Awal
Pergerakan Konspirasi PKI di Madiun
Sepuluh hari setelah
Aksi MIliter I Belanda, Kabinet
bersidang. Sidang Kabinet tanggal 1 Agustus 1947 itu antara lain memutuskan
untuk membentuk dua Daerah Militer Istimewa, yaitu : Daerah Militer Istimewa
Yogyakarta dan Daerah Militer Istimewa
Surakarta. Kedua Daerah Militer Istimewa ini dipimpin oleh seorang
Gubernur Militer yang IX). Sedangkan untuk Daerah Militer Istimewa Surakarta
ditunjuk Menteri Wikana, salah menjabatnya sekaligus ditunjuk dalam sidang
tersebut.
Sebagai Gubernur Jenderal Daerah Militer Istimewa Yogyakarta ditunjuk
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (sebulan kemudian digantikan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono seorang pemimpin Pesindo. Masing-masing Gubernur Jendral
berpangkat titular Letnan Jendral. Pada tanggal 22 Agustus 1947 Perdana
Menteri/ Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin melantik Menteri Wikana menjadi
Gubernur Daerah Militer Istimewa Surakarta beserta para anggota staff nya
antara lain :
- Mayor Jendral Soetarto sebagai Panglima Divisi IV
- Kolonel Fadjar sebagai Komandan Teritorial
- Soediro sebagai Residen Surakarta
Dengan demikian
Surakarta secara resmi menjadi Daerah Militer Istimewa, pada akhir pidato
pelantikan itu Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menutup pidatonya dengan
kalimat “Van Soerakarta begint de Victorie” (dari Surakarta dimulainya
kemenangan). Kalimat terakhir pada pidato itu dianggap wajar, tidak seorang pun
mewaspadai dan tidak seorang pun mengetahui maksudnya. Hanya orang-orang tertentu
yang mengerti dibalik ucapannya itu, karena RI sedang dalam suasana dan
semangat melawan Aksi Militer I Belanda. Tidak pernah menduga bahwa itu adalah
ucapan sebagai Perintah Amir Sjarifuddin kepada Wikana. Selanjutnya yang
diketahui adalah aktivitas PKI yang meningkat di Surakarta.
|
Kader FDR - PKI Madiun |
Operasi
Penumpasan PKI
Pada waktu terjadinya
perebutan kekuasaan tanggal 18 September 1948 di Madiun, Panglima Besar Jendral
Soedirman sedang berada di Magelang, sedangkan Kolonel A.H Nasution Kepala Staf
nya sedang berada di ibu kota Yogyakarta. Setelah mendapat berita adanya perebutan
kekuasaan di Madiun, Kolonel A.H Nasution segera menghadap Presiden di Istana
bersama Mentreri Pendidikan Mr. Ali Sastroamidjoyo. Di Istana juga sudah hadir
Menteri Negara Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Presiden kemudian menugaskan
Kolonel A.H Nasution untuk menyusun rencana operasi berdasarkan Instruksi
tersebut.
Presiden/ Panglima
tertinggi Angkatan Perang menginstruksikan untuk merebut kembali Madiun dan membasmi
para pemberontak lewat pidato yang disiarkan radio pada pukul 22.00 pada tanggal
19 September 1948. Setelah pidato itu di Markas Besar Tentara (MBT) berlangsung
melakukan rapat yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dengan
para Perwira Staf MBT guna menggariskan petunjuk operasi penumpasan
pemberontakan PKI di Madiun kepada kesatuan-kesatuan TNI. Dengan dilancarkannya
operasi tersebut diharapkan Madiun dan kota-kota sekitarnya dapat dikuasai
kembali.
Operasi penumpasan
dipimpin langsung oleh Gubernur Militer/ Panglima Divisi II Kolonel Gatot
Subroto. Panglima Divisi II Kolonel drg. Moestopo ditetapkan pula sebagai Wakil
Panglima Operasi, sedang Letnan Kolonel Abimayu Kepala staf KRU ditunjuk
menjadi Kepala Staf Operasi yang dibantu oleh beberapa orang asisten yaitu
Mayor Abdul Kadir, Mayor Taswin menjadi Staf dari Gubernur Militer II.
Adapun Pasukan KRU-Z (Siliwangi)
yang dikerahkan untuk operasi ini berkekuatan tiga Brigade yaitu :
Brigade
12 :
Pimpinan Koesno
Oetomo berkekuatan 4 Batalyon yang berkedudukan di Yogyakarta.
- Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata
berkedududkan di Rewulu, Godean.
- Batalyon Achmad Wiranatakusumah
berkedudukan di Beran, Sleman.
- Batalyon R.A Kosasih berkedudukan di
Yogyakarta
- Batalyon Kemal Idris yang berkedudukan
di Yogyakarta
Brigade
13 :
Pimpinan Letnan
Kolonel Sadikin, berkekuatan 4 Batalyon yang berkedudukan di Solo.
- Batalyon Sambas berkedududkan di
Tasikmadu
- Batalyon Umar Wirahadikusumah
berkedudukan di Colomadu
- Batalyon Sentot Iskandardinata
berkedudukan di Sragen
- Batalyon Rukman telah diperintahkan
meninggalkan Jawa Tengah untuk melaksanakan gerakan wingate ke Jawa Barat.
Sehingga yang tadinya 4 Batalyon tinggal menjadi 3 Batalyon.
Brigade
14 :
Pimpian Letnan
Kolonel Edi Sukardi, berkekuatan 3 Batalyon yang berkedudukan di Magelang.
