbulkan perkembangan keadaan yang sangat tidak menguntungkan”.
Sumber
:
Kodam III Siliwangi, Seminar Long March Siliwangi
18 Mei 1992
Tulisan yang keren... sesama pencinta sejarah saluuttt boss.. saya suka baca nya... dan meresapi seluruh perjuangan leluruh kita dulu... Merdeka 70th bungg.... :)
BalasHapusHebat banget yang posting! Bisa lengkap dan rinci. Makasih infonya ^^
BalasHapus