- Batalyon Sudarman
- Batalyon Rivai
- Batalyon Huseinsyah
Pada bulan September
1948 menjelang pecahnya pemberontakan PKI, kepada Brigade ini dibawah perintah
satu Batalyon Pengawal Markas Besar Tentara (MBT) berkekuatan 4 Kompi yang
dipimpin oleh Mayor Nasuhi.
Disamping kekuatan
yang berasal dari Kesatuan Reserve Umum-Z (KRU-Z) atau Divisi Siliwangi, ikut
pula dikerahkan 4 Kompi Kesatuan Taruna Militer Akademi (MA) Yogyakarta yaitu :
Kompi S, Kompi T dan Kompi U dari Taruna Akabri angkatan pertama dijadikan 2 Detasemen.
Satu Detasemen diperintahkan pada Batalyon Nasuhi, sedangkan satu Detasemen
lainya sebagai Detasemen berdiri sendiri. Taruna Angkatan kedua ini diikut
sertakan dalam operasi ini sebenarnya sedang melaksanakan pendidikan radio
telegrafi, bahasa asing dan sekolah olahraga (SORA) di Sarangan.
Dari pasukan
Panembahan Senopati diperbantukan Batalyon Sumadi, berkedudukan di Mahanan
untuk memperkuat pasukan yang dipersiapkan bergerak ke Madiun. Dengan demikian
jumlah kekuatan pasukan kita untuk melakukan operasi penumpasan dari arah barat
adalah sebanyak 12 Batalyon.
Secara garis besar
kesatuan-kesatuan yang digunakan dan arah gerakan ditentukan dalam rapat Komado
Divisi II/ Gubernur Militer II pada tanggal 21 September 1948.
Keputusan-keputusan rapat tersebut adalah :
Kesatuan
yang dikerahkan yaitu Brigade 12, Brigade 13, Brigade 14 (Batalyon Nasuhi dan
Batalyon Huseinsyah). Brigade 6 oleh Batalyon Sumadi, batalyon Soeryosoempeno
dari STC Kedu dan Pasukan-Pasukan lain bergerak dari Solo menuju daerah Madiun,
Purwodadi dan Pati.
Gerakan
ke sasaran Madiun dilakukan dalam tiga poros gerakan :
1.
Poros : Solo – Sragen – Ngawi
2.
Poros : Solo – Tawangmangu – Madiun
3.
Poros : Solo – Wonogiri – Pacitan –
Ponorogo
Gerakan
kesasaran di utara Surakarta menuju daerah
Purwodadi, Pati, Kudus dan Blora.
Pelaksanaan
Operasi
Berdasarkan Surat
Perintah Komandan KRU-Z tanggal 21 September 1948 pasukan-pasukan yang
digerakan dalam operasi pembebasan Kota Madiun dari arah barat pimpinan Letnan
Kolonel Sadikin.
Gerakan dari arah
barat dibagi menjadi tiga poros.
Pertama, pasukan
bergerak dari Surakarta menuju Karanganyar – Tawangmangu – Sarangan – Plaosan – Magetan – Maospati. Merupakan poros
gerakan operasi dari Brigade 13 KRU-Z dengan kekuatan Batalyon yaitu :
- Batalyon
Sambas
- Batalyon
Umar Wirahadikusumah
- Batalyon
Daeng Muhammad Ardiwinata
- Batalyon
Achmad Wiranatakusumah
Kedua, pasukan yang
bergerak dari Surakarta menuju Ngawi lewat Sragen – Walikukun merupakan gerakan
melambung dengan kekuatan 2 batalyon yaitu :
- Batalyon
Sentot Iskandardinata
- Batalyon
Sumadi, yang berasal dari Brigade 13 KRU-Z dan Brigade 6 Divisi II
Ketiga, pasukan yang
bergerak dari Solo – Sukaharjo – Wonogiri – Pacitan – Ponorogo dengan kekuatan
2 Batalyon yaitu :
- Batalyon
A. Nasuhi
- Batalyon
Huseinsyah
Sesuai dengan rencana
operasi Batalyon Sambas ditetapkan sebagai kekuatan pemukul dan Batalyon Achmad
sebagai cadangan, sedang kelompok Komado Brigade mengikuti gerakan Batalyon
Umar. Batalyon Sambas yang terdiri dari 3 Kompi berangkat dari Tasikmadu menuju
Tawangmangu lewat Karangpandan pada tanggal 25 September 1948. Tiga Batalyon
lainnya yaitu Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata, Batalyon Umar Wirahadikusumah
dan Batalyon Achmad Wiranatakusumah diberangkatkan dari Solo. Tawangmangu
ditetapkan sebagai garis awal gerakan.
Di Tawangmangu
ditetapkan, Komandan Brigade 13 Letnan Kolonel Sadikin memberikan briefing
kepada para Komandan Batalyon bahwa tipe gerakan adalah “gerakan kilat” model
Jepang, dengan membentuk kelompok-kelompok kecil menyusup ke lambung musuh
untuk memberikan dan menyebarkan kepanikan. Kedalam Kota Madiun telah
disusupkan anggota intelejen guna mendeteksi keadaan medan.
Setelah menguasai
Sarangan, Komandan Brigade Letnan Kolonel Sadikin mengeluarkan perintah operasi
baru. Batalyon Achmad Wiranatakusumah bergerak ke Pacitan dan Batalyon Daeng
Muhammad Ardiwinata bergerak ke Maospati, Batalyon Umar Wirahadikusumah
bergerak ke Ngerambe, Panekan, Magetan dan Kelompok Komado Brigade dengan
dikawal satu Kompi Batalyon Umar Wirahadikusumah yaitu Kompi Suparjono menuju
Plaosan.
Sementara Kota madiun
berhasil direbut oleh Batalyon Sambas, pasukan lain telah tersebar menuju
sasaran yang telah ditentukan. Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata dari Plaosan
bergerak menuju Maospati lewat jalan lain dipinggir Kota Magetan untuk mengejar
waktu agar segera dapat menguasai Maospati beserta pangkalan udaranya yang
sangat vital.
Batalyon Daeng
Muhammad Ardiwinata berhasil merebut dan menguasai Maospati. Untuk pengamanan,
pasukan Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata kemudian melakukan operasi
pembersihan berkat informasi yang disampaikan oleh masyarakat kepada pihak TNI,
maka banyak tokoh PKI yang dapat ditangkap. Pangkalan udara dapat dipergunakan
kembali.
Hal ini terbukti
dengan mendaratnya sebuah pesawat udara dengan pilot Suharmoko Harbani yang
membawa Kolonel Hidayat, Wakil I Kepala Staf Angakatan Perang dari Yogyakarta.
Kedatangannya membawa instruksi Menteri Pertahanan Bung Hatta yang antara lain
agar Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata segera bergerak ke utara melakukan
pembersihan didaerah Cepu dan Blora.
Dalam gerakan menuju
utara turut serta Panglima KRU Kolonel drg. Moestopo bersama rombongan anggota
Komisi Tiga Negara (KTN) dari Australia dan wartawati Gadis Rasjid. Batalyon
Daeng Muhammad Ardiwinata memerintahkan rakyat untuk mengibarkan bendera Merah
Putih di daerah-daerah yang telah dibebaskan dari kekuasaan kaum pemberontak
PKI.
Usaha penyelamatan
Pangkalan Udara Maospati
Pangkalan udara
Maospati dikawal satuan-satuan Pasukan Pertahanan Pangkalan dengan kekuatan
satu setengah kompi dibawah pimpinan Letnan Udara Dua Suprantijo. Pada waktu
kaum pemberontak PKI melakukan penyerbuan ke pangkalan, Komandan Pangkalan
Mayor dr Kornel Singawinata, sedang tidak berada ditempat. Perebutan kekuasaan
dan aksi-aksi didaerah Maospati dikendalikan oleh Markas Laskar Rakyat Senopati
di Maospati. Untuk mencegah pengrusakan dan perampasan perlengkapan yang berada
dipangkalan, para anggota pasukan penjaga pangkalan melancarkan psy-war dengan
teriakan pura-pura memperingatkan bahwa didalam pangkalan telah banyak ditanam
ranjau dan akan meledak apabila terinjak.
Sesudah Maospati
dikuasai PKI, datanglah perintah dari Djokosuyono (komunis) yang berada di
Madiun agar AURI mengirimkan perwiranya untuk mengadakan pertemuan bersama
dengan utusan dari Batalyon Sokowati. Pertemuan akan diadakan di Markas Komando
mereka di Rejoagung, Madiun. Selain perintah tersebut diinstruksikan pula AURI
bersama-sama Laskar Rakyat untuk melawan pasukan Siliwangi yang akan menyerang
Kota Madiun.
AURI kemudian
mengirimkan 2 orang utusan yaitu Letnan Suprantijo dan Letnan Rachiman ke
Madiun. Dalam pertemuan dengan Djokosuyono, utusan AURI menolak ajakan melawan
pasukan Siliwangi dengan alasan lebih baik bertempur melawan Belanda daripada
harus bertempur dengan bangsa sendiri. Namun, “kata-kata sepakat” dicapai pula
yaitu semua senjata berat milik AURI akan disimpan didalam gudang.
Sebagai
jaminan atas pelaksanaannya, salah seorang dari utusan wakil dari AURI yaitu
Letnan Rachiman dijadikan “sandera” dan ditahan di Markas Komando mereka.
Letnan Suprantijo kemudian pulang ke Maospati melaporkan hasil pertemuan mereka
kepada Komandan Pangkalan. Komandan kemudian memerintahkan pelaksanaannya.
Namun untuk berjaga-jaga sebagian besar senjata ringan ditanam disuatu tempat
yang dirahasiakan. Sewaktu-waktu apabila keadaan telah mengijinkan dapat
diambil dan dipergunakan kembali.
Sementara itu
Batalyon SS melakukan taktik penipuan. Seluruh anggota lengkap dengan
senjatanya meninggalkan Maospati menuju perbatasan Madiun – Solo untuk menghadang
musuh. Sampai tiba saatnya dan situasi memungkinkan mereka akan kembali melawan
PKI. Taktik penipuan seperti yang dijalankan Batalyon SS ini tidak mungkin
dilaksanakan oleh Pasukan Pertahanan Pangkalan, sebab mereka bertanggungjawab
atas pengamanan pangkalan beserta fasilitasnya.
Tindakan yang hendak
dijalankan Djokosuyono sebenarnya sudah dapat diduga. Ia memerintahkan kepada
Komandan Pangkalan untuk menyerahkan semua sejata yang berada didalam gudang.
Untuk tidak menimbulkan kerusakan dan jatuhnya korban, tuntutan Djokosuyono
dipenuhi. Hal ini merupakan taktik untuk menumbuhkan kepercayaan. Senjata yang
diserahkan adalah senjata-senjata berat khusus untuk pesawat yang kurang
efesien bila digunakan didarat. Senjata berkaliber sedang dan ringan tetap
disimpan ditempat yang dirahasiakan.
Setelah serah terima senjata terlaksana,
Djokosuyono mengangkat Prajurit Udara Satu Sukiman yang sebelumnya berdinas
dibagian listrik untuk menjadi pengawas dan penanggungjawab pangkalan. Sebagai
penguasa PKI, Sukiman memerintahkan kepada semua anggota AURI untuk
menanggalkan tanda pangkatnya. Perintah tidak dapat dilaksanakan dan ia pun
tidak dapat berbuat apa-apa.
Selanjutnya ia meminta agar semua senjata yang
berada didalam ruangan piket dan yang disembunykan diserahkan kepadanya.
Permintaannya dipenuhi, namun tidak semua senjata diserahkan, diantaranya
senjata yang sudah rusak. Atas kejadian ini, Komandan pasukan Letnan Suprantijo
di non aktifkan dan kedudukannya digantikan oleh seorang Serman Mayor dari
bagian tehnik.
Melihat pangkalan
masih dalam keadaan utuh dan kuatir digunakan untuk pendaratan pesawat,
Djokosuyono mengirim Kepala Staf nya Banu Mahdi meninjau pangkalan Maospati.
Tugasnya hanya satu, membumi hanguskan pangkalan udara dan penghancuran
landasan. Sesampai di pangkalan udara, Banu Mahdi mencari beberapa anggota yang
telah ditunjuk dan ditugasi melaksanakan bumi hangus. Kemudian mereka
diperintahkan untuk melaksanakan tugasnya. “landasan harus benar-benar rusak.
Jangan sampai bisa didarati oleh pesawat darimana pun datangnya.”
Rencana pembumi hangusan
pangkalan udara sebetulnya sudah lama dipersiapkan oleh pasukan penjaga pangkalan
yaitu dengan memasang bom tarik (trek – bom) disepanjang landasan sebagai
persiapan dalam menghadapi serangan Belanda.
Sebelum pasukan
Siliwangi tiba terjadi keributan di gudang pangkalan yang terletak didepan pos
penjagaan dipinggir jalan besar. Massa rakyat menyerbu dan berusaha menjarah
perlengkapan yang ada di pangkalan udara. Keadaan sulit dikendalikan, para
anggota pasukan pangkalan mengambil prakarsa mencegah luapan massa rakyat
dengan cara menipu mereka. Massa rakyat diserukan agar segera meninggalkan
tempat itu karena sebentar lagi akan terjadi pertempuran. Mendengar seruan ini
dengan serta merta massa rakyat bubar dengan meninggalkan barang-barang yang
sudah diambilnya dari gudang.
Tipuan ini berhasil. Pihak
pasukan PKI tidak menaruh curiga. Sementara pasukan pertahanan pangkalan udara
menunggu kedatangan pasukan Siliwangi dari Batalyon Sambas, kurir yang dikirim
ke Magetan telah tiba kembali dan melapor. Mereka kembali bersama satu regu
pasukan Siliwangi dari Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata. Tetapi pasukan ini
berhenti di luar pangkalan udara kurang lebih satu kilometer dari pos penjagaan
pangkalan udara.
Komandan pasukan
pangkalan udara bersama kurir segera menjemputnya. Setelah saling bertukar
informasi pasukan Siliwangi ini bergerak menyergap Laskar PKI yang menduduki
asrama Batalyon SS. Sekalipun pasukan PKI berkekuatan satu peleton, mereka
menyerah. Setelah sukses dalam pemyergapan regu Siliwangi dari Batalyon Daeng
Muhammad Ardiwinata ini meneruskan gerakannya ke pangkalan dengan formasi
berbanjar, senjata dengan sangkur terpasang, menembus kegelapan malam.
Ditengah perjalanan
tiba-tiba muncul bayangan orang yang sedang bergerak didepan regu. Komandan
regu menyalakan lampu senter mengarah ke bayangan. Tampak dua orang berpakaian
hitam-hitam yang kepalanya diikat tali pita bewarna merah membawa pedang. Bersamaan
keluar tegoran dalam bahasa Jawa “Hui” (siapa wie) yang dijawab dalam bahasa
Jawa juga “Cowek” (Konco dewek, Teman sendiri). Itulah sandi anggota PKI.
Dengan reflek komandan regu mencabut pistol dan memerintahkan kepada kedua orang
itu agar mengangkat tangannya. Yang diperintahkan terkejut tidak menyangka akan
bertemu musuh. Dengan cepat salah seorang mencabut pedang dan mengayunkannya
kearah lawannya. Anggota regu terdepan dengan cepat melepaskan tembakan keatas
untuk menakuti musuh. Namun dalam keadaan kegelapan malam musuh dapat
meloloskan diri.
Untuk melampiaskan rasa kesal, sesampainya didepan kantor
ranting Pesindo Maospati, anggota regu memberondong kantor tersebut dengan
senjata otomatis. Mendengar suara tembakan tersebut Laskar PKI yang menduduki Maospati
menjadi panik dan bubar meninggalkan Maospati tidak diketahui kearah mana.
Pada keesokan harinya
pasukan inti Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata memasuki Maospati tanpa menemui
perlawanan. Dengan demikian Pangkalan Udara Maospati dapat direbut kembali dan
diselamatkan dari kehancuran.
Muso
Pemimpin Pemberontakan PKI Tewas
Pada tanggal 31
Oktober 1948 terjadi tembak menembak antara pasukan Siliwangi dan pemberontak
PKI didaerah Ponorogo, pada aksi itu Letnan Satu Sumadi berhasil menembak mati Musso.
Yang bersembunyi ketika kontak senjata terjadi Musso bersembunyi di Kamar Mandi
yang sederhana milik warga yang bernama Semanding
|
Musso |
Operasi
Penumpasan Pasukan PKI ke Utara (Solo-Purwodadi-Pati-Kudus dan Blora)
Kekuatan Pasukan dan
Rencana Operasi
Pasukan
yang dikerahkan
Untuk
operasi penumpasan pemberontakan PKI ke daerah-daerah Purwodadi, Kudus, Pati,
Cepu, Gubernur Militer membentuk Komando Operasi ke utara karena letak
daerah-daerah tersebut berada disebelah utara Solo. Pasukan yang digerakan untuk
operasi ini berintikan 2 batalyon dari Brigade 12/ KRU-Z (Siliwangi). Karena
Komandannya adalah Letnan Kolonel Kusno Utomo, maka Brigade ini dikenal dengan
nama Brigade Kusno Utomo yang bermarkas di Yogyakarta. Brigade ini mempunyai 4
batalyon yaitu :
- Batalyon A. Kosasih berkedudukan di
Magelang
- Batalyon Kemal Idris berkedudukan di
Yogyakarta
- Batalyon Achmad Wiranatakusumah
berkedudukan di Yogyakarta
- Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinta
berkedudukan di Yogyakarta
Dua
batalyon dari Brigade ini yaitu Batalyon Achmad Wiranatakusumah dan Batalyon
Daeng Muhammad Ardiwinata telah dilibatkan dalam gerakan pertama operasi ke
timur. Untuk sementara kedua batalyon itu berada dibawah perintah Brigade 13
(Brigade Sadikin) yang bergerak dari Solo kearah timur langsung menuju Madiun.
Akan tetapi Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata setelah berhasil membebaskan
Ngawi dan sekitarnya diperintahkan oleh Menteri Pertahanan Hatta bergerak ke
utara dengan tugas pembebasan Kota Cepu dan meneruskan gerakannya ke Blora.
Sedangkan
Batalyon Achmad Wiranatakusumah sejak awal sampai selesai penugasan tetap
berada dibawah Komando Brigade Sadikin.Yang menjadi kekuatan Brigade ini adalah
Batalyon Kosasih dan Batalyon Kemal Idris, dari Komando Operasi pembebasan
daerah utara ini.
Disamping
kekuatan inti dari Brigade 12 KRU-Z ini beberapa kesatuan lain dibawah
perintahkan kepada komando ini :
- Batalyon Soeryosoempeno dari Resimen
Sarbini yang berkedudukan di Magelang, Batalyon ini semula bertugas sebagai
Batalyon Polisi Militer untuk mengamankan Kota Solo atas perintah dari Panglima
Besar Sudirman.
- Satu Kompi dari bekas Hizbullah (Yon
Muchdi)
- Satuan Artileri dibawah pimpinan
kapten A. Satari
- Satu Kompi Mobrig (sekarang Brimob)
dari Keresidenan Banyumas dibawah pimpinan Inspektur Polisi TK 1 R.M Bambang
Soeprapto Dipokusumo
- Satu Kompi Tentara Pelajar dari Solo
disekitar Kudus dan Pati
- Satu Kompi dari Batalyon Chris Sudono
(Brigade Sunarto) yang berkedudukan di Cepu.
- Satu Kompi plus Batalyon Suprapto
Sokowati dari Brigade 1 yang berkedudukan di Maospati dibawah pimpinan Lettu
Subandono BR.
Kekuatan
Pasukan Pendukung PKI
Kekuatan
pasukanpendukung PKI yang dikosentrasikan di daerah Purwodadi, Pati, Blora dan
daerah sekitarnya berkekuatan 7 Batalyon. Mereka berasal dari Brigade 6 (Soediarto)
dan Brigade Tentra Laut Republik Indonesia (TLRI) Soejoto yaitu :
- Batalyon Yusmin di Purwodadi
- Batalyon Martono di Purwodadi
- Batalyon Purnawi di Demak
- Batalyon TLRI di Purwodadi dipimpin
oleh Kuncoro
- Batalyon Sutarno di Kudus
- Batalyon Pesindo di Masaran yang
dipimpin oleh Mayor Mulyatmo
- Batalyon Wahyu Rochadi di Pati
Dari
semua kekuatan pasukan pendukung PKI ini hanya Batalyon Purnawi yang dipimpin
oleh seorang bekas Shodanco PETA yang berkekuatan utuh, baik personil maupun
persenjataanya. Batalyon ini memiliki perwira Pepolit yang bernama Oemar
Abdallah. Batalyon Martono dan Batalyon Rochadi berhasil dilumpuhkan sebelum
bergerak. Mayor Martono dan Mayor Rochadi ditangkap bersamaan dengan saat
penangkapan Komandan Brigade nya yaitu Letnan Kolonel Soediarto. Sedangkan
Mayor Soetano telah disingkirkan oleh Soediarto sebelum pecah pemberontakan
Rencana
Operasi
Pada
tanggal 20 September 1948 Komandan Brigade 12 Letnan Kolonel Kusno Utomo
mendapat perintah langsung dari Panglima Besar Jendral Sudirman untuk merebut
dan membebaskan daerah utara Jawa Tengah dari tangan pasukan PKI.Rencana operasi
Komandan Brigade 12 adalah Batalyon Kosasih dan Batalyon Kemal Idris sebagai
kekuatan inti. Sedangkan daerah sasaran operasi adalah pergolakan Jawa Tengah utara
bagian timur yaitu daerah Purwodadi – Kudus – Pati – Blora – Cepu dan daerah
sekitarnya.
|
A. Kosasih |
Pembebasan
Cepu
Dari Maospati
Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata berangkat dengan berjalan kaki menuju Ngawi
dan selanjutnya langsung ke Cepu. Di Ngawi Batalyon Daeng ini diperkuat oleh
satuan artileri dibawah pimpinan Kapten Soegiarto.
Setelah bertempur
selama 8 hari akhirnya pada tanggal 8 Oktober 1948 Cepu pada akhirnya berhasil
dibebaskan dari tangan pemberontak dan kilang minyak dapat diselamatkan. Dalam
pertempuran pembebasan Cepu banyak anggota Laskar Minyak yang tertangkap dan
menyerah. Sukiban, Komandan Laskar Minyak mati tertembak dalam pertempuran.
Dalam upaya
mempertahankan Cepu pasukan PKI mempergunakan penduduk sebagai tameng hidup
sehingga banyak penduduk yang menjadi korban. Setelah Cepu dapat dikuasai,
Kompi Subandono diperintahan agar mereka kembali ke basis mereka di Madiun.
Di Cepu pasukan Mayor
Daeng Muhammad Ardiwinata bertemu dengan pasukan Mayor Kemal Idris yang baru
saja memasuki Cepu dari Kradenan. Setelah pasukan PKI di Cepu dapat
dihancurkan, maka sisa-sisa gerombolan melarikan diri ke utara untuk bergabung
dengan Brigade 6 pro PKI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soediarto di Pati.
Setelah Cepu
dibebaskan, Kolonel drg. Mustopo Panglima Kesatuan Reserve Umum (KRU) bersama
anggota Komisi Tiga Negara (KTN) dari Australia berkunjung kesana. Ikut
sertanya anggota KTN yang berkulit putih ini dijadikan alat perang urat syaraf
oleh pimpinan pasukan PKI, untuk memperkuat isyu bahwa Siliwangi itu adalah
benar-benar tukang pukul Ratu Wilhemina (SLW = Stoot Leger Wilhemina) yang
harus dilawan sampai dengan titik darah penghabisan.
Kolonel drg Mustopo
memanggil kedua Komandan Batalyon dari Brigade 12 itu dengan memerintahkan
mereka untuk segera menduduki Kota Blora. Mayor Kemal Idris diperintahkan untuk
masuk dari selatan sedangkan Mayor Daeng Muhammad Ardiwinata masuk dari arah
utara Kota Blora.
Oleh karena pasukan
Kala Hitam (Batalyon Kemal Idris) biasa dengan gerakan cepat dalam merebut
sasaran, maka kedua Komandan Batalyon itu mengadakan kesepakatan agar pasukan
pemberontak PKI dapat dikepung dan dilumpuhkan didalam Kota Blora. Mayor Daeng
Muhammad Ardiwinata memiminta agar Mayor Kemal Idris untuk melambatkan
pergerakannya. Apabila sudah ada berita bahwa Batalyon Daeng menuju ke selatan
baru Batalyon Kala Hitam bergerak menuju utara.
Dalam operasi ini
Panglima KRU Kolonel drg. Mustopo akan mengikuti gerakan Batalyon Kala Hitam
demi keselamatannya. Tanpa membuang waktu lagi, pasukan Batalyon Kala Hitam
kembali ke Kradenan untuk bergabung dengan induk batalyon dan selanjutnya
langsung berangkat ke Blora.
Sementara itu
Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata menyerahkan tugas pengamanan Cepu kepada
pasukan Chris Sudono dan Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata bergerak ke Blora
melalui jalan raya Jiken – Jepon.
Menjelang Kota Blora
mereka berpencar, Kompi Sutisna bersama Komandan Batalyon Daeng bergerak
menyusuri jalan Kereta Api. Tiga Kompi lainnya bergerak melalui jalan raya.
Sebelum pasukan Daeng Muhammad Ardiwinata berhasil menduduki daerah bagian
utara Kota Blora sesuai dengan kesepakatan dengan Mayor Kemal Idris di Cepu, ternytata
ada satu kompi dari Batalyon Kala Hitam sudah mendahului masuk ke Kota Blora
melalui selatan yang tanpa mendapat perlawanan dari pemberontak PKI, tadinya mereka
bertujuan untuk mencari informasi sambil memberikan kejutan kekuatan kepada
musuh yang mempertahankan Kota Blora.
Dalam gerakan ke
Blora disuatu tempat didalam hutan jati tidak jauh dari Kota Blora, para
anggota Batalyon Kala Hitam mencium bau busuk yang menyengat, setelah diteliti,
ternyata sumber bau busuk itu berasal dari suatu tempat yang dijadikan tempat
pembantaian dan pembunuhan pemimpin-pemimpin RI setempat oleh PKI.
Peristiwa ini
mendorong Mayor Kemal Idris memerintahkan pasukannya untuk segera memasuki
Blora, sekalipun tidak menepati kesepakatan yang telah dibuat di Cepu dengan
Mayor Daeng Muhammad Ardiwinata. Ia teringat akan pengalamannya ketika di
Kaliyoso maupun di Purwodadi. Karena pasukannya harus menunggu pasukan lain,
maka pemberontak setempat melakukan pengrusakan jembatan, pembakaran
gedung-gedung penting dan membunuh para tawanan sebelum mereka mengundurkan
diri.
Atas izin dari
Komandan KRU Kolonel drg Mustopo yang mengikuti gerak pasukan Batalyon Kala Hitam
pasukannya bergerak masuk Blora tanpa menunggu berita dari Mayor Daeng Muhammad
Ardiwinata. Kota Blora dapat dikuasai oleh Batalyon Kala Hitam dari sebelah
selatan pada tanggal 13 Oktober 1948, akan tetapi pagi harinya kedudukan
pasukan Batalyon Kala Hitam mendapat tembakan mortar dari arah utara kota.
Mayor Kemal Idris yakin itu adalah tembakan yang berasal dari anggota Batalyon
Daeng Muhammad Ardiwinata oleh karena tidak ada komunikasi antara kedua pasukan
itu.
Tembakan-tembakan itu
dimaksudkan untuk memberikan kejutan kepada para pemberontak. Untungnya
tembakan mortar itu tidak menyebabkan korban jiwa dari pihak rakyat maupun
tentara Batalyon Kala Hitam yang saat itu sedang berada didalam Kota Blora.
Untuk mencegah jangan
sampai timbulnya korban jiwa yang tidak diperlukan antara kedua Batalyon TNI
itu maka Komandan Batalyon Mayor Kemal Idris memerintahkan agar anggota yang
bertugas di pos terdepan bagian utara Kota Blora untuk segera mengibarkan
Bendera Merah Putih pada bangunan-bangunan tertentu. Anggota pasukan terdepan
Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata merasa ragu-ragu melihat bendera Merah Putih
dikibarkan didepan suatu bangunan. Karena tidak mendapat kepastian maka Mayor
Daeng Muhammad Ardiwinata memerintahkan untuk terus menembakan mortar sambil
bergerak maju ke selatan.
Akhirnya anggota
terdepan pasukan Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata melihat pasukan yang berada
didepannya bukan musuh tetapi anggota Batalyon Kala Hitam, tembakan mortar pun
dihentikan dan Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata pun memasuki Kota Blora.
|
Mayor Kemal Idris |
Setelah Kota Blora
dan daerah-daerah sekitarnya dibersihkan dari sisa-sisa para pemberontak
komunis, maka tugas operasi ke Blora dianggap selesai. Kolonel drg. Mustopo
sebagai Panglima KRU memutuskan bahwa pengamanan Blora dan sekitarnya
diserahkan kepada Mayor Daeng Muhammad Ardiwinata dan Batalyon Kala Hitam
diperintahkan bergerak melalui Pati melalui Wirosari dengan Kereta Api.
Beberapa kilometer
sebelum memasuki Wirosari perjalanan diteruskan dengan berjalankaki dalam
perjalan ini bertemu dengan satu regu pasukan dari Batalyon Kosasih yang sedang
berpatroli. Diperoleh berita bahwa Batalyon Kosasih telah menguasai kembali
Wirosari dari tangan pemberontak (Batalyon Purnawi). Beberapa waktu yang lalu
Wirosari pernah diduduki oleh Batalyon Kala Hitam namun Wirosari dikuasai
kembali oleh pemberontak karena tidak ada pasukan TNI yang menjaganya.
Di Wirosari
berkumpulah Panglima KRU Kolonel drg Mustopo, Komandan Brigade 12 Letnan
Kolonel Kusno Utomo dan para Komandan Batalyon, Mayor R.A Kosasih, Mayor Kemal
Idris dan Mayor Munadi yang mengikuti gerak pasukan Batalyon Daeng Muhammad
Ardiwinata dari Ngawi. Rupanya disini telah menyerah atau melaporkan diri dari
pihak tentara pemberontak PKI yaitu:
- Letnan
Kolonel Sudiarto
- Mayor
Rochadi
- Mayor
Martono
- Mayor
Mulyatmo
- Mayor Munadi
diperintahkan untuk menghadapkan beberapa tawanan tersebut kepada Gubernur
Militer Gatot Subroto.
Selesai tugas itu Mayor Munadi kembali ke Wirosari dan
melanjutkan perjalanan ke Pati.
Batalyon Kala Hitam bergerak ke pati dengan
menerobos hutan jati dan pegunungan kapur, rute yang dilalui adalah Wirosari –
Grobogan – Sarip – Balong dan Pati.
Disepanjang jalan
pada waktu pembersihan didaerah Pati dijumpai banyak korban yang pernah disiksa
oleh pemberontak PKI, namun disepanjang tempat itu PKI tidak banyak melakukan
pengrusakan. Gerakan diteruskan dengan operasi pembersihan disekitar Pati,
Juana dan daerah disebelah timur Gunung Muria, sehingga daerah Keresidenan Pati
bersih dari kaum pemberontak.
Terhadap tawanan, Mayor Kemal Idris mengeluarkan
perintah supaya mengadakan pengadilan lapangan terhadap gembong-gembong
pemberontak yang ditangkap di daerah Pati. Dari jumlah yang diadili, lima orang
dijatuhi hukuman mati. Hal ini dapat terjadi karena Negara dalam keadaan
perang.
Setelah Kudus dan
sekitarnya dapat dikuasai TNI maka gerakan operasi ke utara dinyatakan selesai tugas
diteruskan dengan operasi pembersihan kepedalaman sekitar daerah kekuasaan
masing-masing batalyon, yaitu :
- Batalyon
A. Kosasih di daerah Kudus
- Batalyon
Kemal Idris di daerah Pati
- Batalyon
Soeryosoempeno di daerah Purwodadi
- Batalyon
Daeng Muhammad Ardiwinata di Blora
Hasil dari operasi
pembersihan di Keresidenan Pati ini telah ditangkap beberapa tokoh lokal maupun
tokoh nasional PKI antara lain :
- Maruto
Darusman
- dr
Wiroretno
- Misbach
Komandan Biro Perjuangan Jepara
- Mudigdo
Kepala Polisi PKI Pati
- Suartomo
Pepolit
- S. Karna Residen PKI Semarang
- S.K
Trimurti
- Fransisca
Fangiday
Para
tahanan ini diserahkan kepada Polisi Militer dibawah pimpinan Letnan Harun.
Amir
Sjarifuddin Tertangkap
Pada tanggal 29
November 1948 Kompi Ranuwidjaja dari Batalyon Kusmanto Brigade 6 yang bermarkas
disekitar Penawangan berhasil menangkap Amir Sjarifuddin pada jam17.00 di Gua
Macan Desa Penganten Kecamatan Klambu Purwodadi. Pada tanggal 4 Desember 1948
Amir Sjarifuddin diserahkan kepada Pemerintah Pusat di Yogyakarta. Oleh
Pemerintah Pusat kemudian diserahkan kembali kepada Gubernur Militer II.
Operasi
Pembersihan Sisa-sisa Pemberontak di Blora
Di Blora Batalyon
Daeng Muhammad Ardiwinata mengadakan pembersihan terhadap sisa-sisa Batalyon
Purnawi yang masih ada di daerah sekitar Blora. Adanya informasi bahwa kaum
pemberontak berikut tokoh-tokohnya yang dikawal oleh Batalyon Maladi Jusuf dan
sebagaian dari Batalyon Mustofa akan bergerak ke utara, maka Batalyon Daeng
Muhammad Ardiwinata dengan kekuatan dua Kompi menghadang para pemberontak di
Kradenan.
Karena mengetahui mereka dihadang oleh pasukan Batalyon Daeng
Muhammad Ardiwinata, para gerombolan pemberontak itu mengubah arah pelariannya,
mereka tidak lagi menuju utara melainkan ke barat menembus hutas jati. Batalyon
Daeng Muhammad Ardiwinata pun mengejar pelarian mereka.
Didalam hutan jati
dekat Purwodadi pemberontak berjumpa dengan Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor
Kemal Idris. Pemberontak terjepit, dibelakang mereka dikejar Batalyon Daeng
Muhammad Ardiwinata di depan mereka berhadapan dengan Batalyon Kemal Idris,
sehingga sebagian besar dari mereka memilih untuk menyerah kepada Batalyon
Kemal Idris.
Pasukan Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata yang mengejar gerombolan
pemberontak PKI itu bergerak terlalu jauh ke utara sehingga mereka
diperintahkan kembali ke induk pasukan, mereka datang paling akhir karena harus
kembali ke Blora. Batalyon Daeng Muhammad Ardiwinata kembali ke Yogyakarta
dengan Kereta Api melalui route Blora – Wirosari – Purwodadi – Solo –
Yogyakarta.
Agresi
Militer II Belanda Meletus
Baru beristirahat
satu hari pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melalukan Agresi Militer II dengan menyerang Yogyakarta, kemudian Batalyon
Daeng Muhammad Ardiwinata segera kembali ke Jawa Barat sesuai dengan Kode
ALOHA.
Tawanan
Pemberontak PKI
Sementara itu pada
tanggal 19 Desember 1948 dikarenakan
meletusnya Agresi Militer II Belanda menyerang wilayah RI ke Ibu Kota
Yogyakarta, sebelas orang pemimpin PKI yang tertawan sestelah melalaui proses
pengadilan kemudian dijatuhi hukuman mati. Hal ini disebabkan karena Negara
dalam keadaan darurat perang.
Hukuman mati itu
dilaksanakan di Desa Ngalihan Kelurahan Lalung Kabupaten Karanganyar,
Surakarta. Mereka yang dijatuhi hukuman mati didepan regu tembak adalah :
- Amir
Sjarifuddin, Pimpinan Pemberontakan dan Pimpinan FDR
- Suripno,
Sekertaris Pertahanan Politbiro CCPKI, Pemimpin FDR
- Maruto
Darusman, Sekretariat Jendral Politbiro
- Sardjono,
Agitasi Propaganda CCPKI
- Djokosujono,
Gubernur Militer Madiun Kepala Biro Perjuangan eks Mayor Jendral TNI
- Oei Gee Hwat, Ketua Bagian Penerangan
SOBSI
- Katamhadi,
mantan Mayor Jendral TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia)
- Harjono,
Ketua Umum SOBSI
- Ronomarsono, Pimpinan Pesindo
- S. Karna, Residen PKI dan Tokoh PKI
Semarang
- D.
Mangku, Aktivis PKI Solo
Sumber
:
Buku
Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, MABESAD RI Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI
1982 hasil wawancara dengan narasumber Letnan Kolonel (Purn.) H.Daeng Muhammad
Ardiwinata, Bandung 29 Juni 1976